Pada sebuah desa kecil, hiduplah keluarga kecil yang sederhana. Memiliki rumah kecil beratapkan rumbia dan berdinding rotan. Di dalamnya, tinggal seorang ibu dan empat orang anaknya. Semua anaknya masih pada kecil-kecil. Si sulung berumur 10 tahun, anak kedua 7 tahun, sedangkan si tiga dan bungsu berumur 5 dan 3 tahun. Jika ada yang bertanya, lalu sang Ayah? Di mana? Kenapa tidak hidup dengan mereka?

Pada suatu hari, si sulung yang bernama Aira bertanya pada ibunya, ke mana perginya sang ayah dan mengapa tidak tinggal bersama mereka? Sang ibu tidak menjawab, tetapi malah menghukum Aira dengan pukulan yang bertubu-tubi.

“Sudah ibu katakan, jangan pernah bertanya tentang keberadaan Ayah.” Suara  sang ibu begitu menggelegar. Hingga beberapa tetangga berdatangan ke rumah, untuk melihat apa yang sedang terjadi. Luka-luka yang terbentuk di tubuh Aira begitu terlihat mengerikan. Darah  mengalir  deras dari pelipisnya. Beberapa tetangga mencoba menenangkan sang ibu dan menolong Aira. Mereka terpaksa membawa Aira untuk menjauhi sang ibu.

“Tidak perduli semarah apa pun, jangan sampai menyiksa anak yang masih kecil, Bu,” Seseorang mencoba menasihati ibu.

“Aku tidak perduli!” sahut ibu.

Menjelang malam hari, seorang tetangga mengetuk pintu rumah Bu Aisya, berniat untuk mengantarkan Aira pulang. Sudah dua hari Aira tidak pulang ke rumah. Seseorang membuka pintu dari dalam. Ternyata Aila.

“Ke mana ibu?” tanya Aira saat sudah berada di dalam rumah.

“Kak, Ibu sakit,” ucap Aila. “Ibu ada di kamar, sudah dua hari selalu menangis dan tidak mau makan,” jelas Aila dengan raut wajah yang sedih. Aira memeluk si adik berusaha untuk menenangkan Aila.

“Aila yang tenang, ya. Biar Kakak yang coba bujuk Ibu untuk makan. Aila jangan nangis lagi.” Aira menyadari satu hal. Sang ibu sakit saat Aira tidak ada di rumah. Ada perasaan menyesal yang mengganggu hati Aira. Seharusnya, dua hari yang lalu Aira tidak perlu bertanya pada sang ibu perihal keberadaan sang ayah. Ibu sangat tidak menyukainya.

Baiklah, aku harus meminta maaf pada Ibu, ucap Aira dalam hati.

Saat Aira membuka pintu kamar ibunya, dia berusaha untuk pelan-pelan agar tidak menimbulkan suara yang berisik. Aira melangkah ke arah tempat tidur. Dilihatnya dengan jelas wajah ibunya. Tak terasa dua bulir air matanya mengalir. “Maafkan aku, ibu,” bisik Aira. Kemudian, Aira pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Aira memasak bubur agar ibunya dapat dengan mudah menelan makanan. Tak lupa, Aira juga menyiapkan makanan untuk adik-adiknya. Karna Aira yakin, bahwa ketiga adiknya juga pasti belum makan malam.

Tiba-tiba, terbayang di benak Aira tentang ayahnya. Dua tahun yang lalu, tepat di usianya yang kedelapan tahun. Sempat terdengar olehnya keributan antara ayah dan ibunya di dalam kamar mereka. Ibu yang bernada tinggi memarahi ayah. Terdengar juga beberapa dentuman keras di dinding kamar. Aira yang saat itu tidak berani melihat, hanya mendengarkan dari balik pintu. Beberapa saat setelah dentuman keras, sang ayah keluar kamar dengan raut wajah yang sangat marah dan pergi sambil menggendong sebuah ransel besar di pundaknya. Sejak saat itulah sang ayah tidak pernah kembali lagi.

Selama beberapa tahun semenjak kepergian sang ayah, ibu juga berubah jadi pemarah. Hatinya yang mudah tersinggung, dan sering menangis di saat semua anak-anaknya sudah tertidur pulas. Pernah juga sang ibu memeluk Aira dalam keadaan Aira yang tertidur pulas. Namun Aira menyadarinya. Hanya sebentar. Ya, hanya sebentar. Aira merindukan pelukan ibunya.

Makan malam sudah selesai. Awalnya, tidak mudah merayu sang ibu untuk makan. Akan tetapi, Aira tidak menyerah. Dengan sabar dan lemah lembut, Aira terus membujuk ibunya. Perasaan senang menghampiri Aira, saat sang ibu akhirnya menyerah dan memilih untuk memakan bubur yang dibuatkan oleh Aira.

