Gadis itu terburu-buru untuk berdiri dari kursi penumpang yang barusan ia duduki. Kendati sebenarnya untuk berdiri diatas kendaraan yang sedang berjalan itu tidak mudah. Keseimbangan harus ia jaga penuh agar ia tidak terjungkal jatuh dan tersungkur. Namun sedikit banyak ia sudah terbiasa dengan kendaraan berbadan panjang dan beroda empat tersebut. Karena di tempat inilah ia setiap pagi dan sore berada. Satu-satunya kendaraan yang bisa ia ikuti untuk sampai pada tempatnya bekerja setiap hari adalah sebuah bus kecil dengan aksen seperti angkutan umum. Lebih dari itu, saat ini ia sedang benar-benar tidak ingin terlewat dari tempat yang ia tuju.
“Pak.. Pak…, Pasar Dolopo Pak..“
Sembari berpegangan pada ujung sandaran badan kursi, gadis itu memanggil kernet bus yang sedang bersandar di pintu masuk bus. Hal itu terjadi secara spontan ketika tiba-tiba ia melihat Masjid Istiqomah Kecamatan Dolopo dari kaca bus. Masjid jami’ tersebut terlewati begitu saja oleh Bus Cendana yang ia tumpangi pagi itu. Sebuah bus kecil dengan mesin yang sudah sedikit reyot. Bahkan beberapa bus yang sama sudah memiliki badan dan mesin yang benar-benar reyot. Kendati rombongan bus yang tergabung dalam sebuah PT kecil itu masih saja manjadi kendaraan favorit bagi sebagian penduduk di sekitar kawasan Ponorogo-Madiun. Lebih tepatnya khusus bagi masyarakat yang memiliki keuangan dengan batas ekonomi menengah ke bawah. Seperti gadis muda yang biasa di panggil Rani tersebut. Satu-satunya kelebihan kendaraan yang setiap hari aktif beroperasi di sepanjang jalan raya besar Ponorogo-Madiun tersebut adalah nama.
Menurut Rani nama dari bus-bus tua tersebut sangat keren dan menakjubkan untuk disebut dan didengar. Dihadapan orang asing yang berasal dari daerah lain dan belum mengetahui tentang bus legendaris itu. Mungkin Rani akan menyebut nama kendaraan itu dengan membusungkan dada penuh kebanggaan. Ditambah lagi dengan deskripsi badan bus yang memiliki perpaduan warna abu-abu dan hijau toska gelap. Meski pada kenyataannya kulit cat dari badan bus itu sudah banyak memiliki lecet dan terkelupas di sana sini yang kemudian akan berganti dengan warna besi yang sudah berkarat kecoklatan. Pada dasarnya Rani sangat bersyukur bisa pulang pergi bekerja hanya dengan membayar ongkos sebesar delapan ribu rupiah setiap harinya. Tidak lebih satu persen dari gaji yang ia dapat selama bekerja di pasar setiap bulan.
Sudah menginjak tahun ketiga gadis yang sangat suka dengan model tatatan rambut kucir kuda berponi miring tersebut memasuki dunia kerja. Setelah lulus dari MAN 2 Dolopo jurusan IPS dengan nilai pas-pasan Rani langsung banting tulang mencari penghasilan. Dengan usahanya mengabaikan teman-temannya yang sibuk memikirkan kampus mana yang ingin dimasukinya, Rani menguatkan diri. Bukan apa-apa, semua kekuatan itu ia pupuk untuk terus bertahan hidup dengan adik dan bunya yang sakit-sakitan. Dan itulah awal mula ketika akhirnya Rani menjadi karyawan tetap di sebuah kios toko baju di Pasar Dolopo.
“Ada yang ketinggalan…”
Rani sudah berdiri di samping tiang traffic light yang kala itu menyala merah ketika mendengar sebuah suara. Di ucapkan dengan pelan namun mampu menembus keramaian badai aktivitas pagi itu. Dan Rani tahu suara itu adalah milik seorang pemuda yang sedang melangkah keluar dari Bus Cendana ketika ia menoleh. Sudah nampak bahwa kalimat yang diucapkan oleh laki-laki bertopi itu adalah untuknya. Karena laki-laki muda itu tengah berjalan menyusulnya setelah melewati pintu bus yang ditumpanginya tadi.
