Cerpen karya Alfiana

“Dia masih bernafas, Na. Tolong panggil ambulans.” ujar Sagita setelah memeriksa keadaan lelaki yang ada di depannya itu. Kecelakaan tragis beberapa menit yang lalu itu masih teringat jelas di kepala Sagita. Ia memejamkan matanya. Seluruh tubuhnya gemetar, lalu terlintas gambaran di kepalanya. Sebuah kecelakaan yang sama persis yang dulu pernah dialaminya.
Setibanya di rumah sakit, Sagita dan Nana menunggu hingga dokter keluar dari ruang ICU. Sagita sudah mengabari keluarga lelaki yang di tolongnya. Tapi hingga kini keluarganya belum datang juga. “Git, kita pulang aja, yuk. Lu yakin mau nunggu keluarganya Arius sampai datang ke rumah sakit? Ini udah jam 11 malam lho?” tanya Nana sedikit khawatir dengan Sagita. Masalahnya setiap Sagita pulang ke rumah setelah kerja, mamanya selalu saja memarahi Sagita.
Sagita hanya tinggal berdua bersama mama tirinya di sebuah kontrakan kecil. Mama kandungnya sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Papanya pergi entah kemana setelah membawa seluruh harta peninggalan mamanya. Dan Sagita harus hidup mandiri. Siang setelah pulang kuliah, ia harus bekerja untuk membiayai kuliahnya dan untuk makan sehari-hari. Sebelum berangkat kuliah ia harus memasak, mencuci baju dan mengurusi adiknya yang masih duduk dibangku sekolah dasar.
“Kita tunggu bentar lagi ya. Setidaknya sampai dokter keluar dan memberitahu keadaan Arius seperti apa. Setelah itu kita pulang.” Pinta Sagita agar sahabatnya itu tetap sabar menemaninya. Sebenarnya mereka sudah sangat lelah. Tapi tidak baik jika ada teman yang sedang kesusahan dan ditinggalkan begitu saja.
Setelah lama menunggu akhirnya dokter keluar dari ruang ICU. “Bagaimana keadaan teman saya, Dok? Apa dia baik-baik saja?” tanya Sagita yang menghampiri dokter. “Tenang saja, pasien tidak terluka parah. Hanya saja sebelah kakinya mengalami patah tulang. Setelah menjalani terapi pasti pasien akan segera pulih kembali.”
Ada rasa lega setelah mendengar penuturan dari dokter. Padahal selama ini Arius selalu berlaku kasar dengan Sagita. Tapi entah kenapa saat melihat keadaan Arius, ia merasakan kesedihan menjalar di hatinya. Tak lama kemudian keluarga Arius tiba di rumah sakit. Sagita menjelaskan apa yang terjadi, lalu ia dan Nana berpamitan pulang.
Hampir tiga minggu Sagita tidak melihat batang hidung Arius. Diam-diam Sagita merasa rindu dan ingin sekali menjenguk Arius. Sudah berulang kali Nana mengingatkan untuk tidak memikirkan lelaki yang selalu mencari gara-gara dengannya. Tapi entah kenapa Sagita tidak memperdulikan semua itu. Hari ini Sagita libur kerja, mungkin sore nanti ia akan menjenguk Arius di rumah sakit.
Sebelum ke rumah sakit, Sagita membeli satu kotak martabak cokelat kesukaan Arius. Ia tidak bisa membelikan bingkisan buah karena uangnya pasti kurang untuk makan beberapa hari kedepan. Setibanya di rumah sakit, Sagita melangkahkan kakinya di ruang Anggrek dan mengetuk salah satu pintu disana. Tapi sepertinya tidak ada orang. Ia memberanikan diri untuk membuka pintu, matanya menjelajah seluruh ruangan tapi tidak ada Arius disana. Sagita menaruh sekotak martabak di atas meja lalu keluar mencari Arius.
Kata perawat, Arius sedang menjalani terapi. Sagita berniat untuk melihat Arius disana. Saat berada di taman rumah sakit, langkah kaki Sagita terhenti karena handphone-nya bergetar. Sebuah pesan dari mamanya yang menyuruh Sagita untuk segera pulang. Saat Sagita hendak berbalik, tidak sengaja ia menabrak bahu seorang laki-laki di belakangnya. Dan dia adalah Arius.
“Lo gak punya mata?” sergah Arius menatap tajam ke arah Sagita. “Maaf, gue gak lihat” lirihnya lalu diam beribu bahasa. Arius tidak memperdulikan Sagita walau ia sudah minta maaf. Dengan tumpuan tongkat, Arius berjalan tertatih-tatih menuju ruang kamarnya. Sesampai di kamar, ia melihat sekotak martabak yang berada di atas meja. Dari siapa martabak cokelat kesukaannya itu?
Dan sore itu pun terlewat begitu saja, hingga Arius akhirnya pulih dan bisa kembali ke kampus.
Di suatu siang, Arius sedang berada di kantin. Sekarang ia sudah bisa kuliah lagi meski harus berjalan dengan tongkat bantu. Sagita membawa dua gelas es teh ditangannya dan berjalan melewati kerumunan mahasiswa yang ada di kantin. Karena bersenggolan, es teh itu tumpah dan membasahi Arius yang ada di sampingnya. “Lo gak punya mata?” Arius murka. “Maaf” ucap Sagita. “Kenapa sih lo selalu cari gara-gara sama gue?” bentak Arius semakin geram.
“Kalau ngomong gak usah bentak bisa ngga sih? Sagita udah minta maaf. Lu tau siapa yang nolongin lu waktu kecelakaan? Sagita! Dan lu ngga ada terima kasihnya sama sekali” ujar Nana lalu menarik Sagita untuk menjauh dari Arius.
Arius termenung memikirkan Sagita. Kenapa sikapnya bisa sekasar itu dengan Sagita? Hatinya terasa terluka tiap kali membentaknya. Di raihnya smartphone-nya lalu ia menghubungi Nana.
Sagita tidak tahu kenapa Arius memintanya untuk menunggu di atap gedung kantornya bekerja. Sudah satu jam berlalu ia menunggu Arius. Apa semua hanya tipuan Arius saja? Atau bagaimana jika Arius mempunyai niat untuk mencelakainya? Saat Sagita berbalik, ia melihat Arius tengah berdiri jauh di belakangnya. Arius semakin mendekat ke arah Sagita. Jantung Sagita berdebar kencang saat Arius tepat berada di depannya. Sedetik kemudian, Arius memeluk Sagita dengan erat.
“Maafkan aku” bisik Arius di telinga Sagita. “Maafkan aku yang tak mengenalimu, Sagita Kharina. Aku terlalu bodoh untuk mengenali orang yang selama ini aku cari.” Sagita hanya diam mendengarkan Arius.
“Aku masih mencintaimu. Amnesiaku pasti sangat menyiksamu. Aku sudah mendengar  semuanya dari Nana. Sekali lagi maafkan aku. Aku bodoh untuk mengenali calon tunanganku yang sebenarnya selama ini sudah ada di depan mataku. Maafkan aku, Sagita Kharina.”
Arius masih memeluk erat Sagita. Dan Sagita meneteskan air mata kebahagiaanya. Untuk hari ini, Arius sangat senang bisa menemukan cintanya yang telah berpisah beberapa tahun lalu.