SEGITIGA RASA

Duriyah

 
“Terkadang sebuah pengorbanan harus menahan pahitnya dulu, kemudian akan mendapatkan manisnya.”
Bisakah semua hati sebahagia orang yang duduk di sampingku ini? Sejak istirahat pertama, dia teriak histeris dengan hati yang sedang berbunga-bunga, karena apa? Karena lelaki yang ia sukai membalas chatnya. Begitulah wanita kalau sedang di mabuk asmara, pasti keluar dari zonanya.
“Devina …,” ucap seseorang dari belakang. Aku menelusuri sisi kelas untuk mencari tau siapa yang memanggil namaku. Aku terkejut karena orang yang memanggilku sudah ada di depan meja.
 Davin Anggara, salah satu siswa yang pintar di kelas 12. Ia adalah orang yang di sukai sahabatku, Anjani. Selalu ada nama dia di setiap cerita Anjani, dia bagaikan vitamin yang selalu membuat semangatnya tumbuh kembali. Tetapi ia adalah musuh bagiku sejak kelas satu SMA, karena orangnya super jahil dan nyebelin. Entah kenapa aku selalu di persatukan kelasnya dengan dia, lelaki yang paling bisa membuat badmood setiap hari.
“Ada apa?” tanyaku sinis.
“Ini kelompok yang sudah bu Indah bagi.” Ia memberikan kertas padaku yang notabene sebagai sekretaris. Aku lihat kelompok Prakarya yang ada namaku, mirisnya! di barisan paling bawah selalu ada nama Davin. Aku menghempaskan napas gusar, mungkin Anjani akan sangat senang dengan kehadiran Davin dalam kelompoknya tetapi aku tidak sama sekali.
Jam istirahat ke dua adalah waktunya mengisi perut dan sebagian menjalankan kewajibannya terlebih dahulu. Aku memutuskan untuk menunggu Anjani di kelas, karena aku hari ini sedang halangan. Dipojok sana ada Davin yang sedang asyik bermain game, aku langsung menghampirinya.
“Bukannya ini sudah jamnya sholat?”
“Iyah bentar,” sahutnya yang masih asyik dengan benda tipis miliknya.
“Sholat di nanti-nanti, berarti kamu cocoknya jadi makmum bukan imam!” seruku jutek, kemudian langsung meninggalkannya.
“Iya ukhti ….” Setiap berhadapan denganku dia selalu memanggilku dengan menyebut ‘Ukhti.’ Apa karena hijabku ini? Entahlah.
Rintik hujan kini hiasi pagi yang kelabu, aku datang dengan kondisi basah tersiram hujan. Rasa dingin merasuk dalam tubuh, aku meniup tanganku yang dingin seperti es. Meja di kelasku kini sudah di buat berkelompok. Sedihnya aku dan Anjani tidak satu kelompok, jadi tidak bisa berdiskusi bersama.
Davin yang duduk di depanku menyadari bahwa aku sedang kedinginan, ia menghampiriku dan memberikan sweter miliknya. Aku hanya mengucapkan terima kasih, karena aku sangat membutuhkan benda itu. Dia tiba-tiba menghilang entah kemana, tak mau memusingkan hal itu aku pun langsung memakai benda hangat ditanganku. Terdengar sorakan dari penghuni kelas, mereka selalu menjodoh-jodohkan aku dengan dia. Biasanya aku marah, namun kali ini malas rasanya karena tubuhku masih lemas. Beginilah aku, yang tak tahan dalam suasana dingin.
“Minum dulu susu jahenya biar hangat,” ucapnya yang tiba-tiba ada di sampingku. Aku mendongakkan kepala yang sedari tadi ku taruh dengan tanganku diatas meja. Aku menerima gelas berisi susu jahe tersebut, tak lupa untuk berterima kasih.
***
Di sisi lain, ada hati yang kini retak. Menyaksikan sebuah dimensi di mana orang yang ia sayangi dan sahabatnya sedekat itu. Anjani memejamkan mata menahan tangisnya. “Kenapa harus dia yang kamu perlakukan istimewa?” batinnya.
