sinar
Rain drops texture on window glass
Cerpen Karya : Aininofi
Saat percikan jingga menutupi jalanan, Kita menyusuri kota dengan sepeda antikmu. Menuju senja yang  kala itu hampir tak terlihat. Aku duduk termenung di jok belakang sambil menikmati setiap detik bersamamu. Membiarkan sapuan angin membelai tubuh kita, dan derai kendaraan menjadi nada pengantarnya.
Kita mengikuti jejak hilangnya senja dengan banyak bicara. Kau bercerita tentang masa kelam, aku pun berceloteh tentang hari esok. Kau bertanya tentang masa depan, aku pun menjawab ‘hanya takdir yang tau’. Disepanjang jalan kita mengoceh tanpa jeda seakan mengizinkan kebisingan milik kita.
Perlahan aku melirik sudut bibirmu di balik kaca spion, lalu menjelajahi raut mukamu yang ceria. Sontak kau menoleh, rasa gemuruh melonjak. Ada rasa getir di dadaku yang membuat dentak tak normal. Kau menatapku, aku pun juga. Mata kita bertemu dalam imajinasi lekukan kaca. Akankah waktu berpihak pada kita? pikirku.
Lantunan adzan terfatwakan. Meninggalkan ingar bingar yang kita ciptakan. Kau diam seakan telah sampai tujuan. “Salat dulu, ya.” ucapan sederhana yang menenangkan. Membawa kalbu terbang tak terkendali. ‘Kau memang calon imam yang membawa pada JannahNya’ batinku.
“Udah kan salatnya?” Tanyanya lembut. “Makan dulu, ya?” Ulangnya.
Yang keluar dari bibirku hanya kata ‘Ya’. Kata yang memiliki banyak makna bagi wanita. Namun tidak denganku. Kata itu cukup mewakili gejolak bahagia yang tak sempat terucap.
Dibawah sinar remang cahaya malam. Kita menyecap hangatnya kuah bening bercampurkan lumatan daging berbentuk bulatan. Bakso yang membawa aroma keheningan. Ditemani secangkir cairan orange yang menyejukkan. Alunan gitar kecil pengamen mendayu-dayu, suara khas mereka menimang-nimang. Yang mengiringi keheningan malam ini. Lengkap sudah kehangatan di warung sederhana seberang jalan.
“Gimana? Pulang?” Ujarnya tepat lima senti di depanku yang membuat hempusan napasnya menyapu lembut wajahku, seakan aku terhipnotis dengan segala tingkahnya.
“Terserah. Tapi Masih ingin disini sih.” Jawabku gugup sambil menatap matanya.
“Tapi aku mau menikmati purnama terakhir di jalan bersamamu. Gak mau?” Gumamnya sambil menatapku tajam dengan mata sipitnya.
“Ha? ” Sambil membelalakkan mata aku sedikit tak mengerti maksud ucapannya.
“Yasudah pulang, ya.” Utusnya, lagi-lagi dengan nada lembut menentramkan yang tak dapat aku tolak.
Secercah sinar remang bulan purnama menemani perjalanan malam kali ini. Membawa keindahan di balik sorot lampu yang menyilaukan. Rintik hujan mulai terlihat jelas di bawah sinar purnama. Aroma harum tanah mulai tercium bersamaan dengan tetesan pertama. Perlahan rintik itu berubah menjadi percikan lebat yang membasahi tubuh. “Lanjut jalan, ya. Aku ingin menikmati rintik terakhir di ujung purnama bersamamu.” Ajaknya dengan penuh senyum kehangatan sambil terus melajukan sepeda antiknya dengan kecepatan mendamaikan dibawah dinginnya hujan.
Aku hanya bisa mengangguk. Membiarkan kulit tersentuh hujan. Membiarkan wajah terbasuh bulir tetesan hujan. Dan kemudian kau mulai mengawali ocehan kali dengan bertanya.
“Suka?” Tanyanya sambil menatapku dibalik kaca spion.
“Suka, apalagi bareng kamu.” Jawabku sambil tersenyum malu.
“Aku harap hari ini kamu bahagia.” Katanya sambil menoleh ke arahku.
Belum sempat ku menjawab perkataannya. Terdengar keras suara klakson dari arah belakang. Semua orang berteriak. Truk melaju dengan kecepatan penuh yang lepas kendali. Menyapu habis kendaraan di depannya. Merobohkan kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang. Belum sempat kita menghindar ketika truk itu menyeret dan membawa kita jatuh ke pelosok jalan. Kejadian yang cepat dan tiba-tiba. Tak terduga.
Kepalaku mulai pening, wajahku mulai pucat,  dan tanganku gemetar yang tak sengaja menyentuh cairan hangat dari tangannya. Suara desah-desuh mulai terdengar miris. Mataku ingin sekali mengatup. Tapi aku sedikit sadar, ada tangan yang kugenggam. Tangan seseorang yang belum sempat ku jawab perkataannya. Tiba-tiba mataku terpejam. Tak kuasa melihatnya.
