Rintik Terakhir di Ujung Purnama

Oleh : AiniNofi

Menuju senja ….

Saat percikan jingga menutupi jalanan. Kita menyusuri kota dengan sepeda antikmu. Menuju senja yang  kala itu hampir tak terlihat. Aku duduk termenung di jok belakang sambil menikmati setiap detik bersamamu, membiarkan sapuan angin membelai tubuh kita, membiarkan derai kendaraan menjadi nada pengantar kita.
Kita mengikuti jejak hilangnya senja dengan banyak bicara. Kau bercerita tentang masa kelam, aku pun bercerita tentang hari esok. Kau bertanya tentang masa depan, aku pun menjawab ‘Hanya takdir yang tahu’. Di sepanjang jalan kita mengoceh tanpa jeda seakan mengizinkan kebisingan milik kita.

Perlahan aku melirik sudut bibirmu di balik kaca spion, lalu menjajahi raut mukamu yang ceria. Sontak kau menoleh. Seketika rasa gemuruh melonjak. Ada rasa getir di dadaku yang membuat detak tak normal. Kau menatapku, aku juga menatapmu. Mata kita bertemu dalam imajinasi lekukan kaca. Akankah waktu berpihak pada kita? pikirku.

***

Desahnya

Lantunan adzan terfatwakan. Meninggalkan ingar-bingar yang kita ciptakan. Kau diam seakan telah sampai tujuan. “Sholat dulu ya ….” Ucapan sederhana yang menenangkan. Membawa kalbu terbang tak terkendali. ‘Kau memang calon imam yang membawa pada JanahNya’ batinku.

“Udah kan sholatnya?” tanyanya lembut. “Makan dulu ya?” Ulangnya.

Yang keluar dari bibirku hanya kata ‘Ya’. Kata yang memiliki banyak makna bagi wanita. Namun tidak denganku. Kata itu cukup mewakili gejolak bahagia yang tak sempat terucap.

***

Warung sederhana

Di bawah sinar remang cahaya malam. Kita mengecap hangatnya kuah bening bercampurkan lumatan daging berbentuk bulatan (bakso) yang membawa aroma keheningan. Ditemani secangkir cairan oranye yang menyejukkan. Alunan gitar kecil pengamen mendayu-dayu, suara khas mereka menimang-nimang. Yang mengiringi keheningan malam ini. Lengkap sudah kehangatan di warung sederhana seberang jalan.

“Gimana? Pulang?” ujarnya tepat lima senti di depanku yang membuat hembusan napasnya menyapu lembut wajahku. Aku merasa seakan terhipnotis dengan segala tingkahnya.

“Terserah. Tapi aku masih ingin disini sih,” jawabku gugup sambil menatap matanya.

“Tapi aku mau menikmati purnama terakhir di jalan bersamamu. Gak mau?” gumamnya sambil menatapku tajam dengan mata sipitnya.

“Hah?” Sambil membelalakkan mata aku sedikit tak mengerti maksud ucapannya.

“Yaudah pulang deh,” ucapnya lagi-lagi dengan nada lembut menentramkan jiwa yang tak dapat aku tolak.

***

Rintik terakhir di ujung purnama

Secercah sinar remang bulan purnama menemani perjalanan malam kali ini, membawa keindahan di balik sorot lampu yang menyilaukan. Rintik hujan mulai terlihat jelas di bawah sinar purnama. Aroma harum tanah mulai tercium bersamaan dengan tetesan pertama. Perlahan rintik itu berubah menjadi percikan lebat yang membasahi tubuh. “Lanjut jalan ya, aku ingin menikmati rintik terakhir di ujung purnama bersamamu.” Sebuah ajakan dengan penuh senyum kehangatan sambil terus melajukan sepeda antiknya dengan kecepatan mendamaikan di bawah dinginnya hujan.

Aku hanya bisa mengangguk. Membiarkan kulit ini tersentuh hujan dan merelakan wajah ini juga terbasuh bulir tetesan hujan. Kemudian kau mulai mengawali ocehan kali dengan bertanya.

“Suka?” tanyanya sambil menatapku di balik kaca spion.

“Suka, apalagi bareng kamu,” jawabku sambil tersenyum malu.

“Aku harap hari ini kamu bahagia,” katanya sambil menoleh ke arahku.

Belum sempat aku menjawab perkataannya, terdengar keras suara klakson dari arah belakang. Semua orang berteriak. Truk melaju dengan kecepatan penuh yang lepas kendali. Menyapu habis kendaraan di depannya. Merobohkan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. Namun tak sempat menghindar truk itu sudah menyeret kita. Membawa kita jatuh ke pelosok jalan. Kejadian yang cepat dan tiba-tiba. Sungguh tak terduga.

Kepalaku mulai pening, wajahku mulai pucat, dan tanganku gemetar yang tak sengaja menyentuh cairan hangat dari tangannya. Setelah itu, suara desahan mulai terdengar miris. Mataku ingin sekali mengatup. Tapi aku sedikit sadar, ada tangan yang kugenggam. Tangan seseorang yang belum sempat ku jawab perkataannya. Tiba-tiba mataku terpejam. Tak kuasa melihatnya.