Sedetik kemudian Rani menyadari bahwa laki-laki itu sedang menenteng sebuah buku yang ia tahu miliknya. Buku binder kecil dengan sampul mika berwarna hijau muda itu adalah miliknya. Berisi beberapa catatan penting tentang dia dan kehidupannya.
“Ini punya kamu kan? Rani…”
Rani menebak bahwa laki-laki yang kira-kira sebaya dengan dirinya itu sempat membaca namanya. Tentu saja adalah nama yang tercantum di dalam buku mungil itu. Itu berarti bukan tidak mungkin bahwa orang asing itu sudah lancang membuka buku pribadi Rani. Meski pada satu titik tertentu si asing telah berjasa menemukan dan mengantar barang berharga itu pada pemiliknya.
Ada beberapa alasan yang membuat rasa tidak nyaman mendadak hadir di hati Rani kini. Karena namanya disebut oleh orang asing yang wajahnya saja baru Rani temukan belum genap lima menit. Kemudian ketika Rani merasa langkahnya diikuti oleh orang asing itu. Terlepas dari maksud baik dari orang asing itu. Dan itu menyebabkan Rani spontan menarik buku yang segera disodorkan oleh si kepala bertopi setelah berdiri tepat di hadapannya.
“Terima kasih… “
“Sebentar…”
Dan ini menjadi alasan ketiga dari dua alasan lain yang sudah Rani dapatkan sebelumnya.
“Rana…”
Dan Rani diam tak percaya.
“Maaf saya sedang buru-buru.”
Dia menjatuhkan tangannya setelah kira-kira dua tiga detik terangkat untuk diulurkan pada Rani. Dan gerakan selanjutnya mengusapkan tangan itu pada ujung topi yang dikenakannya.
Yookk.. ayo ayo.. Mediun.. Mediun Mediun[1]
Tak ingin tertinggal oleh Bus Cendana yang ia tumpangi tadi Rana segera berbalik arah menuju arah pintu bus. Ternyata lampu traffic light sudah berganti dengan nyala hijau kala kernet bus mulai berteriak-teriak memancing penumpang. Dan Cendana itu sedang tidak akan ngetem[2] di tempat itu rupanya. Sedikit berlari, Rana mengejar kesempatan untuk menaiki kendaraan yang sudah mulai berjalan itu.
“
Sebuah bus besar dengan dengan badan penuh oleh gambar beberapa panda dan bambu hijau melintas hampir sampai di depan sekolah Rani. Di kawasan jalan Raya Madiun-Ponorogo, lebih tepatnya di kawasan Desa Glonggong Kecamatan Dolopo Kabupaten Madiun. Namun ada yang aneh dari cara berjalan dari bus arah Surabaya itu. Melalui kaca kecil Bus Cendana yang ditumpanginya Rana menangkap sesuatu. Bus besar yang datang dari arah selatan itu melaju dengan kecepatan tinggi. Menyalip sebuah mobil pick up yang posisinya tidak telalu menepi ke kiri melainkan sedikit ke tengah. Dengan begitu bus panda yang memiliki nama Restu itu mengmbil ruas jalan kanan. Dari arah berlawan Rana datang bersama Bus Cendana yang ia tumpangi. Selain sekujur tubuh Rana yang tiba-tiba bergetar hebat matanya juga terbelalak kala menyaksikan sopir Cendana spontan membanting setir. Keras sekali sampai-sampai hampir menuruni jalan berlapis aspal tebal tersebut. Hingga Rana menyadari bahwa keputusan membanting setir itu tidak semata-mata benar menyelamatkan semua yang terlibat.
Baik Rana maupun penumpang yang lain, atau bahkan sang pengemudi. Mereka sama-sama sungguh merasa tidak sanggup melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika tiba-tiba mereka menemukan seorang gadis dengan pakaian putih abu-abu lengkap dengan tas sekolahnya berdiri ditepi jalan. Rana masih sangat ingat saat itu ia masih duduk dibangku sekolah menengah menengah atas tahun terakhir. Hampir memasuki masa-masa ujian akhir nasional. Saat itu ia baru pulang dari Toko Buku Terang[3] untuk membeli perlengkapan ujian sekolah keagamaan. Karena ia perlu mempersiapkan segala ujian akhir keagamaanya di Sekolah Aliyah Alhikam Klaten Geger Madiun. Seragam aliyah masih lekat di tubuh menemani kepergian jarak dekatnya saat itu. Hingga perjalanan pulang yang kala itu melewati MAN 2 Madiun membawanya untuk mengukir sebuah memori cerita. Tentang buku dan seorang gadis. Tentang Bus Cendana dan segala kisah di dalamnya.