Keesokan paginya.

Tiba-tiba tubuh sang ibu menggigil kedinginan, tubuhnya kaku tidak bisa digerakkan dan kulitnya pucat. Sang ibu juga tidak mengeluarkan suara saat bicara. Keempat anak kecil itu mulai panik dan kebingungan. Aira berlari keluar rumah untuk meminta pertolongan para tetangganya. Aira berlari ke sana kemari sambil menangis. Semua pintu rumah di ketuknya.

“Bibi, tolong ibu saya.”

“Paman, tolong ibu saya, hiks … hiks … hiks.”

Itu yang diucapkannya pada setiap orang yang mebuka pintu rumahnya untuk Aira. Beberapa orang memberikan respon yang sangat cepat dan berlari di belakang Aira, mengikuti anak kecil itu menuju ke rumahnya. Benar saja, keadaan sang ibu semakin memburuk. Adik-adiknya sudah menangis sangat keras sambil berteriak memanggil sang ibu. Untung saja Aira tidak terlambat. Para tetangga segera membopong tubuh Bu Aisya. Membawanya ke puskesmas terdekat.

Namun puskesmas menyerah. Mereka menolak ibunya. Katanya, sang ibu butuh rumah sakit yang besar agar bisa sembuh. Aira lebih kebingungan, apa yang harus dilakukannya? Di sana tidak ada ayahnya, adik-adiknya juga menangis tak henti-hentinya. Aira berlutut pada orang-orang yang ada di puskesmas. Dia memohon agar pihak puskesmas mau membantunya. Aira menangis sangat keras hingga suaranya begitu terdengar memilukan. Sungguh malangnya Aira. Orang-orang hanya melihatnya tanpa ada yang menolong.

Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba suara teriakan keras datang dari luar pintu puskesmas. Dari jauh. Aira mengenali suara itu begitu mendekat. Betapa kagetnya Aira dengan apa yang dilihatnya. Ya, teriakan itu berasal dari suara ayahnya. Namun sang ayah menggendong seorang anak kecil yang mungkin kira-kira berusia 5 tahun. Di sampingnya, berdiri seorang wanita dengan wajah yang tak kalah panik dari sang ayah. Aira berdiri dan berusaha untuk memanggil ayahnya. Saat sang ayah menyadari keberadaan Aira, sang ayah lebih terlihat panik. Terlihat jelas kegelisahan di wajah ayahnya.

Belum sempat Aira bersuara, ayahnya sudah lebih dulu meninggalkannya. Aira berbalik melihat adik-adiknya. Ternyata, Aila juga menyadari ayahnya ada di sana. Aira berusaha menenangkan adik-adiknya. Aira memeluk ketiganya. Lalu, Aira berusaha memberikan isyarat kepada Aila untuk tetap duduk di dekat ibunya sambil menjaga adik-adiknya. Aila mengerti dengan perintah kakaknya.

Aira berusaha mencari Ayahnya. Dia ingin memberitahukan kepada sang ayah tentang keadaan ibunya yang sedang sakit parah. Meskipun Aira sadar akan keluarga ayahnya yang baru. Namun Aira tidak punya pilihan lain, selain pada ayahnya. Setibanya Aira di depan salah satu ruangan. Dari kaca luar, Aira terus memperhatikan sang ayah yang begitu perhatian pada anak kecil yang ada di tempat tidur. Hati Aira begitu sakit melihat akan hal itu. Namun saat ini yang ada di pikiran Aira hanya ibunya. Saat Aira ingin melangkahkan kakinya pergi, samar-samar terdengar olehnya percakapan sang ayah dan dokter dari dalam ruangan.

“Anak ini harus dibawa ke rumah sakit yang besar, karna jantungnya sudah parah.” kata Dokter. “Saya harap, Ibu dan Bapak harus lebih berusaha lagi untuk mendapatkan pendonor jantung. Saya takut, jika tidak di segerakan, maka kalian akan kehilangan anak ini.” tegas sang Dokter. Ayah yang begitu panik, langsung berusaha menelpon beberapa rumah sakit untuk menanyakan tentang pendonor jantung. Aira semakin sakit hatinya, tak tahan dengan kelakuan ayahnya. Aira pergi dari tempat itu.

Beberapa saat, Aira berpikir keras di samping tubuh ibunya yang sudah terlihat begitu mengerikan. Seperti tak ada harapan untuk sang ibu agar bisa pergi ke rumah sakit yang lebih besar. Aira hampir menyerah. Gadis kecil itu berpikir, dia yang akan menjaga adik-adiknya nanti jika sang ibu tak tertolong lagi. Tiba-tiba, terlintas cara lain di pikiran Aira. Aira berlari sangat kencang meninggalkan ibunya untuk kembali ke ruangan di mana ayahnya berada.

