Lelaki dan Hujan Terakhirnya
Derasnya hujan membuat lelaki paruh baya itu makin gelisah. Entah mengapa, air dari gumpalan awan di langit tak kunjung berhenti mengguyur bumi, rutuk hatinya.
Dia terpaksa menghentikan perjalanan pulang, meski ingin secepatnya sampai ke rumah kontrakan, tapi hujan kali ini memaksanya untuk berteduh. Beberapa saat yang lalu, sebelum hujan begitu deras, ia menepikan sepeda motor di depan emperan toko yang telah tutup.
Lelaki itu cukup lama memandangi boneka beruang berukuran sedang yang sejak tadi ia peluk. Dalam benaknya, terbayang wajah mungil anak perempuannya yang kini berusia lima tahun. Dinda pasti sangat senang dengan boneka ini, pikir lelaki itu.
“Ayah, aku ingin boneka beluang besal, sepelti punya temanku,” ucap Dinda yang masih belum bisa mengucapkan huruf ‘R’ beberapa hari yang lalu.
“Oh, Dinda mau boneka?”
“Iya, Boneka beluang besal,” jawabnya, sambil kedua lengan mungilnya di kembangkan.
“Baiklah, nanti, kalau Ayah sudah ada uang, Ayah pasti beliin,” janjinya, waktu itu.
Percakapan itu selalu terngiang di telinganya dan kini, ia peluk boneka itu makin erat.
Hujan tercurah semakin deras, pandangan lelaki itu kemudian tertumpu pada garis-garis air yang meluncur dengan deras, membentuk tirai kelabu di hadapannya. Garis-garis air itu seakan mengisap pikirannya pada masa kecilnya. Masa-masa, dia sangat menyukai hujan. Masa kanak-kanaknya. Saat di mana dia dan anak-anak sebayanya selalu riang menari di bawah guyuran hujan dengan telanjang dada, bahkan tak jarang hanya mengenakan celana dalam saja. Segaris senyum tipis mengulas di wajahnya.
Kesukaannya dengan hujan di masa kecilnya menjadi sebuah ingatan yang membuat pikirannya merasa betah mengenang. Hal yang sering ia lakukan adalah bermain sosorodotan (perosotan) bersama teman-teman sebayanya, tak terbatas hanya pada anak lelaki, anak perempuan pun melakukan hal sama, tanpa rasa risih, mereka berbaur di atas lantai, di halaman rumah tetangga.
Dia ingat betul, satu satunya halaman rumah yang ia dan anak-anak lain sukai adalah rumah Bah Darta, tetangga depan rumahnya. Hal itu dikarenakan rumah itu memiliki halaman yang lumayan luas dan berlantai licin, walau lantainya sendiri hanya plesteran yang dilapisi semen. Namun permukaannya licin ketika meluncur dari ujung ke ujung saat dalam keadaan basah. Lantainya berwarna hitam mengkilap. Warna hitam yang timbul di permukaannya disebabkan semen yang dicampur karbon dari batu baterai bekas, ditambah lagi setiap kali mengepel lantai, Lasmi, istrinya Bah Darta selalu menggunakan ampas kelapa parut, sehingga lantai itu Selalu nampak mengkilap.
Dia termasuk anak yang bandel di masa itu. Sekeras apapun larangan orang tuanya agar tidak bermain di saat hujan, seringkali tak dihiraukan. Dia akan berhenti setelah merasa sekujur tubuhnya menggigil dan bibirnya bergetar manahan dingin.
Ah, andai saja Dinda tidak dalam keadaan sakit, pasti dia pun sedang bermain hujan-hujanan saat ini dan ibunya seperti biasa ngomel-ngomel melarang Dinda, kata hati lelaki itu, kembali ia teringat pada anak perempuannya.
Pekerjaanya sebagai seorang juru parkir di sebuah toko makanan, membuatnya sulit untuk bisa memenuhi permintaan putrinya dan baru kali ini bisa membelikan sebuah boneka beruang meski bukan boneka besar seperti milik teman Dinda. Dia berharap Dinda akan senang dengan boneka itu. Namun hujan ini telah menahannya untuk segera tiba di rumah dan tertunda pula unruk melihat suka cita anaknya karena mendapat sebuah boneka. Ia harus sabar menanti hujan ini sedikit reda. Seperti juga, ia pernah begitu sabar ketika menanti kehadiran Dinda. Lima tahun lamanya ia menunggu, sebelum istrinya memberikannya seorang putri.
Ia seorang lelaki yang terbilang telat dalam urusan pernikahan. Di usia 30 tahun, ia baru menikah dan tidak seperti kebanyakan pasangan lainnya, setahun menikah segera mendapat momongan, dia justru harus menunggu bertahun-tahun.
“Ya Allah, berapa lama lagi hujan ini akan berhenti?” keluhnya. Ia benar-benar merasa kesal dengan hujan kali ini. Sebenarnya, ia bisa saja memaksakan diri melanjutkan perjalanan pulang dalam deraan hujan. Namun, ia khawatir akan boneka itu. Jika ia memaksakan pulang dalam keadaan hujan deras ini, pastinya boneka ini akan basah kuyup karena kemasukan air hujan dan tentunya hal itu akan membuat Dinda kecewa.
