Aku meregangkan otot-ototku yang sudah kaku, lalu melihat jam dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Lima jam, aku hanya berkutat dengan lukisan. Aku beranjak pergi dari kamar hanya saat waktu salat tiba.

“Pegel, Ji?” tanya Faisal.

“Kamu kalo mau tidur duluan, tidur aja. Nggak usah nungguin aku.” Aku paham pertanyaan Faisal. Pasti ia lelah membantu sejak tadi.

Ceklek!

Pintu kamar dibuka dari luar. Aku terkejut dan langsung menoleh. Aku pikir itu Ibu Panti. Ternyata Burhan yang masuk. Pasti ia baru pulang.

“Aji, Sal. Ikut aku ke belakang, yo!

“Mau apa? Kamu nggak lihat ini udah jam berapa?” Aku kembali fokus pada lukisan yang kubuat untuk dijual besok di pasar.

Wes, to. Ikut aja! Aku punya  yang enak-enak di belakang.” Burhan masih merayu kami dengan wajah penuh semangatnya.

Faisal yang tadinya terlihat lelah, beranjak dari duduknya. Ia tampak penuh semangat. “Kalo sama yang enak-enak, ayo! Jangan ditunda-tunda bosqu.”

Burhan tertawa mendengar ucapan Faisal. Aku tersenyum simpul sambil membereskan peralatan lukisku. Mungkin aku butuh peregangan sebentar. Burhan membuka pintu kamar. Kami berjalan mengendap-endap ke belakang asrama panti, takut dengan Ibu Panti akan terbangun dan melihat kami yang belum tidur.

Sampai di belakang asrama, Burhaan langsung menggali sebuah tanah. Aku sedikit heran dengan apa yang sedang dicarinya.

“Tara ….” Burhan mengangkat dua kantong plastik besar.

Faisal langsung menyambar plastik tersebut. Ia membuka isinya. Aku ikut melihat apa yang ada di dalam plastik.

Panganan? Banyak sekali, Han?” Faisal membuka satu bungkus jajanan itu.

“Iya, dong. Hampir aja aku ketauan Ibuk karena baru pulang. Makanya ini makanan aku kubur dulu di sini biar Ibuk nggak curiga. Pinter aku, to?

“Eh, Sal. Cuci dulu, itu bungkusnya kotor. Nanti masuk ke makanannya! Tanganmu juga belum dicuci. Masih ada catnya itu,” Omelku pada Faisal

“Iyo-iyo, Ji.”

Kami mencuci tangan dan semua bungkus makanan yang kotor terkena tanah dengan sebotol air mineral. Tidak terlalu kotor jadi tidak butuh banyak air untuk membersihkannya.

Faisal dan Burhan sudah membuka beberapa bungkus makanan. Kami memang jarang sekali bisa membeli makanan ringan. Meski kami memiliki penghasilan sendiri, rasanya sangat sayang bila dibelikan sesuatu yang tidak perlu.

“Jarang-jarang kamu traktir kita, Han” Faisal sangat menikmati setiap gigitan yang masuk.

“Tapi, sekarang aku traktir nggak tanggung-tanggung ‘kan? Dua kantong langsung.” Burahan tersenyum bangga atas perbuatannya.

“Ini tuh, salah satu rasa sukur aku juga karena hari ini aku lagi beruntung banget. Tau ndak kenapa?”

Faisal menggeleng antusias. Begitu juga aku yang tidak kalah penasaran.

“Tadi aku nemu dompet di depan toilet umum, terus aku buka dompetnya. Isinya banyak banget, Sal, Ji.”

“Kamu ngambil duitnya, Han?” tanyaku penuh penekanan dan marah yang siap meledak.

“Nggak gitu, Ji. Aku Cuma ambil ….”

“Halah! Wes, aku ndak mau makan ini. Aku pikir kamu udah berubah, Han.”  Aku pergi meninggalkan Burhan dan Faisal.

Saat itu aku benar-benar kecewa atas perbuatan Burhan. Aku pikir selama beberapa bulan ini ia sudah mulai berubah dan tidak lagi mengambil milik orang lain. Akan tetapi, malam ini baru saja dia kembali dengan tabiatnya dulu.

Aku kembali ke kamar dengan kemarahan yang mulai mereda. Sebaiknya aku segera tidur, tubuhku juga sudah lelah sekali akibat melukis sedari sore. Lumayan, sudah ada tiga lukisan yang siap dijual besok.

Baru saja aku akan memejamkan mata, tiba-tiba Faisal megejutkanku dengan  mengajak bicara. Aku bahkan tidak mendengar suara pintu dibuka.

“Ji, kamu ndak mau dengerin Burhan dulu? Cerita dia belum selesai tadi.”