Mentari menjamah seseorang di balik pohon, dengan memakai celana olahraga dan menggunakan kaos polos berwarna hitam. Permainan bola kasti yang sangat melelahkan membuat cuaca siang ini semakin panas. Terlihat Devina yang sedang duduk santai di bawah pohon, ia merasakan Devina kini menghindarinya karena Anjani. Davin memutuskan untuk pergi ke mushola membersihkan diri dan mengganti bajunya.
Devina sudah siap dengan mukena yang disediakan dari mushola sekolah, ia tak sengaja melihat dari sekat pemisah yang menjadi imam adalah Davin. Lelaki yang sering mengulur waktu sholat, kini sering sholat di awal waktu dan berani menjadi imam. Ada sedikit senyuman di wajah Devina. Lalu ia mengucap istighfar dalam hati, “Astagfirullah … Kenapa aku ini?  Ayolah jangan menaruh harapan, aku takut ada hati yang akan terluka nantinya.”
***
Sang jingga menawarkan sejuta keindahannya, membisikkan ketenangan bagi siapa saja yang melihatnya. Kerja kelompok hari ini sangat melelahkan, sudah terlihat matahari akan terbenam barulah aku dan teman-temanku bersiap untuk pulang.
“Anjani, pulangnya beli cappucino di tempat biasa ya!” seruku dengan senyum semerbak. Anjani yang sedang membereskan alat dan bahan-bahan itu tak meresponsku sedikit pun.
“Kamu sendiri aja, aku mau pulang cepat,” sahutnya cuek setelah beberapa detik. Aku terheran dengan sikapnya yang tak biasa ini. “Kamu kenapa?” tanyaku. Namun dia hanya menjawab, “Enggak apa-apa.”
Pulang kali ini tak ada yang berisik saat di jalan, tidak ada yang bercerita dan juga canda tawa. Hanya ada suara jalanan yang membising. Namun saat ini, aku merasakan sepi dalam keramaian. “Kenapa Anjani bersikap seperti itu? Apa karena Davin?” Aku yang terlalu membatin ini tak sadar bahwa sedang berjalan di tengah, hingga suara klakson motor menyadarkan lamunanku.
“Devina,” sahut seseorang yang sangat aku kenal, Davin. “Mau pulang bareng?” lanjutnya. Aku langsung pergi menjauh tanpa aba-aba. Bukannya sombong, aku hanya ingin menjaga diri dan menjaga hati seseorang.
***
Anjani datang lebih awal ke sekolah, namun ia tidak duduk seperti biasa bersama Devina. Ia menyuruh seseorang yang sudah datang untuk bertukar tempat duduk. Hari ini ia sangat malas duduk bersama sahabatnya, dia menganggap Devina sebagai penghianat. Hatinya telah retak dan hancur, akan sulit untuk di bentuk utuh kembali.
Devina masuk kelas dengan rasa yang berbeda, kini yang di sebelahnya bukanlah Anjani melainkan Winda. Ia melihat sekeliling kelas namun Anjani tidak terlihat, lalu ia bertanya pada Winda, “Anjani kemana?” Winda diam sejenak dengan memainkan jemarinya.
“Anjani marah karena kamu sekarang dekat dengan Davin.” Devina menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dugaannya benar, namun ia sama sekali tidak bermaksud membuat sahabatnya sakit hati.
Davin sering kali mendekat pada Devina, namun ia selalu menjauh demi menjaga perasaan sahabatnya. “Hal yang membuat aku jatuh hati, karena kamu selalu mementingkan orang lain dan mengorbankan segala hal termasuk soal hati,” batin Davin.
Siang ini Devina melihat Anjani yang sedang duduk sendiri seraya memainkan ponselnya dipojok kelas, perlahan ia mendekat untuk meminta maaf.
“Anjani … Aku mau meminta maaf atas semuanya. Aku tidak bermak—,”
“Aku enggak apa-apa, Aku permisi.” Sebelum ia selesaikan bicara, Anjani memotong lalu pergi meninggalkan Devina. Memejamkan mata untuk meredam air matanya, Devina merasa sangat sesak dalam dadanya. Sahabatnya sejak SMP itu, kini menjauh dan membencinya karena kesalahpahaman.
