Komunitas yang bertujuan untuk memberdayakan setiap individu untuk terus berkarya dalam membangun bangsa Indonesia. Komunitas ini berfokus pada berbagi ilmu tentang literasi dan wirausaha.
Dia datang. Ya, dia datang kemari membawa cerita lama yang telah kututup. Dia yang membuatku benci pada semesta. Aku benci. Sangat benci dia. Tapi mengapa semesta mempertemukan kami, disaat ‘ku mulai memafaakan semesta. Tapi apa? Aku lelah. Sangat lelah untuk berpura-pura. Aku mohon hujan, cukup! Jangan biarkan semesta menyentuhku lagi.
Semua berawal pertemuan kami di Gunung Bromo beberapa tahun lalu, tidak sengaja tentunya. Saat itu aku hanya bersama satu kawan perempuanku, bermodal nekad dan kami buta akan gunung. Alhasil semua tak karu-karuan. Mulai dari kedinginan karena tak membawa jaket tebal, masker, sampai sarung tangan. Bromo kala itu sedang pencitraan. Dinginnya, sangat dingin. Konon katanya, jika sedang musim mahasiswa baru, maka Bromo akan menjadi dingin, demikian kata para mahasiswa di Malang.
Tapi anehnya kami sampai di Puncak bromo siang hari, lebih tepatnya jam 10. Sangat siang bagi kami para pencari sunrise. Ah, sudahlah, kunikmati saja debu pasir dan kotoran Kuda yang berpadu-satu, sampai kurasakan sesak mendera. Kulirik kawan di sebelahku. Dia baik-baik saja.
Tiba-tiba datanglah seorang laki-laki bertubuh tinggi, berotot, dan aura gagahnya yang sangat keluar, memberi kami masker dan minum. Sebelum ku ucapkan banyak terima kasih kepadanya, di telah lenyap di hadapan kami.
Setelah puas menggagumi keindahanya kami akan turun dan dengan kuda. Lemas dan laparnya kami adalah rezeki bagi kuda. Setengah jam mungkin, kami telah berada di bawah, dan melanjutkan dengan jeep menuju penginapan.
Hampir semua memilih tidur ketika mataku tetap segar terjaga.
’’ Terima kasih maskernya, Mas’’ ucapku pada seorang berotot yang sekarang bersamaku di mobil ini. Lalu hening.
“Sama-sama. Aku Semesta Berantah.’’ Ucapnya, dan melanjutkan, “Kamu?”
“Rainnta Pelangi. Aku biasa dipanggil Rain.
Lalu kembali hening.
“Nama kita lucu, ya?” Dia kembali menimpal kata yang ku tak paham maknanya. “Semesta dan Hujan”
Terdiam Aku dengan kalimat terakhir yang kuingat sebelum lelah terlelap, lalu kembali harus terbangun karena telah sampai di pemberhentian jeep. Kami harus melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum.
Aku kembali sampai di dunia nyata, dengan rutinitas kampus dan teman-teman yang lain. Hujan. Namaku dan temanku yang paling setia.
Tidak ada yang istimewa selain sebuah rutinitas yang menjemukan. Dan untuk kesekian kalinya terdampar di sebuah perpustakaan kota. Duduk di depan ratusan hanya karena aku suka. Tiba-tiba pandanganku tertuju pada satu objek yang tak asing, yang ku hafal namanya yang diam-diam aku sebut namanya dalam doaku beberapa hari ini, karena benar-benar ingin bertemu dan menyapanya.
“Kak… Kak Esta?” Dia menatapku dan menyunggingkan senyum efek putaran ulang memori yang hamper hilang, “Kak Semesta Berantah, kan?”
”Rain? Sedang apa?“ sapanya
“Aku lagi cari bacaan aja, Kak? Hehehe.”
Entah kenapa mulut ini demikian kaku untuk bicara lebih panjang dari doa-doa yang biasa kuucap agar bisa bertemu dengannya. Sekarang Semesta sudah di depan mata, namun hati ini seperti tertutup kabut keruh yang mengaburkan semua pandangan. Hingga kami berpisah siang itu, semua datar. Hujan kali ini tak bisa mendinginkan Semesta. Aku hanya berharap kemarau tak cepat menghampiri.
Kami masih bertemu. Aku masih bisa menyapanya. Doaku terjawab dan terus terjawab. Semesta benar-benar selalu hadir di depanku. Benar-benar seperti yang aku inginkan, untuk lebih sering menatapnya. Entah ini pertemua kami yang ke berapa, ketika kehadirannya terpaksa menjadi yang terakhir kalinya.
“Rain, minggu depan Aku menikah. Kamu datang, ya.”
Semesta. Seorang yang kupanggil kedatangannya lewat doa. Benar-benar datang hanya untuk mengatakan bahwa, hujan bukan yang selalu ia inginkan. Entah, mungkin keringnya kemarau, lembutnya salju, warna-warni musim semi, atau mungkin kedahsyatan badai petir yang lebih menarik perhatian Semesta.
“Rain, boleh saya pulang? Saya telah lelah berpetualang,”
“Ya, Kak.” Aku menatapnya dengan hati yang terus mengulum mendung.
Pulanglah, Aku akan terus menjadi hujan yang menunggu tercurah, membasahi keringnya semesta.