MUSIM HUJAN DI MATA ANITA

Oleh Peppy Hadsan

Betapa sebuah foto bisa mengacaukan segalanya..! Anita begitu terpana sambil memandangi sebuah foto, terbungkus amplop coklat, yang baru saja diantar seorang kurir. Di luar amplop tertera nama dan alamat rumah ayahnya yang ditempatinya saat ini, dengan tulisan printer komputer. Tidak ada nama dan alamat pengirim. Foto dirinya bersama Danny, sekitar satu tahun lalu. Danny…pria yang baik, berpendidikan, seorang eksekutif di sebuah perusahaan di Jakarta, yang sempat dekat dengan Anita selama beberapa waktu. Sayang sekali, usianya lebih muda dari Anita…yang membuat Anita berpikir ulang untuk meneruskan hubungannya dengan Danny.
“Manusia mana yang sudah berani mengirimkan foto ini..? Kurang ajar sekali… mana tanpa pengirim..!” Anita merengut…padahal dia sudah berniat melupakan Danny. Semestinya hari ini menjadi hari yang membahagiakan… Anita akan bertemu Rio, anak tunggalnya, yang sekarang tinggal bersama mantan suaminya, Anton, di Surabaya. Kembali matanya berkaca-kaca…ketidakmampuan hatinya menahan beban sering membuatnya menangis. Bahkan di saat bahagiapun Anita akan menitikkan air mata.
“Dasar ‘brebes mili’…” gurau sahabat-sahabatnya… yang kira-kira artinya orang yang mudah menangis. Jadi teringat Danny yang selalu mengatakan: “Ninit…. as if I see a beautiful rainy season inside your beautiful eyes….” (aku seperti melihat musim hujan yang indah dalam keindahan matamu…). Dan Anita pasti langsung tergelak.
“Lebay dehhh…sok gombal..!” Tapi terus-terang diakuinya ada sebersit rasa senang bila Danny berkata begitu. Ahhh….bukankah para wanita memang senang bila dipuji oleh pria yang dicintainya? Dan cara Danny mengungkapkan pujiannya itu memang aneh…masa menangis disebut “beautiful rainy season..??” Get real…!
Anita menghela napas, lalu menyimpan foto itu ke dalam amplopnya. Dia harus bergegas, bersiap-siap bertemu Rio di sebuah mal di kota Bandung. Dipesannya taksi online, tidak lupa membawa kado kecil, mobil-mobilan VW kodok yang sangat disukai anaknya.
Di dalam taksi Anita teringat ketika pertama kali bertemu Danny, di sebuah pameran otomotif. Ya, Anita seorang marketing paruh-waktu di sebuah dealer mobil, tidak terikat jam kerja biasa tapi tetap harus bersedia berjaga di pameran-pameran otomotif yang diselenggarakan oleh perusahaannya.
Saat itu Anita berdiri sambil membagikan brosur-brosur mobil kepada orang yang lalu-lalang di pusat perbelanjaan. Danny mendekatinya, dan menerima brosur yang disodorkan Anita.
“Bu… saya boleh tahu tentang mobil yang ini yaa..?” Danny bertanya sambil menunjuk mobil hitam di brosur.
Anita dengan senang hati memberi penjelasan, harga, kapasitas penumpang, keunggulan dan lain-lainnya, informasi yang sudah dihapalnya. Dalam hati Anita ada rasa geli. “Gileeee… gue dipanggil ibu… biasanya mbak… hehe…”
Kemudian tersadar bahwa dia memang seorang ibu… emak-emak kata istilah yang sedang trend sekarang. Dan akhirnya Danny memang membeli mobil tersebut, yang berkapasitas banyak penumpang.
“Saya perlu untuk kendaraan operasional kantor.” Danny menjelaskan alasannya.
Nama, nomor telepon dan Whatsapp Anita tertera di brosur-brosur. Tentu saja setelah itu Danny jadi sering menghubunginya. Dari awalnya bicara masalah pekerjaan, gosip-gosip politik…sampai akhirnya bicara masalah pribadi. Danny sangat terbuka tentang dirinya, pekerjaannya sebagai eksekutif sebuah perusahaan yang cukup ternama di Jakarta, juga statusnya sebagai duda yang punya anak satu, perempuan 7 tahun, Cyntia. Istri Danny meninggal karena kanker kelenjar getah bening sekitar 3 tahun lalu, yang terlambat diketahui dan diobati.
Anita bukan tidak menyadari maksud khusus Danny mendekatinya, tetapi dia masih belum bisa sepenuhnya menerima kehadiran pria lain. Perceraiannya dengan Anton empat tahun lalu, dan Pengadilan ternyata memberikan hak asuh Rio kepada mantan suaminya, dirasakan Anita begitu pedih menyakitkan. Anton memang memiliki pekerjaan tetap dengan penghasilan lumayan, tinggal di rumah sendiri yang cukup baik.
Barangkali itu yang menjadi pertimbangan Pengadilan memberikan hak asuh anak, dibanding Anita yang hanya pekerja paruh-waktu. Satu-satunya yang disyukuri Anita bahwa Anton memenuhi janjinya di Pengadilan untuk membawa Rio bertemu dengannya di saat libur sekolah. Bukankah banyak mantan suami atau mantan istri yang melarang anak-anak mereka bertemu dengan ayah-ibunya? Sungguh terlalu. Bahkan bila hak asuh anak jatuh ke tangan Anita, dia pasti tidak akan melarang Rio bertemu dengan Anton.
Sahabat-sahabat Anita sering mentertawakan dirinya saat Anita cerita curahan hati tentang Danny.