Sosok berjubah putih menghampiriku kaku di tengah ramainya kerumunan. Sinar matanya coklat terang, wajah pucat yang berseri, rambut halus yang tergerai, dan sangat mirip dengan orang yang terakhir ku lihat. Ya, kau. Itu memang kau.
“Kamu bahagia?” pertanyaannya itu seakan terngiang kembali di telingaku.
“Aku harap di bulan purnama kali ini kamu bahagia. Maaf aku belum bisa membawamu ke JannahNya. Tapi kita akan bertemu di JannahNya. Karena kamu adalah bidadari surga yang sempat aku jaga walaupun sebentar, kamu adalah perempuan impian yang pernah aku nantikan, dan keyakinan akan membawa kita bertemu lagi di JannahNya. Terima Kasih kamu sudah menemaniku di bulan purnama terakhirku bersama rintik hujan yang membasahimu. Semoga di setiap bulan purnama bersama rintik hujan kamu selalu bahagia.” Ujar sosok berjubah putih yang entah dari mana dengan desahan pelan. Raut mata berbinar seakan orang yang paling bahagia, bibirnya melekuk kecil memamerkan senyum hangatnya.
Aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa keluar dari tempat ternyamannya. Tangisku perlahan jatuh memahami kalimatnya. Membuatku bisu tak berkata. Tubuhku terasa diterpa seribu beton, manusia-manusia itu menyadarkanku untuk terbangun, aku membuka mata yang kemudian diiringi tangis menjadi-jadi yang tak terkendali. Menerima kenyataan bahwa kau terkapar lemah di samping, penuh darah yang mengalir ditemani rintik hujan yang mulai reda.
“Raihan…” Suaraku sontak terdengar nyaring mengalahkan semua rasa sakit yang menyerbu. Aku merangkak tak berdaya menghampirinya lalu memelukknya, menggenggam tangannya, menyandarkan keluhku di pundaknya.
Suara sirine ambulan mendekat, semakin kencang dan kencang. Aku pun mengunci pelukanku di tubuhnya. Orang-orang berseragam itu keluar dari ambulan, mendekat ke arah kami, melepasku dari pelukannya, memapahku ke pinggir jalan, tapi memopongnya menjauh masuk ke dalam ambulan. Membawanya pergi menjauh semakin jauh dan jauh sampai bunyi sirine tak tertedengar lagi. Seperti lenyap ditelan mati.
Aku hanya terdiam kaku, menunduk, dan tak beralih. Semua orang yang masih menatapku sedih. Tapi rasa kasian mereka tak akan membawa Raihan kembali.
Aku duduk termenung dan bertindak. Seakan menyesali yang terjadi. Namun, lamunanku teralihkan oleh gumpalan mendung hitam yang menghilangkan senja, gemuruh petir yang menyamarkan kebisingan,  dan rintik hujan yang membuatku mendekat.
Sekarang aku disini. Diwaktu yang sama saat bulan lalu. Dibawah remangnya bulan purnama bersama rintik hujan yang mengalir. Meminang apa yang telah terjadi dan kembali mengingatnya. Mengingat hari dimana rintik hujan telah membawamu pergi jauh. Mengingat hari dimana aku terakhir melihatmu dibawah gelapnya malam purnama.
Hujan itu kini semakin lebat, ada rasa getir yang menerka namun menenangkan. Aku menikmati setiap tetesan bulir hujan kali ini, membiarkan rintiknya menyentuh kulitku, membasuh tubuhku, dan membasuh kesedihanku.
‘Kamu bahagia?’ Pertanyaanmu yang belum sempat ku jawab, akan aku jawab bersama rintik hujan dibawah purnama dan mengizinkan pesanku mengalir yang bermuara padamu dan purnama yang menjadi saksi bisu.
‘RAIHAN, aku bahagia, aku bahagia didekatmu, aku bahagia disampingmu dan aku sangat bahagia pernah menemanimu. Karena aku sangat bahagia, aku tak mampu berucap menjawabmu kala itu dan hanya diam. Aku merasa aku adalah orang yang paling beruntung, karena aku diperkenalkan denganmu, aku dijaga olehmu, dan aku disisimu saat itu. Dan aku juga yakin kita akan dipertemukan di JannahNya.
Bersamaan dengan hujan yang mengalir membawa Pesanku padamu. Aku sekarang tau, kenapa namamu Raihan. Karena namamu memiliki makna ‘Aroma Surga’ . Karena itulah aku juga yakin bahwa kamu sekarang di JannahNya dan menungguku.
Dan mulai sekarang aku akan selalu bahagia saat rintik hujan membasahi bumi dibawah remangnya sinar purnama. Karena hujan itu membawa namamu mengalir dan menyentuhku. RAIHAN. Rintik hujan. Boleh kan aku memaknai namamu Rintik Hujan? ‘
Baca cerpen dengan judul serupa di https://omahkaryaindonesia.com/purnama-jingga/