sunset di masjid kairo

Cerpen karya : Afrizal

Sore itu perjalanan di sepanjang jalan melewati beberapa rumah dan masjid di Wonosari. Langit yang mulai memerah dan menyembunyikan sinar mentari, sembari berhembus udara dingin sore di hamparan tanaman padi. Pak Mulato mulai bergegas menyudahi rutinitas hari ini. Sudah menjadi rutinitas setelah pulang kerja mengajar di SMA N 1 Wonosari, Pak Mulato selalu pulang sore hari. Ya, karena jarak antara rumah dengan sekolah yang harus ditempuh selama 1 jam perjalanan.
Pulang mengajar, sekitar jam 5 sore, Pak Mulato sampai rumah, istirahat sebentar ya sesekali sambil minum teh dan sedikit cemilan sembari melepas penat dari perjalanan panjang setelah ia mengajar. Istrinya lah yang setiap sore selalu setia menunggu kedatangan suami tercintanya ini. Sembari istirahat, terkadang Pak Mulato bermain dengan kedua puteranya. Ito dan Satya, dua puteranya yang masih berumur 5 dan 6 tahun.
Tidak ada hal yang lebih bahagia setelah kepulangan Pak Mulato mengajar dan mencari nafkah, mana kala ia pulang kembali ke rumah dapat bertemu dengan istri dan kedua anaknya yang dengan penuh gembira menyambut kedatangannya. Pak Mulato sangat bersyukur atas kehidupannya sekarang ini.
Seperti hari-hari biasa, setelah pulang kerja, istirahat, Pak Mulato pun segera mandi dan bersiap-siap untuk melaksanakan salat maghrib.
‘Allahu Akbar… Allahu Akbar…’ Suara azan sudah terdengar dari TOA masjid ke seluruh penjuru desa Purbayan sore itu, saling bersahutan seraya berlomba-lomba untuk bisa menyerukan asma Allah di waktu maghrib. Usai membersihkan diri dari keringat dan bau polusi jalanan, Pak Mulato bersiap-siap untuk salat magrib berjamaah bersama istri dan kedua anaknya.
“Ayo, Ito Satya, segera pakai sarung kalian. Ummi juga segera bersiap, ya. Pakai mukenanya, kita salat mahgrib berjamaah.”
“Abi.. susah pakai sarungnya.. ini gak bisa..” keluh Ito.
“Iya Abi, Satya juga kesusahan Abi.” seraya berusaha menggulung sarung di pinggangnya, dengan lucunya Ito dan Satya berusaha mengenakan sarungnya masing-masing.
“Iya-iya, sini-sini Abi bantu. Dengan sabar dan penuh kasih sayang Pak Mulato membantu kedua puteranya mengenakan sarung.
“Nah,  sudah siap. Yuk, kita salat.”
Mereka pun salat dengan khusyuk dan khidmat, Pak Mulato sebagai imam membacakan surat dengan merdu. Sesekali suara tertawa kecil dari Ito dan Satya terdengar waktu salat. Namun, hal itu tidak membuat susanana khidmat salat maghrib berjamaah terganggu. semua khusyuk, sama khusyuknya dengan jamaah salat di masjid.
”Assalammualaikum warahmatullahh… Assalammualaikum warahmatullah…” , ucapan salam di akhir salat, Pak Mulato melanjutkan dengan zikir dan doa penuh pengharapan.
Rangkaian ibadah wajib telah Pak Mulato laksanakan, selepas salat jamaah ia melanjutkan dengan tadarus bersama-sama. Membimbing Ito dan Satya yang masih belajar iqro jilid 2. Namun, hari terasa berbeda, alih-alih memulai ta’awud bersiap bertadarus, tiba-tiba terdengar suara ketukkan pintu. ‘tok-tok-tok.’ diikuti oleh suara salam yang santun dari balik pintu itu, “Assalammulaikumm…?”
Pak Mulato bergegas membukakan pintu, terlihat dua orang yang asing bagi Pak Mulato, belum pernah terlihat sebelumnya di sekitar gang perumahannya. Namun Pak Mulato sama sekali tidak menaruh curiga, bagaimana mungkin bisa curiga dengan orang yang santu nan sopan ini, pakaian gamis putih dan sarung serta penampilan yang bersih, peci yang ia kenakan ditambah semerbak harum minyak wangi. Penampilannya menunjukkan orang-orang yang sering terlihat di masjid.
Baru pertama kali Pak Mulato mendapati tamu seperti ini. Langsung saja Pak Mulato mempersilahkan masuk dan meminta tamunya untuk duduk. Sambil membisiki istrinya.
“Umi, bikinkan teh 3 gelas, sama beberapa roti nanti tolong di bawa juga, ya.”
