Judul: Patah Hati

Nama: Netty Mainingsih

Senja tak pernah gagal membawa pulang kenanganku tentang Ayah. Gurat jingga yang membentang di cakrawala selalu punya cerita. Ayah adalah penutur kata yang paling sempurna, saat Ayah sudah mulai bercerita ia akan membawaku berkelana.
Ayah pernah berkata bahwa senja adalah wujud nyata dari keindahan yang tak selamanya ada. Awalnya aku tak peduli, bagiku senja adalah lukisan langit yang bisa aku nikmati setiap hari. Esok, lusa atau nanti akan selalu ada senja yang siap memanjakan mataku.
“Bilang saja Ayah cemburu karena aku betah berlama-lama memandang senja,” gurauku kala itu dan hanya dibalas dengan gelak tawa Ayah.
Tapi ternyata saat kelabu mega menyelimuti langit Jakarta, senjaku hilang. Tak sedikitpun ia mengintip dari balik awan gelap yang membumbung menaungi kota. Kucoba ‘tuk memaklumi, masih ada esok untuk senja hadir lagi. Akan tetapi, selama hampir satu bulan penuh senja menghilang.
Aku mulai berpikir tentang apa yang dikatakan Ayah. Sampai suatu ketika senja menjelma jadi sesuatu yang tak lagi menyenangkan untuk kupandang. Kala semburat jingga melukis langit, saat itu pula patah hati pertamaku terjadi. Gadis yang baru saja mengenal cinta dipatahkan hatinya sampai tak tersisa. Ayah menjadi tempat untukku pulang dan mengadu atas luka yang datang tiba-tiba.
Di bawah naungan langit senja Ayah mengusap kepalaku lembut. Menyalurkan tenang dari sikapnya yang penuh kasih sayang.
“Patah hati karena cinta itu hal biasa.” Begitu katanya setelah berhasil membuat tangisku reda. “karena konsekuensi mencintai harus siap dipatahkan berulang kali.”
Aku mengelap jejak air mata yang tersisa di pipi. “Kalau memang mencintai itu adalah bahasa lain dari saling menyakiti, kenapa orang lain sangat betah terjebak di dalamnya?”
Ayah tersenyum. “Karena cinta adalah anugerah dari Tuhan. Tidak ada yang benar-benar bisa menghindar.” Tangan besar Ayah menyelipkan helaian rambutku ke belakang telinga. “Selama manusia masih punya hati maka dia tidak akan lepas dari yang namanya cinta.”
“Ayah pernah jatuh cinta?”
“Jingga beneran nanya ini ke Ayah?”
Aku mengangguk.
“Jingga adalah bukti bahwa Ayah pernah jatuh cinta. Jingga juga bukti cinta yang Ayah punya.”
Aku terdiam sejenak, mencoba untuk mencerna semua yang Ayah katakan. Sebelum akhirnya kembali bertanya, “Menurut Ayah, bagaimana semestinya kita mencintai?”
“Mencintai dengan porsi sewajarnya.”
“Maksud Ayah?”
Ayah memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman. Cahaya jingga memantul di wajah Ayah yang begitu teduh. “Konsepnya begini: cintai dirimu dulu baru boleh jatuh cinta kepada orang lain. Ketika kamu sudah mencintai dirimu sendiri, maka hatimu tidak akan jatuh kepada orang yang salah. Sebab sejatinya manusia tidak pernah ingin menyakiti dirinya sendiri.”
“Tapi bukannya cinta tidak bisa memilih?”
“Benar. Tapi saat Jingga menanamkan kepada diri Jingga untuk tidak mencintai melebihi batas wajar, maka saat orang yang kita cintai pergi masih ada sisa ruang untuk mengikhlaskan. Sebenarnya bukan cinta yang membuat patah hati, tapi kita yang menyakiti diri sendiri karena menaruh hati sepenuhnya pada orang yang jelas-jelas belum tentu bisa membersamai.”
Setelah kejadian petang itu aku akhirnya sadar sudah terlalu gegabah dalam hal menaruh hati. Semua lantas berlalu begitu saja, patah hati pertamaku tersembuhkan hanya dengan berbincang dengan Ayah.
“Jika awan mendung saja masih punya cerah dibaliknya, maka kesedihan juga menyimpan bahagia setelahnya. Tuhan menciptakan luka sepaket dengan obatnya. Tidak ada yang selamanya jatuh, tidak ada yang selamanya terbang tinggi. Semua punya waktu, semua punya jatahnya sendiri.”
Dan kalimat itu bagai mantra yang membuatku tetap kokoh menjalani hidup, walaupun setelahnya Ayah tak lagi membersamaiku dalam melewati patah hati-patah hati selanjutnya.
Lombok, 17 Februari 2021