“Karena satu kesalahan, beribu luka kurasakan.”

 

Seorang gadis terduduk di lantai kamarnya. Ia memeluk erat lutut sambil terus memandangi sebuah foto yang telah usang. Segurat senyum terlintas di bibir saat memandangi foto tersebut. Foto yang menggambarkan keluarga harmonis dengan canda dan tawa yang terlihat jelas di foto itu.

Tatapan yang menyiratkan kesedihan, kehampaan, dan luka kini terpancar dari mata gadis itu. Ia memejamkan mata untuk menikmati hembusan angin yang menerpa lewat jendela kamar yang terbuka. Rambut panjang kecokelatannya helai demi helai mengikuti arah angin.

Gadis itu bangkit sambil menggenggam erat foto itu lalu menyimpannya di bawah bantal yang selalu ia tiduri.

Awan-awan hitam berkumpul menjadikan langit kelabu. Butir-butir air hujan dengan cepat membasahi kota metropolitan ini. Hujan seperti ikut menangis, melihat kepedihan yang dirasakan gadis itu.

Gadis itu menatap butir air hujan yang jatuh. Ia tersenyum miris sambil menggigit bibir bawah. “Aku capek!”

Air mata yang sedari tadi ia tahan kini lolos membasahi pipi. Ia terisak tidak mampu lagi menahan rasa sakit yang ia rasakan selama ini. Mengapa ini semua harus ia alami? Ingin rasanya ia mengubah takdir dan mengulang waktu, tetapi itu tidak akan mungkin. Karena semua telah terjadi dan mungkin ini memang takdirnya. Harus merasakan kepedihan dan luka dalam hidupnya.

***

Pagi ini, mentari bersembunyi di balik awan hitam. Rintik hujan mulai turun dengan derasnya. Angin berembus kencang seiring turunnya hujan.

Hujan sering dianggap sebagai arti dari kesedihan, tetapi bagi seorang gadis hujan adalah sumber ketenangan. Suara rintik hujan yang jatuh bagai ritme lagu yang indah. Suaranya mampu menenangkan dan membuat perasaan menjadi lebih baik.

Arina Gabriela, panggil saja ia Arina, si gadis pencinta hujan. Hujan adalah teman baginya. Saat hujan, ia akan merasa tenang. Banyak kenangan indah saat hujan turun. Di derasnya hujan, ia bisa meluapkan segala emosi dan kesedihan yang selama ini ia rasakan tanpa seorang pun menyadari bahwa ia sedang bersedih.

***

Ketukan pintu membuyarkan lamunan Arina yang kini tengah duduk sambil memandang butiran air hujan dari jendela kamarnya. Sontak, ia berdiri dan berjalan ke arah pintu.

Seorang wanita paruh baya berdiri di hadapan gadis itu. “Ada apa, Bi?” tanyanya.

“Sarapannya sudah siap, Non,” jawab wanita paruh baya yang diketahui sebagai asisten rumah tangga di rumah itu.

Gadis itu mengangguk paham, lalu berjalan ke ruang makan. Gadis itu menarik napas panjang, lalu menghembuskannya mencoba menenangkan diri. Ia sekilas menatap pria yang tengah duduk sambil menyantap roti isi dengan balutan selai coklat.

“Selamat pagi, Ayah,” sapa gadis itu.

“Hm.” Pria yang dipanggil ayah itu tidak sedikit pun melirik ke arah gadis itu.

Arina tersenyum tipis lalu duduk berhadapan dengan ayahnya. Arina menyantap sarapannya. Sudah biasa ia diabaikan seperti ini karena satu kesalahan yang membuatnya dibenci oleh keluarganya sendiri. Kejadian 1 tahun lalu, di mana ia dan adiknya yang masih berumur 7 tahun terjatuh dari tangga yang membuat kedua kaki adiknya lumpuh.

“Sayang, nanti Mama beliin Rafa mainan baru. Sekarang sarapan dulu ya,” ucap wanita paruh baya yang mendorong seorang anak laki-laki yang diketahui bernama Rafa, adik Arina.