“Maaf sebelumnya, Bapak-bapak ini dari mana dan ada perlu apa datang ke rumah saya, bakda maghrib ini?” Pak Mulato mengawali pembicaraan.
“Iya Bapak, sebelumnya mohon maaf apabila kedatangan kami berdua mengganggu aktifitas Bapak di rumah. Perkenalkan Pak, nama saya Ahsin, dan ini rekan saya Amri. Sambil menjabat tangan mereka memperkenalkan diri. Bapak namanya siapa?”
“Saya, Pak Mulato,”
“Begini Pak Mulato, Alhamdulillah termakasih Bapak sudah mau menyambut dan mempersilahkan kami untuk bersilaturahmi di rumah Bapak. Kami berdua ini datang dari masjid, Pak. Alhamdulillah, kami ini sedang ada kegiatan iktikaf di masjid Baitul Makmur, tidak jauh dari rumah Bapak. Selama tiga hari kami dan serombongan ada sekitar 10 orang Pak yang beriktikaf di masjid, berusaha belajar dan mendalami agama di masjid.”
“Oh, Alhamdulillah. Bagus itu, Pak.” Jawab Pak Mulato.
“Kalau boleh tahu, Pak Mulato kalau salat Jumat di mana ya Pak?”.
“Ouh, kalau saya salat Jumat di Masjid Baitul Makmur itu, Pak.”
“Kalau salat lima waktunya, Pak?”
“Saya, kalau salat fardhu di rumah Pak. Saya menjadi imam untuk istri dan kedua anak saya. Itu saya lakukan, karena saya ingin mengamalkan surat Attahrim ayat 6, kurang lebih yang artinya, Wahai orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka. Karena itu, saya berusaha menjaga istri dan anak saya dari api neraka dengan salat berjamaah di rumah.”
Penjelasan Pak Mulato begitu meyakinkan dengan dalil yang ia utarakan untuk memperkuat argumennya.
“Ya, yang Pak Mulato katakan itu benar bahwa setiap orang beriman terutama laki-laki sebagai imam keluarga, wajib menjaga istri dan anaknya dari siksa api neraka. Seperti dalam ayat yang sudah bapak jelaskan. Tapi, seandainya semua umat Islam di desa Pak Mulato, melakukan seperti apa yang Bapak Mulato amalkan, yakni melakukan salat fardhu di rumah untuk menjadi imam bagi istri dan anak. Lalu masjid siapa yang pakai, Pak?”.
Dengan bijak dan santai Pak Ahsin menjawab argumen Pak Mulato.
Seketika mendengar jawaban Pak Ahsin, Pak Mulato seperti tersambar petir di siang bolong dan terkejut mendengar jawaban Pak Ahsin, benar-benar keimanan dan logika Pak Mulato diuji. Pak Mulato sejenak diam seribu kata dan tak mampu menjawab pernyataan Pak Ahsin. Mungkin saja dalam hati Pak Mulato membenarkan perkataan Pak Ahsin, jika semua orang Islam melakukan seperti apa yang dilakukan dirinya, terus masjid siapa yang pakai.
Perbincangan hangat yang sedikit memanas pun usai setelah terdengar suara azan isya. Namun demikian, Pak Mulato merasakan pengalaman bertemu tamu yang begitu istimewa. Mungkin saja ini adalah tamu utusan Allah untuk mengingatkan dirinya. Bisa jadi tamu itu adalah malaikat yang datang untuk pertama dan terakhir. Pikirannya penuh dengan imaji terhadap tamunya dan apa yang telah mereka perbincangkan. Lamunannya pecah ketika tamunya pamit untuk kembali ke masjid.
“Pak, kami mohon pamit ini sudah masuk waktu isya.”
“Oh, iya, Pak. Monggo. Silahkan, maturnuwun terimakasih sebelumnya sudah mau bertamu ke gubuk saya.”
Masih terngiang dalam pikiran Pak Mulato, ingin rasanya ia mengikuti langkah tamunya kembali ke masjid untuk salat isya berjamaah, namun rasa malunya menutupi niat kuatnya, mungkin subuh nanti ia bisa mengumpulkan niat untuk ikut jamaah salat subuh.
Pak Mulato mulai sadar, bahwa selama ini, meskipun jarang melangkahkan kaki ke masjid, dia menganggap apa yang dia lakukan adalah yang paling benar sesuai dalil Al-Qur’an. Namun setelah kedatangan tamu tadi, ia mulai paham  bahwa apa yang ia pahami belum sepenuhnya tepat. Dan setelah kejadian itu, Pak Mulato mulai aktif untuk bisa salat berjamaah di masjid.
Baca karya inspirasi di https://omahkaryaindonesia.com/sebuah-kalimat-indah-dan-hijrahku/