Menuju senja

Saat percikan jingga menutupi jalanan, kita menyusuri kota dengan sepeda motor antikmu. Menuju senja yang  kala itu hampir tak terlihat. Aku duduk termenung di jok belakang menikmati setiap detik waktuku denganmu. Membiarkan sapuan angin membelai tubuh kita dengan suara kendaraan sebagai iramanya.Kita mengikuti jejak hilangnya senja dengan banyak cerita.

Kau bercerita tentang masa lampau, aku pun bercerita tentang hari esok. Kau bertanya tentang masa depan, aku pun menjawab ‘hanya takdir yang tau’. Di sepanjang jalan kita mengoceh tanpa jeda mengisyaratkan kebisingan hanya milik kita.

Perlahan aku melirik sudut bibirmu di balik kaca spion, lalu menikmati keindahan wajahmu yang tampak ceria. Sontak kau menoleh, rasa gemuruh bergejolak. Ada rasa getir di dadaku yang membuat detak jantungku tak beraturan.

Kau menatapku, aku juga menatapmu. Mata kita bertemu dalam imajinasi lekukan kaca spion. Akankah waktu berpihak pada kita? Pikirku. Lantunan adzan terfatwakan, meninggalkan ingar-bingar yang kita ciptakan. Kau diam seakan telah sampai pada tujuan.

“Sholat dulu ya!”, ucapan sederhana yang menenangkan. Membawa kalbu terbang tak terkendali. ‘Sepertinya kamu memang calon imam yang mampu membawaku pada Jannah-Nya’, batinku.

“Udah kan sholatnya?” Tanyamu lembut. “Makan dulu ya!” Titahmu.

Kata yang keluar dari bibirku hanyalah ‘Iya’. Kata yang memiliki banyak makna bagi wanita. Namun tidak denganku. Kata itu cukup mewakili gejolak bahagia yang tak sempat terucap.

Warung sederhana

Dibawah cahaya purnama, kita menyecap hangatnya kuah bening bercampur lumatan daging berbentuk bulatan (bakso) yang membawa aroma keheningan ditemani secangkir cairan orange yang menyejukkan.

Alunan gitar kecil pengamen mendayu-dayu dengan suara khas mereka yang terus mengalun mengiringi keheningan malam. Lengkap sudah kehangatan di warung sederhana seberang jalan.

“Gimana? Pulang?” Ujarmu tepat lima senti di depanku. Hembusan nafasmu menyapu lembut wajahku dan  membuatku seakan terhipnotis dengan segala tingkahmu.

“Terserah. Tapi aku masih ingin disini, sih.” Jawabku gugup sambil menatap matamu.

“Tapi aku mau menikmati purnama terakhir di jalan bersamamu. Gak mau?”  Ujarmu sembari menatapku sayu dengan mata sipitmu.

“Ha? ” Sambil membelalakkan mata, aku sedikit tak mengerti maksud ucapanmu.

“Ya sudah, pulang ya!” Putusmu, lagi-lagi dengan nada lembut yang menenteramkan dan tak dapat aku tolak.

Rintik terakhir di ujung purnama

Secercah cahaya bulan purnama yang mulai meremang menemani perjalanan kita malam ini. Membawa keindahan di balik sorot lampu yang menyilaukan. Rintik hujan mulai terlihat jelas di bawah cahaya purnama. Aroma petrichore mulai tercium bersamaan dengan tetesan pertama. Perlahan rintik itu berubah menjadi percikan lebat yang membasahi tubuh.

“Lanjut jalan ya, aku ingin menikmati rintik terakhir di ujung purnama bersamamu.” Ujarmu dengan penuh senyum kehangatan sembari melajukan sepeda motor antikmu dengan penuh ketenangan di bawah guyuran hujan malam.

Aku hanya bisa mengangguk. Membiarkan kulitku tersentuh hujan dan wajahku terbasuh bulir tangisan awan. Kemudian kau mulai membuka pita suaramu dan bertanya,

“Suka?” Tanyamu sambil menatapku dibalik kaca spion.

“Suka, apalagi bareng kamu.” Jawabku sambil tersenyum malu.

“Aku harap hari ini kamu bahagia.” Katamu sambil menoleh ke arahku.

Belum sempat aku menjawab perkataanmu, terdengar keras suara klakson dari arah belakang. Semua orang berteriak. Truk melaju dengan kecepatan penuh dan lepas kendali sehingga mampu menyapu habis kendaraan di depannya. Merobohkan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang lainnya. Kita tak sempat menghindar dan truk itu pun menyeret kita ke pelosok jalan. Sungguh, itu kejadian yang tiba-tiba dan sangat tak terduga.

Kepalaku mulai pening dan wajahku mulai pucat. Tanganku yang gemetar tak sengaja menyentuh cairan hangat dari tanganmu. Suara desah-desuh mulai memekakkan telinga. Mataku ingin sekali mengatup. Tapi aku sedikit sadar, ada tangan yang kugenggam. Tangan seseorang yang belum sempat aku jawab pertanyaannya. Tiba-tiba mataku terpejam tak kuasa melihatnya.