Aira mengetuk pintu tersebut dari luar, perlahan dibukanya. Lalu, dengan berani Aira memasuki ruangan itu. Dua orang dewasa di sana terlihat bingung. Terlebih sang ayah yang mulai terlihat gelisah. Takut-takut jika Aira menceritakan tentang ayahnya pada wanita yang ada di dekatnya.

“Maaf, jika saya lancang untuk memasuki ruangan kalian, tapi tadi tidak sengaja saya mendengar apa yang dikatakan dokter tentang kondisi anak Ibu dan Bapak,” kata Aira dengan berani. “Saya bersedia memberikan jantung saya untuk anak Ibu dan Bapak, asalkan kalian juga membantu saya.” Aira hampir menangis. Akan tetapi, berbeda dengan raut wajah kedua orang tua yang ada di hadapannya sekarang. Terlihat senang bercampur bingung. Ternyata kebingungan mereka hanya sementara, setelah percakapan yang cukup panjang, akhirnya mereka menyetujui semua permintaan Aira. Aira yang begitu bahagia, kembali ke tempat di mana ibu dan adik-adiknya berada. Aira tidak menceritakan tentang ayahnya pada Aila. Untuk sekarang, ada yang membantu ibunya saja sudah cukup membuat Aira senang.

Beberapa minggu kemudian.

Kesehatan sang ibu sudah pulih, dokter sudah memperbolehkan mereka untuk pulang. Aila yang sudah melewati masa di mana saat dia kehilangan Aira, mulai tabah dan menepati janjinya untuk merawat ibunya dengan baik. Mereka tiba di rumah. Sang ibu mulai kebingungan. Sejak kepulangannya dari rumah sakit, dia tidak pernah melihat Aira. Perasaan takut mulai melanda hatinya. Sudah hampir seminggu kepulangan sang ibu di rumah, Aira tak pernah pulang. Ini bukan kebiasaan Aira yang bisa pergi berhari-hari lamanya. Sang ibu lalu bertanya pada Aila dan anaknya yang lain. Namun ketiga anaknya tidak ada yang bisa menjawab. Lalu, Aila berlari ke kamar dan kembali lagi sambil memberikan satu amplop coklat yang besar pada ibunya. Ibunya kebingungan dengan sikap Aila. Namun Aila mengatakan bahwa Aira berada di dalam amplop coklat tersebut. Dengan perlahan, ibunya membuka amplop tersebut. Di sana ada dokumen aneh yang menyebutkan pendonoran jantung yang dibayar tunai. Tangan sang ibu mulai gemetaran, lalu dilihatnya ada surat putih. Sepertinya tulisan Aira.

Ibuku yang tersayang, Aira minta maaf, ya, Bu. Aira tidak pamit sama Ibu saat pergi. Namun Aira sudah pamit sama Ayah dan Aila, Aliya, dan Andika. Ibu jangan sedih ya. Jangan nangis lagi. Aira minta maaf jika Aira sering nakal dan tidak mau dengar perintah Ibu. Aira tahu, Ibu tidak suka pada Aira. Itu sebabnya, Ibu sering marah dan memukul Aira. Namun sekarang Ibu tidak perlu marah-marah lagi. Karna Aira sudah pergi yang jauh. Ibu jangan cari Aira, ya. Semoga Ibu bisa menjaga kesehatan Ibu. Jangan sakit lagi, ya, Bu dan jangan marah pada adik-adik Aira. Kasihani mereka, sayangi mereka. Sampai saat Aira pergi, Aira ingin Ibu tahu satu hal. Aira sangat menyayangi Ibu. Sampai Aira menutup mata Nanti. Selamat tinggal, Ibu. Aira sudah bahagia sekarang. Jantung Aira ada pada anak kecil yang hidup bahagia bersama Ayah.

Tak terbendung lagi air mata sang ibu. Dia merasakan sakit yang menusuk jantungnya. Nasi sudah menjadi bubur. Penyesalan pun selalu datang di saat sesuatu yang berharga telah hilang. Bu Aisya hanya bisa menangisi sesuatu yang telah hilang dari hidupnya untuk selamanya.

Riau , 30 Agustus 2021

 

Khairani atau lebih sering di kenal dengan kaira_kimm, itu adalah  nama  pena. Biasa di panggil kaira atau Kai, ia anak sulung dan seorang kakak dari 6 bersaudara. Saat ini ia sedang bekerja di salah satu toko cakery and pastry,tentunya sebagai si pembuat kue dan cookies. Dilain waktu juga aktif sebagai admin online shop,pengedit foto dan video, dan di sela-sela kesibukannya ia aktif sebagai penulis diberbagai komunitas menulis.
sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/724235183818132808/