Ujaran Harapan

Oleh : Metanisa Rofi Hamtina

Aku adalah manusia yang penuh harapan, walau aku menganggap semuanya terlihat mustahil. Aku percaya bahwa harapan yang membuatku hidup, dan mampu membuatku berjalan dengan arahan yang jelas. Bermula dari sebuah kisah anak yang nakal dan bodoh, sebuah kata-kata yang sudah begitu melekat pada sanubariku. Dua label itu seolah memang benar-benar brand untuk diriku. Tidak salah memang, karena saat di sekolah dasar, aku merupakan anak yang begitu jahil dan banyak membuat ulah. Pecutan tongkat dan penggaris sudah menjadi bahan makanan sehari-hari, ungkapan makian juga sudah menjadi perkataan ’indah’ yang selalu kudengar setiap hari. Jujur, saat itu aku hanya merasa menjadi manusia yang paling tidak berguna, apalagi ditambah dengan nilai-nilaiku di sekolah yang juga tidak fantastis.
“Kamu mau jadi apa leee kalau nilaimu jelek begini? Kelakuanmu juga, sama saja! Apalagi matematika kamu, parah total! Sudah suka buat masalah, nilai nggak bener!” ujar guru dan orang tuaku, membuatku semakin yakin bahwa aku bukanlah anak yang diharapkan berada di dunia ini.
Aku hanya diam sembari menahan gelisah, merasa bahwa diri ini benar-benar menjadi manusia yang tidak memiliki apa pun untuk menyenangkan orang lain. Aku hanya bisa menulis untuk mengungkapkan semuanya, lelah jika harus bercerita lewat verbal, memang mau bercerita kepada siapa? Begitulah aku hingga berada di sekolah menengah pertama, belum bisa menjadi anak yang berperilaku ‘manis’, dan mendapatkan prestasi cemerlang.
Ketika masuk ke sekolah menengah atas, ini awal mula aku mulai mendapatkan keyakinan bahwa aku masih berguna untuk orang lain. Seorang guru bernama Bapak Mustofa, menemukan buku berisi coretan-coretanku di laci sekolah. Maklumlah, anak istimewa seperti aku ini memang selalu diperlakukan istimewa juga oleh banyak orang. Katanya ketika beliau sedang menata ruang kelas untuk persiapan ujian akhir semester, beliau menemukan buku itu yang tak sengaja aku tinggalkan di kelas. Tiba-tiba saja aku dipanggil oleh beliau dan diajak berbicara. Di antara ucapan-ucapannya, ada kata-kata yang selalu terngiang di telinga.
“Kamu memang nakal, tapi bukan berandal. Kamu tidak jago matematika, biologi, apalagi fisika, tapi kamu jago merangkai peristiwa maupun imajinasi menjadi kata-kata. Kamu adalah calon penulis atau jurnalis hebat,” ujar Bapak Mustofa, yang seketika membuatku kaget, terharu, sekaligus bingung, apakah benar apa yang dikatakannya, bahwa aku masih punya kehebatan? Baru kali ini di seumur hidupku, aku mendapatkan pujian seperti itu.
“Pak, itu tidak mungkin! Aku ini anak yang nakal dan bodoh, gimana bisa menjadi seseorang yang hebat? Aku nggak ada gunanya untuk siapa pun!” ujarku mengelak.
“Dino, saya paham terhadap apa yang menjadi pikiranmu. Itu adalah sifat yang tidak bisa disamakan dengan keterampilan. Kamu punya keterampilan istimewa, yang pastinya bisa membawamu menjadi orang yang hebat! Percayalah Nak, belajarlah yang tekun di dunia kepenulisan ataupun jurnalistik, karena saya punya keyakinan besar bahwa kamu akan hebat dari jalan itu,” ujar guruku itu yang terlihat begitu tulus, bahkan sangat tulus. Saat itu, aku hanya bisa menangis dan refleks memeluk guruku. Satu-satunya guru yang mampu memandang aku sebagai manusia berguna dan mampu membiusku untuk memiliki harapan.
Sejak saat itu, entah tak tahu lagi, aku menjadi pribadi yang hanya sibuk menjalankan segala yang dapat membawaku menuju harapan itu. Sebuah harapan yang membiusku untuk memperbanyak mencari cara mempelajari kepenulisan dan jurnalistik. Aku sudah tak peduli lagi dengan segala omelan, cacian, dan sebutan label-labelku itu. Apa yang aku ketahui saat itu adalah, bagaimana caranya aku mampu menjadi orang yang diyakini oleh motivator pertamaku di dalam hidup, Bapak Mustofa. Waktu berjalan tanpa henti, hingga akhirnya aku bisa lulus sekolah menengah atas dengan nilai pas-pasan.
Setelah itu, aku memutuskan untuk berkuliah di jurusan Komunikasi karena aku lebih suka dengan dunia jurnalistik. Lalu siapa sangka, ketika aku berkuliah, aku bisa memiliki sambilan sebagai wartawan lepas. Semua berlalu begitu saja, dengan budaya kedisiplinan yang aku teladani dari pekerjaanku ketika menjadi wartawan lepas itu, aku mampu menjadi manusia yang lebih menghargai waktu. Hingga akhirnya, aku mampu berada di titik ini. Jurnalis andal, reporter terbaik, dan sebagainya. Julukan-julukan baru dari orang-orang untukku.
Tak terasa air mataku menetes mengingat kenangan semua itu. Aku rindu Bapak Mustofa, seorang guru yang kini baru aku dapatkan kabarnya setelah sekian lama, bahwa beliau baru saja meninggal dunia. Aku terenyak setelah menyadari bahwa aku melamun di tengah orang-orang yang melayat, dan tak terasa hampir dua jam aku terbang ke bayangan masa lalu itu. Kutatap foto Bapak Mustofa yang terpampang jelas di dinding ruang tamu rumahnya. Air mata dan senyuman getir tak bisa surut dari wajahku, hingga akhirnya aku mampu menghentikannya dengan ucapan.
“Kini aku telah membuktikan keyakinanmu, Pak! Harapan-harapan itu akan selalu terpatri di dalam sanubariku, karena itulah yang menjadi penyelamat ketidakpercayaan diriku. Selamat jalan guru terhebatku, manusia terhebatku. Aku akan terus berkarya, sampai kelak malaikat Izroil yang menghentikan langkahku untuk menjemputku menyusulmu di sana,” ujarku mengalir tanpa kusadari.
Surakarta, 27 Desember 2019
Mau tahu beberapa info lainnya bisa cek juga di beberapa sosmed OKI seperti instagram, fb, youtube Omah Karya Indonesia. Bagi yang mau sukarela membantu kegiatan OKI juga bisa cek di sini.