Dengan sisa tenaga yang ia miliki setelah mengikuti permainan singkat yang terpaksa dilakukan oleh sang sopir bus kecil Rana berlari ke arah pintu keluar bus. Kala itu bus sudah berhenti di semak rumput liar dekat dengan jajaran rumah yang berdiri ditepi jalan raya dengan cara yang kurang wajar. Entah atas dasar apa kemudian Rana berlari menghampiri tempat di mana gadis putih abu-abu yang sempat ia lihat tadi berdiri. Tempat itu sudah penuh dengan kerumunan orang-orang. Terdiri warga sekitar dan anak-anak muda seusia Rana lengkap dengan seragam sekolahnya.
“Rani.. Rani…”
“Oh, ya Tuhan.. Rani.. “
Beberapa kerumunan berseragam itu menjeritkan sebuah nama. Dan dari balik celah kecil Rana sempat menemukan gadis itu sudah tersungkur ditepi jalan dalam keadaan tidak sadarkan diri. Selain perlengkapan sekolah seperti tas sekolah dan sepatu hitam yang melekat ditubuhnya. Rana menemukan sebuah buku catatan kecil dengan cover hijau muda. Juga sebuah tatanan rambut yang kucir kuda dengan poni miring yang sudah lusuh oleh debu jalanan dan mungkin oleh ulah bus kecil yang ia tumpangi tadi.
“
Suaranya keras sekali, sampai-sampai membuat Rani dan orang-orang yang berada disekitarnya terkaget. Sebagian spontan berlari kearah suara, terutama laki-laki yang kebetulan sedang berada disekitar sumber suara. Dengan masih berusaha melegakan dadanya yang belum sepenuhnya sembuh dari rasa aget. Rani berbalik dan kemudian melihat apa yang terjadi sebenarnya. Sebuah Bus Cendana tengah terparkir di tengah jalan raya dalam keadaan terbaring miring. Disampingnya lagi-lagi Bus Restu membuat sebuah tragedi ditengah jalan raya. Dengan sisa kesombongan yang kerap sekali menguasai seluruh ruas jalan raya. Bus itu masih berdiri tegak di samping Cendana yang ini tidak berdaya. Lebih dari itu, dengan membawa segala rasa iba yang tiba-tiba menyeruak hebat. Gadis itu berlari kearah tragedi di tengah jalan itu. Demi apapun tiba-tiba Rani teringat akan peristiwa terhebat yang pernah ia alami dalam kurun waktu tiga tahun kebelakang. Dan buku kecil yang kini erat bersembunyi di balik genggaman Rani itu rupanya telah menjadi saksi. Tentang sebuah kisah ajaib dari Bus Cendana.
“
“Tadi ada laki-laki yang kesini anter bukumu ini Ran…”
“Siapa?”
“Katanya penumpang Cendana yang srempet[4] kamu tadi.”
“Sudah pulang?”
“Barusan keluar, mungkin masih di depan situ.”
Dan Rani melihat seseorang dengan memakai topi di kepalanya dari kaca ruang tempatnya dirawat. Dengan mata yang masih muram karena baru bangun dari pingsan Rani meilihat punggung itu semakin jauh melangkah pergi.
“
Surakarta, 27 Maret 2018
Hidayatun Nafisah
[1] Madiun; Karena aksen pengucapan lidah jawa yang biasa mengganti huruf vocal A dengan vocal E.
[2] Berhenti dalam waktu lama dikawasan umum yang ramai. Biasanya kernet bus akan berkeliaran di antara keramain itu demi mendapatkan penumpang.
[3] Nama sebuah toko buku keagamaan yang berada di kota Ponorogo. Terletak di barat kampus utama IAIN Ponorogo menghadap ke selatan.
[4] Pengendara yang hampir menabrak pejalan kaki tetapi hanya menyenggol saja. Meski tidak separah ketika menabrak langsung tetapi kejadian seperti ini juga sangat membahayakan pejalan kaki.