Ke JannahNya

Sosok berjubah putih menghampiriku kaku di tengah ramainya kerumunan. Sosok yang memiliki sinar mata coklat terang, wajah pucat pasi yang berseri, dan rambut halus yang tertata sangat rapi. Sosok itu mirip dengan orang yang terakhir aku lihat. Iya, kamu. Itu memang kamu.

“Kamu bahagia?” Pertanyaanmu itu seakan terngiang kembali di telingaku.

“Aku harap di bulan purnama kali ini kamu bahagia. Maaf aku belum bisa membawamu ke JannahNya. Tapi kita akan bertemu di JannahNya karena kamu adalah bidadari surga yang sempat aku jaga walaupun sebentar, kamu adalah perempuan impian yang pernah aku nantikan, dan keyakinan akan membawa kita bertemu lagi di JannahNya.

Terima kasih kamu sudah menemaniku di bulan purnama terakhirku bersama rintik hujan yang membasahimu. Semoga di setiap bulan purnama bersama rintik hujan kamu selalu bahagia.” Ujar sosok berjubah putih yang aku yakini sebagai dirimu. Namun jika itu memang dirimu, mengapa kamu perlahan menjauh dan hanya menyisakan lengkungan bibir yang menyiratkan kebahagiaan?

Aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa keluar dari tempat ternyamannya. Tangisku perlahan jatuh memahami kalimatnya. Membuatku terdiam seribu bahasa.

Kenyataan

Tubuhku terasa diterpa seribu beton, manusia-manusia itu menyadarkanku untuk terbangun. Aku membuka mata yang kemudian diiringi tangisan tak terkendali. Aku berusaha menerima kenyataan bahwa orang yang sangat berharga bagiku sedang terkapar lemah di sampingku, penuh darah yang mengalir tanpa henti ditemani rintik hujan yang hendak meninggalkan bumi.

“Raihan…” Suaraku terdengar nyaring mengalahkan semua rasa sakit yang menyerbu. Aku merangkak tak berdaya menghampirimu lalu memelukmu, menggenggam tanganmu, menyandarkan kepalaku di pundakmu.

Suara sirine ambulan mulai mendekat, semakin nyaring dan nyaring. Aku pun semakin mengencangkan pelukanku di tubuhmu. Orang-orang berseragam itu keluar dari ambulan, mendekat ke arah kita, melepasku dari pelukanmu, memapahku ke pinggir jalan tapi membawamu menjauh masuk ke dalam ambulan. Membawamu pergi menjauh, semakin jauh dan jauh sampai bunyi sirine tak tertedengar lagi seperti lenyap tertelan jarak.

Aku hanya terdiam kaku, menunduk, dan tak mampu beralih. Semua orang yang masih di kelilingku,  menatapku sedih penuh rasa iba dan kasihan. Tapi aku tahu, rasa kasihan mereka tak mampu membawamu kembali.

Raihan

Aku duduk termenung dan bertindak seakan menyesali yang terjadi. Namun, lamunanku teralihkan oleh gumpalan mendung hitam yang menghilangkan senja, gemuruh petir yang menyamarkan kebisingan,  dan rintik hujan yang membuatku mendekat.

Sekarang aku disini. Di waktu yang sama saat bulan lalu. Di bawah remangnya bulan purnama bersama rintik hujan yang mengalir. Menimang apa yang telah terjadi dan kembali mengingatnya. Mengingat hari dimana rintik hujan telah membawamu pergi jauh. Mengingat hari dimana aku melihatmu untuk terakhir kali dibawah gelapnya malam purnama.

Hujan itu kini semakin lebat, ada rasa getir yang menerpa namun menenangkan. Aku tak mengerti namun aku mencoba menikmati setiap tetesan bulir hujan kali ini, membiarkan rintiknya menyentuh kulitku, membasuh tubuhku, dan menghapus jejak kesedihanku.

‘Kamu bahagia?’ Pertanyaan itu, akan aku kirimkan jawabanku padamu melalui rintik hujan dengan purnama sebagai saksinya.

‘RAIHAN, aku bahagia. Aku bahagia didekatmu. Aku bahagia disampingmu dan aku sangat bahagia pernah menemanimu. Karena aku sangat bahagia, aku tak mampu berucap menjawabmu kala itu dan hanya diam. Aku merasa telah menjadi orang yang paling beruntung, karena aku diperkenalkan denganmu, dijaga olehmu, dan pernah disisimu meski sesaat. Aku pun yakin kita akan dipertemukan di JannahNya kelak.

Bersamaan dengan hujan yang mengalir membawakan pesanku padamu, sekarang aku tahu kenapa namamu Raihan. Karena namamu memiliki makna ‘Aroma Surga’ . Makna itu membuatku yakin bahwa saat ini kamu di JannahNya sedang menungguku.

Mulai sekarang aku akan selalu bahagia saat rintik hujan membasahi bumi dibawah remangnya sinar purnama. Karena hujan itu membawa namamu mengalir dan menyentuhku. RAIHAN. Rintik hujan. Boleh kan, aku memaknai namamu Rintik Hujan? ‘

_Tamat_

_AiniNofi_

noviaini931@gmail.com

Ed by Wulan Safitri