Lelaki itu mengitari sekeliling tempatnya berteduh dengan pandangan mata. Mencari-cari barangkali saja ada warung atau orang berjualan yang sekiranya memiliki plastik atau apapun yang bisa membungkus bonekanya, tapi ia hanya melihat seorang pedagang rokok dan kopi keliling, serta beberapa orang lelaki yang sama seperti dirinya, berteduh dari derasnya hujan.
Cukup lama dia berteduh, hujan bukannya mereda malah bertambah deras. Hujan saat itu bukan hujan biasa. Ini badai, petir, dan kilat sambung bersambung di langit. Hari mulai gelap.
Lelaki itu bertambah gelisah, senyum anaknya demikian manis di pelupuk matanya. Ia tak sabar ingin segera pulang, tapi petir ini? Hujan ini? Kali ini ia benar-benar merasa kesal pada keadaan seperti ini.
Di pandanginya boneka beruang itu sekali lagi. Tiba-tiba, ia teringat pada motor tuanya yang hampir seumur dirinya terparkir tidak jauh dari tempatnya. Ia selalu menyelipkan kantong kresek besar dalam bagasi motornya (dia sering mendapat makanan yang tak terjual dari toko tempatnya bekerja) makanan yang dibawanya kadang cukup banyak dan istrinya sering kali memberikannya pada para tetangga dekatnya. Lelaki itu pun serta-merta menghampiri sepeda motornya dan bersyukur ia menemukan sebuah kantong kresek yang cukup besar dari dalam bagasi, meski dalam keadaan lusuh dan kusut.
Boneka itu pun ia masukkan ke dalam plastik. Kemudian, ia mengikatnya kuat-kuat. Agar air hujan tak bisa menerobos masuk ke dalamnya, “Sedikitnya ini bisa menahan air hujan,” lirihnya.
Kembali ia mengedarkan pandangannya, dua orang lelaki muda tengah berbincang sambil melihat-lihat handphone. Mereka berbincang dengan suara keras hingga cukup terdengar oleh lelaki itu. Mereka tengah memperbincangkan banjir yang melanda beberapa jalan dan daerah perumahan. Hati lelaki itu terenyuh, ingat pada Minah, istrinya. Ia biasanya jika sedang turun hujan seperti ini selalu sibuk menempatkan beberapa ember atau baskom untuk menadah tetesan air dari langit-langit rumah kontrakannya yang selalu bocor tiap kali turun hujan. Dan parit di belakang tempat tinggalnya selalu banjir jika hujan deras seperti itu.
Hujan semakin deras. Petir semakin kuat. Senyum anaknya semakin manis di pelupuk matanya, percikan hujan yang menikam bumi semakin tajam. Dulu, saat masih kecil, ia berlama-lama menikmati percikan itu. Itu bagian pemandangan alam yang sangat menyenangkan hati, tapi kini semua itu tak dinikmatinya. Semua itu malah membuatnya resah.
Keteguhan lelaki itu, pada akhirnya diruntuhkan waktu dan kekhawatiran akan anak dan istrinya. Tanpa memedulikan derasnya hujan, tak peduli pada orang-orang di situ yang sejak ia membungkus boneka, terus saja mereka memerhatikan dirinya. Tanpa jas hujan yang lupa ia bawa, dia kembali menghampiri sepeda motor tuanya yang telah basah kuyup sejak tadi.
Bersama sepeda motor tuanya, ia menderu menembus badai, menerjang hujan lebat. Ditekannya gas sekuat-kuatnya. Ia heran, kini setang sepeda motornya berubah jadi setir perahu motor. Ia melaju kencang membelah air.
Air parit sudah meluap dahsyat. Jalan yang dilaluinya bagaikan sungai yang banjir. Lelaki itu terus menekan handle gas, berpacu dengan kendaraan bermotor lainnya. Ia seperti separuh gila, memacu sepeda motor tuanya seperti orang kerasukan.
Tak lama berselang, tiba-tiba lelaki itu tersentak. Tak ada orang di jalan. Ia hanya sendiri dan yang lebih membuatnya heran, ia kini sudah sampai di depan rumah orang tuanya di kampung. Ayah ibunya sedang duduk di halaman, mereka memandangnya dengan penuh kerinduan, seperti sudah lama menunggu kedatangannya.
Ia semakin heran, bukankah kedua orang tuanya sudah lama meninggal dunia beberapa tahun yang lalu? Apa yang terjadi? pikirnya.
***
Bandung, 31 Agustus 2021
Menyandang nama lengkap Sandi Sania, lahir dan dibesarkan di kota Bandung tepatnya 26 Februari 2021. Penulis adalah seorang ibu rumah tangga, memiliki hobi membaca dan dari situ timbul keinginannya untuk menjadi seorang penulis. Saat ini ia tinggal di bandung.
Sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/199354720984202062/