“Mah, hari ini pembagian raport di sekolah. Ini undangan untuk orang tua.” Arina memberikan surat undangan orang tua itu namun ditepis oleh ibunya.

“Mamah gak ada waktu. Harus antar Rafa terapi,” ucapnya sambil menyuapi Rafa.

Arina melirik ke arah ayahnya.

“Saya sibuk. Ada rapat penting.” Ayah berdiri dari tempat duduk dan menghampiri Rafa. “Rafa, terapi sama Mama ya, Ayah kerja dulu.” Ayah mengelus kepala Rafa penuh sayang.

Arina hanya diam karena tidak dipedulikan. Dadanya terasa sesak. Ingin sekali ia menangis saat itu juga. Namun percuma itu hanya akan membuatnya terlihat lemah.

Arina berdiri dari tempat duduknya dan berlari ke luar rumah. Ia tidak peduli dengan derasnya hujan yang mengguyur. Di sini, di derasnya hujan yang turun, ia bisa meluapkan rasa sakit yang ia rasa. Mengalirkan segalanya lewat deras air hujan.

***

“Arina Gabriela, selamat kamu juara satu lagi. Di mana orang tua kamu?” tanya Bu Sri selaku wali kelas Arina.

“Orang tua saya sibuk, Bu,” ucap Arina lalu berpamitan dan pulang ke rumah. Ia tak sabar memberi tahu ayah dan ibunya bahwa ia mendapat rangking satu di kelasnya.

Saat sampai di depan rumah, Arina buru-buru masuk untuk memberitahu orang tuanya bahwa ia mendapat rangking satu. Arina begitu terburu-buru tanpa melihat ada sup panas yang baru dibuat oleh ibunya sehingga sup itu tumpah mengenai Rafa yang duduk sambil memainkan robot-robotannya.

Rafa menjerit keras karena tersiram air sup. Ibu yang melihat itu panik dan segera membawanya ke rumah sakit terdekat. Tak lama, ayah pun datang dengan wajah panik.

“Kenapa bisa begini?” tanya ayah.

“Semua ini salah dia.” Ibu menunjuk ke arah Arina.

“Maaf, Arina gak sengaja, Arina ….”

Plak! sebuah tamparan mendarat tepat di pipi kiri Arina.

“Anak tidak berguna bikin masalah terus, belum puas kamu buat adik kamu menderita?”

“karena satu kesalahan beribu luka kurasakan.”

“Saya lebih baik tidak punya anak seperti kamu.” Rasa sakit di dada Arina tak mampu ia tahan lagi, air matanya kini menetes membasahi kedua pipinya.

“Kalau itu mau Ayah, Arina bakal pergi dan Ayah sama Mama gak akan capek-capek marahin Arina. Terima kasih buat semuanya.” Arina menjatuhkan raport yang sedari tadi dipeluk dan segera berlari sambil terisak tangis. Arina tak memperhatikan apapun ia terus berlari menjauh dari orang tuanya.

Suara tabrakan terdengar begitu keras dari arah depan rumah sakit membuat banyak orang menjadi penasaran dan berbondong-bondong pergi ke sana untuk melihat. Begitu pun ayah Arina yang penasaran. Badannya gemetar melihat sosok gadis yang terkapar dengan darah yang bercucuran itu adalah Arina anak gadisnya. Tanpa pikir panjang ayah berlari dan merangkul putrinya itu. Sebuah penyesalan tersirat di kedua bola matanya.

“Maaf, Ayah minta maaf.” Tetes air mata jatuh dari kedua bola mata sang ayah.

“A-rina sayang A-ayah, Arina pa-mit,” ucap Arina terbatah-batah.

Ayah menangis sembari memeluk Arina dan tak henti meminta maaf. Bagaimanapun, dia adalah seorang ayah yang pasti akan sedih bila ditinggalkan oleh anaknya. Penyesalan akan datang dan hal paling menyakitkan adalah menyesal saat telah kehilangan.

 

Sumedang, 29 Agustus 2021

 

 Nama Surnia, asal Sumedang, Jawa barat. Punya hobi membaca dan mendengarkan musik. Seorang wanita yang mempunyai mimpi menjadi penulis.

 

Photo by Christian Lue on Unsplash