“Sudahlah, aku sudah mengantuk.”

“Tapi, Ji. Kamu sudah kelewat batas dengan perkataanmu tadi.”

Aku memilih diam dan tidak membalas perkataan Faisal. Menyelimuti tubuh pertanda aku tidak mau melanjutkan pembicaraan. Tidak akan selesai jika aku menanggapinya.

Aku tahu jika ucapanku sudah keterlaluan, tetapi agar Burhan menyadari kesalahannya. Aku mau dia menjadi orang yang dewasa karena memang sudah saatnya kita bertanggung jawab atas diri kita masing-masing.

Pukul empat subuh aku sudah terbangun. Mataku melihat Faisal yang masih tertidur pulas di ranjangnya. Kemudian aku melirik pada ranjang Burhan, ia tidak ada di sana. Mungkin ia tidur di kamar sebelah. Aku bersiap untuk salat Subuh dan pergi ke pasar.

Tiba di pasar aku menata semua lukisaku. Semoga hari ini lukisanku laku terjual semua. Aku menatap matahari yang bersinar terik, sepertinya sudah jam Sembilan. Namun, belum ada satu orang pun yang mampir di lapakku.

“Ji!”

Aku menoleh dan mendapati Faisal yang terus saja mengeluarkan air mata. “Kamu kenapa, Sal?” Aku menariknya untuk lebih mendekat padaku.

“Ada preman yang malak kamu?” tanyaku penasaran.

“Ayo, Ji. Pulang!” Faisal mengusap air matanya.

Sek,to! Kamu ini kenapa?”

Faisal semakin tersedu dan terjatuh lemas. Semua orang yang berda di sekitar memperhatikan kami.

“Burhan, Ji. Dia … mati.”

Tangis Faisal semakin kencang. Aku terkejut dan masih mecerna ucapan Faisal. Bagaimana bisa? Tanpa pikir panjang aku menarik Faisal dan pulang ke panti, meninggalkan semua lukisanku.

Sampai di panti bendera kuning sudah berkibar di mana-mana. Aku masuk menerobos kerumunan anak-anak yang berada di ruang tamu. Tubuh Burhan sudah terbaring dan ditutup kain. Ibu Panti duduk menangis di samping tubuh Burhan.

Dengan gemetar aku membuka kain yang menutupi wajah Burhan. Aku masih tidak percaya bahwa ini adalah Burhan. Air mataku perlahan luruh dengan tubuh yang semakin bergetar. Sungguh aku tidak dapat menahan rasa sakit ini. Sakit sekali rasanya, seperti ada duri besar yang menusuk-nusuk dadaku. Belum selesai aku mencerna situasi ini, Faisal menarikku ke kamar. Ia mengunci pintu dan menutup jendela kamar.

“Harusnya semalam kita ndak ninggalin dia sendiri di belakang.” Faisal menjeda ucapannya.

“Dan, seharusya kamu dengerin Burhan dulu!” Faisal membentakku dengan sangat keras.

Ia terlihat sangat marah padaku. Aku diam dan tidak mampu berkata apa-apa. Bahkan, aku tidak memahami ucapan Faisal.

“Kalo aja kamu masih dengerin ceritanya, mungkin dia nggak akan seperti ini.” Tatapan Faisal kosong.

“Sal! Apa maksudmu?”

“Burhan kesetrum di belakang. Di dekat genangan air saat kita mencuci tangan!”

Aku terduduk lemas mendengar cerita Faisal. Sekarang aku paham. Burhan pasti tersetrum di dekat kabel putus itu. Seharusnya aku tidak meyuruh mereka mencuci tangan di sana. Atau, seharusya aku melarang mereka datang ke sana.

“Jajanan itu dibeli bukan dari hasil dia mencuri. Tapi, dia dikasih sama yang punya dompet, Ji!” Faisal membentakku.

Aku semakin terkejut. Ucapan Faisal membuatku semakin sakit. Benar, ini memang salahku. Aku memukul tembok keras. Betapa menyesalnya aku atas kejadian tadi malam. Faisal benar, ini semua salahku.

Aku berjalan ke luar kamar. Aku akan mengurus semua pemakaman Burhan. Setelah itu, aku akan menyerahkan diri atas semua perbuatanku.

 

Jakarta, 31 September 2021

Namaku Ayu Rina dan biasa dipanggil Ay. Aku berdomisilin di Jakarta. Keseharianku adalah mengedit naskah dan menulis. Harapanku semoga tulisanku bisa menjadi motivasi bagi orang lain serta menorah sejarah dengan caraku sendiri.

 

Gambar oleh : https://pin.it/5oAdrWo