Angry cockroaches

Cerpen oleh: Yuki Asahy

Aku mundur perlahan sampai punggungku menabrak tembok. Habis sudah. Tubuhnya makin terlihat, kepalanya yang besar hanya tinggal beberapa langkah sampai dia bisa menyentuhku. Antenanya bergerak acak mengenai beberapa perabotan di dalam kamarku. Aku dimakan kecoa!

Teman-temanku berteriak di belakangku. Kesibukanku yang tengah menonton drama terganggu dan tidak bisa fokus. Saking kesalnya, aku berniat memarahi mereka sampai aku mendapati beberapa temanku naik ke atas meja. Niatku langsung sirna. Sebenarnya, apa yang tengah terjadi?
Seorang teman membawa tongkat sapu, naik ke atas meja sambil menodongkan tongatnya. Teriakannya menggema di kelas, sama halnya dengan teman-teman yang lain. Lalu teman yang lainnya berteriak-teriak seperti kerasukan, menunjuk-nunjuk sesuatu di dalam lemari buku. Dua daun pintu lemari yang ditunjuk terbuka lebar, memperlihatkan beberapa buku dan barang-barang tidak terpakai lainnya. Tak kalah heboh teman-teman lain yang saling tarik-menarik sambil berteriak ketakutan, lalu mereka berlari ke luar kelas dan mengintip lewat kusen pintu.
Keadaan kelas yang kacau balau membuatku tercengang di tempat. Aku mendekati salah satu dari mereka yang berada tidak jauh dari lemari buku, dia berteriak padaku agar tidak mendekati lemari itu. Aku makin penasaran dibuatnya. Belum sempat aku melihat apa yang berada di dalam lemari, dia pun berteriak memberitahuku apa gerangan yang terjadi.
“Jangan ke situ! Ada kodok besar banget!!!”
Oh, aku mulai paham di mana permasalahannya. Aku tidak takut kodok, seberapa besarnya kodok itu. Alisku mengerut dan menatapnya dengan nanar. Temanku seorang laki-laki dengan tubuh bongsor, namun tubuhnya kalah besar oleh rasa takutnya terhadap kodok.
Aku pikir hanya kodok biasa yang besar. Namun rupanya aku salah. Kodok itu benar-benar besar, berwarna coklat kehitaman seperti batu. Dia hanya diam saja di pojok lemari, tidak terganggu sama sekali dengan kerusuhan di dalam kelas.
“Kalian terlalu lebay. Cuma kodok kenapa ribut banget? Dikira ada apa.”
Aku mengambil tumpukan karton bekas di dalam lemari, tetapi teman-temanku meneriakiku meminta aku berhenti. Ayolah, kodoknya tidak akan pergi kalau mereka hanya berteriak-teriak saja. “Kalo kalian kayak gini terus, kodoknya nggak bakal pergi.”
Aku melipat karton menjadi dua bagian, membuatnya seperti serokan dan mengarahkan ke kodok itu. Baru satu langkah, kodok itu sudah melompat keluar lemari. Suasana kelas semakin ricuh, teman-temanku berlompatan melebihi kelihaian gaya melompat sang kodok. Beberapa yang lain lari berhamburan sampai tidak terlihat lagi sosoknya.
Aku masih sibuk mengangkat kodok itu, tetapi dia mengelak dengan cepat. Bersembunyi di balik lemari, masuk lagi ke dalam lemari, keluar lemari, mengejar temanku , dan terus melompat sampai membuatku kesal. ‘Tidak ada gunanya menggunakan karton’, batinku.
Seingatku, di meja guru ada plastik yang sengaja disediakan. Aku memasukkan dua plastik itu ke masing-masing tangan. Semua temanku bertanya-tanya apa yang aku lakukan. Dengan gamblang aku mengatakan pada mereka kalau aku akan menangkap kodok itu, tetapi suara mereka lebih heboh daripada saat aku mencoba melihat ke dalam lemari.
Aku memutar mata, sudah cukup jengah dengan kelakukan mereka yang tidak ada habisnya. Kodok itu berada di bawah salah satu meja murid, melompat-lompat ketika aku mendekatinya. Aku memutari meja, berdiri di belakang kodok itu sebelum menangkapnya. Tidak ada respon dari kodok tersebut, jadi aku dengan santainya membawa kodok itu keluar dan melemparnya di antara pohon-pohon di depan kelas. Semua temanku berteriak ketika aku lewat dan mengeluarkan kodok itu.
“Nggak perlu takut lagi, kodoknya udah di luar!”
Aku tidak takut dengan kodok, tetapi bukan berarti aku tidak memiliki rasa takut. Kalau hewan  paling menakutkan bagiku, tidak salah dan tidak bukan adalah kecoa. Atau mungkin itu bisa disebut serangga. Sebutlah begitu.