Kelas dua belas yang seharusnya fokus belajar dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi ujian nasional, tetapi Devina terus menerus memikirkan sahabatnya yang masih membenci hingga saat ini. Bukan hanya itu, Davin juga sekarang seperti menjauh, itu mungkin karena Devina yang selalu menghindar setiap ia mendekat. Dan hatinya kini merasa berbeda, saat Davin menjauh dan bersikap dingin di hadapannya tetapi dengan siswi di kelas ia selalu tertawa hangat.
“Bukankah ini yang kamu mau? Dia telah menjauh tetapi kenapa kamu merasa sedih?” batin Devina. Apakah arti sedihnya pertanda rasa cemburunya? Kalaupun benar, ia tak akan membuat sahabatnya tersakiti hanya tentang rasa yang tumbuh karena terbiasa.
Belajarnya menjadi terganggu, semangatnya tak lagi membiru dan cerianya kini terlihat semu. Begitulah seorang Devina, yang selalu memikirkan hal kecil namun sangat berarti besar baginya.
Bel istirahat berbunyi lima menit lalu, semua siswa bangkit menuju kantin untuk mengisi perutnya. Di kelas hanya ada Devina dan Anjani. “Mungkin sekarang saatnya untuk menjelaskan kepada Anjani.” Itu terlintas di benak Devina.
“Anjani, boleh kita bicara sebentar?” tanya Devina pelan. “Bicara aja,” sahutnya tanpa melihat Devina.
Devina menarik napas sejenak. “Kita sudah lama ya bersahabat, kita itu bagaikan bintang dan rembulan yang berada dalam satu langit selalu bersama. Kamu tau gak? Sekarang hati aku seperti gelas yang tiba-tiba pecah tanpa tau alasannya, hatiku retak ketika kamu tiba-tiba menjauh tanpa sebab.” Devina menitikkan air matanya.
“Dan kamu juga harus tau, hancur rasanya hati ini saat kalian bersama!”
“Hati seseorang itu tidak bisa kita tebak ataupun kita kendalikan semaunya, kita hanya bisa merasakan tanpa tau yang dirasakan oleh hati lain. Aku berusaha menjauh saat ia mendekat, aku berusaha menjaga persahabatan kita. Karena Sahabat lebih penting daripada sebuah kisah asmara yang indahnya sesaat. Aku rindu kamu yang dulu, Anjani. Bisakah kita jalin persahabatan seperti dulu? Aku sangat rindu.” Tangisnya pecah langsung memeluk tubuh yang terdiam kaku tersebut. Air mata Anjani tak bisa ia tahan, lalu membalas pelukan hangat Devina.
“Maafkan aku yang terlalu egois, selalu mementingkan perasaan sendiri tanpa menjaga perasaan orang lain.” Kejadian pilu antara dua sahabat itu, terekam jelas dalam memori seorang Davin Anggara.
TAMAT
BIODATA PENULIS
Duriyah, suka di panggil dengan nama pena qalamcinta. Lahir 18 tahun lalu tepatnya pada tanggal 31 Desember 2001 di kota Serang, Banten.  Si pencinta langit yang hobi menulis dan menggambar, bercita-cita ingin menjadi seorang guru. Si malas yang berharap menjadi seorang hafizah.
Dia alumni dari SMAN 1 KIBIN jurusan IPA, ia aktif di organisasi Rohani Islami (Rohis). Di dalam organisasi tersebut, ia menjadi pemberani untuk maju di hadapan umum menjadi pembawa acara ataupun pembaca Asmaul Husna.  Ia juga sering ikut berpartisipasi dalam lomba puisi, cipta cerpen dan lain sebagainya di sekolah.
Raga yang takut ketinggian namun jiwa yang senang melihat pemandangan. Si labil yang kepingin kuliah di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Tapi ke Pondok Pesantren juga dia mau.  Makanan kesukaannya adalah nasi goreng campur telur. Kenali lebih dekat yuk! melalui akun instagram @duriyahltfh_ dan @qalamcinta.id  serta akun wattpad @qalamcinta. 
Karya lainnya atau update info lain bisa kunjungi di menu website https://omahkaryaindonesia.com/category/inspirasi/ atau instagram Omah Karya Indonesia.