***

Ke JanahNya

Sosok berjubah putih menghampiriku kaku di tengah ramainya kerumunan. Sementara itu, dia memiliki sinar mata coklat terang, wajah pucat yang berseri, rambut halus yang tergerai. Sosok itu mirip dengan orang yang terakhir kulihat. Ya kau …. Itu memang kau.

“Kamu bahagia?” Pertanyaannya itu seakan terngiang kembali di telingaku.

“Aku harap di bulan purnama kali ini kamu bahagia. Maaf aku belum bisa membawamu ke JanahNya. Tapi kita akan bertemu di JanahNya. Karena kamu adalah bidadari surga yang sempat aku jaga walaupun sebentar, kamu adalah perempuan impian yang pernah aku nantikan, dan keyakinan akan membawa kita bertemu lagi di JanahNya. Terima Kasih kamu sudah menemaniku di bulan purnama terakhirku bersama rintik hujan yang membasahimu. Semoga di setiap bulan purnama bersama rintik hujan kamu selalu bahagia!” ujar si berjubah putih itu dengan pancaran mata berbinar dan lekukkan senyuman hangat tipisnya.

Aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa keluar dari tempat ternyamannya. Tangisku perlahan jatuh memahami kalimatnya. Membuatku bisu tak berkata.

***

Kenyataan

Tubuhku terasa diterpa seribu beton, manusia-manusia itu menyadarkanku untuk terbangun. Aku kemudian membuka mata yang kemudian diiringi tangis menjadi-jadi yang tak terkendali. Menerima kenyataan bahwa kau terkapar lemah di samping, dipenuhi darah yang mengalir ditemani rintik hujan yang mulai reda.

“Raihan ….” Suaraku sontak terdengar nyaring mengalahkan semua rasa sakit yang menyerbu. Aku merangkak tak berdaya menghampirinya lalu memeluknya, menggenggam tangannya, menyandarkan keluhku di pundaknya.

Suara sirene ambulan mendekat, semakin kencang dan kencang. Aku pun semakin mengencangkan pelukanku di tubuhnya. Orang-orang berseragam itu keluar dari ambulan, mendekat ke arah kami, melepasku dari pelukannya. Mereka memapahku ke pinggir jalan, tapi membopongnya menjauh masuk ke dalam ambulan. Membawanya pergi menjauh, semakin jauh, dan jauh sampai bunyi sirene tak terdengar lagi.

Aku hanya terdiam kaku, menunduk, dan tak beralih. Semua orang yang masih di keliling menatapku sedih penuh rasa haru dan kasian. Tapi rasa kasian mereka tak akan membawa dia kembali.

***

Raihan

Aku duduk termenung dan tertunduk. Begitu menyesali apa yang sudah terjadi. Namun, lamunanku teralihkan oleh gumpalan mendung hitam yang menghilangkan senja. Gemuruh petir pun menyamarkan kebisingan,  dan rintik hujan yang membuatku mendekat.

Sekarang aku di sini. Pada waktu yang sama saat bulan lalu. Di bawah remangnya bulan purnama bersama rintik hujan yang mengalir. Meminang apa yang telah terjadi dan kembali mengingatnya. Mengingat hari di mana rintik hujan telah membawamu pergi jauh. Mengingat hari dimana aku terakhir melihatmu di bawah gelapnya malam purnama.

Hujan itu kini semakin lebat, ada rasa getir yang menerka namun menenangkan. Aku menikmati setiap tetesan bulir hujan kali ini, membiarkan rintiknya menyentuh kulitku, membasahi tubuhku, dan membasuh kesedihanku.

‘Kamu bahagia?’ Pertanyaanmu yang belum sempat ku jawab, akan aku jawab bersama rintik hujan dibawah purnama dan mengizinkan pesanku mengalir yang bermuara padamu dan purnama yang menjadi saksi bisu.

RAIHAN, aku bahagia, saat di dekatmu, saat di sampingmu, dan aku sangat bahagia pernah menemanimu. Saking aku sangat bahagia, aku menjadi tak mampu berucap menjawabmu di kala itu dan hanya diam membisu. Aku merasa aku adalah orang yang paling beruntung, karena aku diperkenalkan denganmu, aku dijaga olehmu, dan aku ada di sisimu saat itu.

Bersamaan dengan hujan yang mengalir membawa pesanku padamu, sekarang aku tahu, kenapa namamu Raihan? Karena namamu memiliki makna ‘Aroma Surga’. Hal itulah yang membuat aku yakin bahwa kamu sekarang sudah bahagia di JanahNya dan akan terus menungguku.

Mulai sekarang aku akan selalu bahagia saat rintik hujan membasahi bumi di bawah remangnya sinar purnama. Karena hujan itu membawa namamu mengalir dan menyentuhku. RAIHAN. Rintik hujan. Boleh kan aku memaknai namamu sebagai Rintik Hujan?’

Tamat

Penulis bisa dihubungi melalui email : noviaini931@gmail.com

Mau menikmati karya anggota OKI lainnya bisa berkunjung di sini