Aku menyesal karena saat insiden kodok kemarin aku membanggakan diri di depan teman-temanku. Karena pada dasarnya, kebanggaan itu biasanya berbalik lagi kepadaku. Itulah alasan kenapa kecoa itu berada di kamarku sekarang, berjalan cepat di dinding dan hendak menghampiri kasurku. Rasa takut yang sudah mencapai ubun-ubun membuat tubuhku terasa dingin.
“Ibuuuu…!” aku berteriak histeris. Suaraku menggelegar sampai rumah tetangga. Ibuku masuk ke dalam kamar sambil membawa spatula dan mengenakan sebuah celemek biru bergambar doraemon kesukaan adikku. Wajahnya panik dan matanya hampir melotot.
“KENAPA?! KENAPA?! ADA ULAR?!” teriaknya panik. Ibuku hampir memanggil ayah untuk datang ke kamarku, tetapi aku lebih dulu memberitahunya apa yang terjadi.
“ADA KECOA! ITU!”
Wajahnya langsung berubah masam. Ibuku pergi keluar, sedang aku makin berteriak ketika kecoa itu berjalan mendekat dan mulai terbang. Semua barang yang berada di dalam jangkauanku terlempar dan melayang di udara sebelum berserakan di lantai. Ibu kembali lagi ke kamarku, spatulanya sudah berganti menjadi semprotan serangga. Dengan mahir ibu menyemprotkannya pada kecoa yang hinggap di kaca. Semprotan ibu beringas, membuat kecoa itu langsung menggelepar di lantai. Ibu mengambil sapu dan serokan lalu membawa kecoa itu dari kamarku. Sebelum pergi, ibu melihatku dengan wajahnya yang datar.
“Sama kecoa aja takut! Malu udah besar!”
Aku tidur dengan lelap sampai kasurku terasa berderit tidak wajar. Dengan wajah setengah sadar, aku menyalakan lampu kamar. Pintu kamarku terbuka lebar, dan benda mengerikan di sana membuat aku tidak bisa berteriak dan tidak bisa bergerak. Walaupun ukurannya tidak wajar, aku jelas tahu apa yang berada di sana. Kecoa raksasa. Dia mencoba membobol pintu kamarku. Antenanya yang panjang mengoyak kusen-kusen pintu, lalu tubuhnya perlahan-lahan masuk memperlihatkan setengah bagian tubuhnya.
Aku mundur perlahan sampai punggungku menabrak tembok. Habis sudah. Tubuhnya makin terlihat, kepalanya yang besar hanya tinggal beberapa langkah sampai dia bisa menyentuhku. Antenanya bergerak acak mengenai beberapa perabotan di dalam kamarku sampai rusak. Kakiku sudah seperti agar-agar di atas kompor. Aku yakin wajahku sudah seputih kertas ketika mulutnya terbuka dan berada tepat di depan kepalaku. Mataku membelalak hendak keluar ketika aku yakin apa yang terjadi setelah ini.
Aku dimakan kecoa.
“Bangun!”
Jantungku berpacu tidak normal. Tubuhku meremang dan kepalaku sedikit pusing. Rupanya semua itu hanya mimpi. Sekarang aku ada di dalam kelas, tertidur setelah pelajaran fisika. Dua orang temanku duduk di depanku sambil membawa bekal mereka, teman yang lain datang menyusul dan duduk di sampingku sambil menyerahkan sekeresek makanan. Aku tebak, ini titipan dari ibuku yang tidak sempat memasak tadi pagi. Isinya nasi padang. Aku membukanya dengan semangat.
Kami makan bersama sambil bertukar cerita. Aku menceritakan pada mereka apa yang tadi aku mimpikan. Mereka tertawa terbahak-bahak karena sebelumnya aku mengatai mereka penakut ketika ada kodok di kelas. Dan sekarang aku mengaku kalau aku takut kecoa, sehingga mereka pun mengatakan hal yang sama.
“Untungnya cuma mimpi.” Kata salah seorang teman dan aku iyakan.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi kalau itu benar-benar nyata. Memikirkannya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri. Aku menggelengkan kepala beberapa kali guna mengenyahkan pemikiran itu. Saat aku menyuapkan sesuap nasi dan mengunyahnya, tiba-tiba ada suara di dalam mulutku. Aku yakin itu bukan batu karena tidak keras sekali.
‘Kretek… Kretek…’
Alisku mengerut. Makanan yang ada di mulutku aku tangkup di tanganku. Teman-temanku melihat penasaran, dan hal selanjutnya membuat napasku tercekat di kerongkongan.
Itu kecoa.