“Aaahhhh… Cuma lebih muda 2 tahun… so, what…?
Banyak pasangan lain yang istrinya lebih tua bahkan lebih dari dua tahun…no problem.. yang penting saling mengerti ajalah.” Dewi sahabatnya memberi alasan.
“Ninit…usia ga jaminan tanda dewasa..” Lala menimpali.
“Ada lagi sihhh yang jadi pikiran aku… Danny juga lulusan pasca-sarjana… kalian khan tahu Anton lulusan pasca-sarjana…betapa dominan dan otoriternya dia.. Segalanya dia yang mengatur…” Anita mengeluh.
“Hahahaaa… yaa ampun Nit…itu khan berkaitan dengan sifat dan watak seseorang…masa kamu menyamakan semua lulusan pasca-sarjana itu pasti otoriter, dominan… kamu tuh paranoid… maaf banyak pria yang tidak berpendidikan juga bisa dominan dan otoriter. Kamu khan bisa menilai Danny seperti apa…” Dewi berkeras pada pendapatnya.
Dan Anita memang bisa menilai Danny seperti apa selama setahun lebih mengenalnya. Danny moderat, berpikiran dan punya wawasan yang luas, tidak mudah menghakimi pada apapun dan siapapun. Tapi entahlah…akhirnya Anita memutuskan untuk tidak meneruskan hubungannya dengan Danny. Anita mengganti nomor telepon dan Whatsappnya sehingga Danny tidak bisa menghubungi lagi. Dia juga pindah dari tempat kost-nya… Anita seolah sengaja “menghilang”. Keputusannya itu membuat heran sahabat-sahabatnya.
Akhirnya taksi berhenti di mal tempat Rio biasa bertemu dengannya. Bergegas Anita menuju resto kesukaan Rio, senyumnya mengembang…dan seketika terpana di pintu masuk resto. Rio sedang duduk bersama Danny.
Rio langsung berteriak dan menghambur : “Mamaaaa…”
Badan Anita kaku. Sama sekali di luar dugaan.
“Ninit…apa kabar..?.” Danny mendekat dan mengulurkan tangannya sambil tersenyum.
“Mama tau ga…Rio berangkat dari Surabaya sama om Danny..”
Anita tercengang menatap Danny, lalu berjongkok memeluk dan mencium Rio. Betapa dia rindu pada anaknya.
“Ini Mama punya hadiah buat Rio…dibuka yaaa sama mbak Ningsih… Mama mau bicara dengan om Danny..”
Rio dengan gembira menerima hadiah dari Anita, dan mbak Ningsih pengasuh Rio yang setia, segera membawanya ke sebuah meja kursi yang agak jauh.
“Ada apa ini Danny..? Kenapa kamu bisa membawa Rio ke sini..?” tanya Anita dengan suara serak.
“Duduklah Nit… aku jelaskan semuanya. Ya, aku memang ke Surabaya menemui Anton, kamu ingat pernah memberi nomor teleponnya padaku. Terpaksa aku berbuat nekad seperti itu karena aku tidak bisa menghubungi kamu lagi. bahkan tempat kost terakhir pun tidak tahu kamu pindah ke mana dan aku seperti orang gila mencari kamu. Anton terkejut tentu saja, aku sudah siap bila dicaci-maki. Tapi Anton bisa menerima alasanku. aku meminta alamatmu, dan membawa Rio ke Bandung bersamaku. Ternyata Anton tidak dominan dan otoriter seperti dugaanku…atau mungkin dia sudah melunak setelah menikah lagi, entahlah. Tapi yang ingin aku katakan sekarang, aku tidak pernah mempermasalahkan usia, yaa kamu lebih tua dua tahun.. tapi belum tentu lebih dewasa.” Anton tersenyum.
“Kamu yang mengirimkan foto kita itu.. waktu ulang-tahun papah…?” Anita bertanya dengan tercekat.
“Yaa… aku yang mengirimkannya..” jawab Danny.
“Tapi….”
Would you listen to me, please… Ninit aku tahu ketakutanmu…bahwa aku akan dominan dan otoriter seperti Anton? Come on... Aku baru tahu Anton itu anak sulung yang terbiasa memberi perintah. barangkali memang begitu.. atau memang sudah sifatnya. Ninit, ini hidup yang nyata, bukan seperti cerita dongeng di mana putri dan pangeran bertemu lalu mereka hidup berbahagia selamanya. Aku ingin menjadi bagian hidupmu dan Rio… aku dan Cyntia. Juga tidak akan menjanjikan hal-hal yang muluk. tapi setidaknya kita bisa bersama-sama menyelesaikan masalah apapun. Jangan lagi melarikan diri seperti itu. Bagilah kesedihanmu dengan aku. beri ruang dalam hatimu untuk aku dan Cyntia, bisakah? Will you?” Danny menatap Anita penuh kesungguhan.
Seperti biasa mata Anita langsung berkaca-kaca. Anita yang sebenarnya cengeng dan rapuh tapi melindungi hatinya begitu angkuh karena takut terluka.
“Kenapa Danny?”
Tangan Danny memegang pipi Anita yang basah karena air mata, lalu menjawab: “Kamu boleh bilang gombal. But, I fell in love with you at first sight that we met and the most because I see the beautiful rainy season inside your beautiful eyes.”
Dan Anita tersenyum, memberikan jawaban yang tidak perlu diungkapkan lagi.
*Mohon maaf bila ada kesamaan cerita/ tokoh/ tempat kejadian, cerpen ini hanya rekaan penulis. (Bandung, 27 Januari 2019).