Judul: Ketika Mimpi Melesat

Oleh: Rif’atunnisa

Betapa senangnya Aishi, gadis berumur delapan belas tahun itu ketika mendengar kabar tentang hasil tesnya.
Aishi, ibu guru ingin menyampaikan berita gembira untuk kamu. Tadi ibu cek website kampus tempat kamu dan teman-teman tes. Alhamdulillah, kamu berhasil mendapatkan beasiswa itu Aishi. Selamat ya nak, ibu bangga denganmu!” Ujar ibu Safina, selaku wali kelasnya.
Aishi yang mendengarnya sontak berdesir hatinya. Ia tak menyangka hasilnya akan secepat itu keluar dengan berita yang sangat menyenangkan. Matanya seakan berair. Berita ini sangat menggembirakan. Ia tak sabar untuk segera pulang dan menemui orang tuanya untuk menceritakan semua ini.
Rupanya ucapan Ibu Safina belum usai, ia masih melanjutkan, “Namun karena ini beasiswa, ibu harapkan kamu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini Ais. Kamu pasti menerima beasiswa ini, kan? Karena kalau dibatalkan, sekolah kita khawatir kena black list.” Lanjutnya dengan wajah yang lebih serius dari sebelumnya.
Aishi terdiam. Ia mendadak gusar. Khawatir kalau itu benar-benar terjadi. Ah, mana mungkin kesempatan ini kutolak. Aku tidak akan melewatinya. Aku pasti menerimanya. Batinnya bergemuruh.
Iya bu, saya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.” Sahut Aishi dengan penuh keyakinan.
Tiba-tiba bel masuk berbunyi nyaring, seakan-akan sudah memahami bahwa percakapan guru dan murid di ruangan itu telah selesai.
Sepanjang jalan menuju kelas, Aishi terus tersenyum sumringah. Akhirnya, impiannya untuk bisa kuliah di Universitas favorit dengan beasiswa bisa terwujud. Ya, iya yakin semua bisa semudah angannya. Semua pasti bisa terwujud, batinnya terus berkata.
***
Senja mulai merangkak di peraduannya. Sepeda ontel kesayangan Aishi seakan mendukung suasana hati Aishi yang bergembira. Dengan mengucap salam, Aishi mengetuk pintu.
Assalammualaikum…”Ucapnya lantang.
Iya wa’alaikumsalam…” Jawab yang di dalam. Terdengar jelas itu suara bapak dari dalam dapur.
Udah pulang Ai?” Tanya bapak sambil membawa secangkir kopi panas.
“Iya udah pak… Oiya pak, Aishi punya kabar baik loh. Bapak ingetkan waktu itu Aishi pergi ke Jakarta untuk ikut tes kuliah? Terus tadi ibu guru manggil Aishi, katanya Aishi diterima pak. Aishi bisa kuliah di Jakarta dengan beasiswa.”
Owah, kamu serius nak? Alhamdulillah. Kamu memang anak bapak yang hebat. Bapak bangga sama kamu.”
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar dari dalam. Pintu terbuka, ada ibu keluar sembari membawa piring kosong. Aishi segera menyalaminya dan mengecup tangan sang ibu.
Ada apa ini ngobrol rame-rame? Ibuu kok ngga dikasih tahu.” Sela ibu di tengah keseruan perbincangan anak dan ayahnya.
Aishi dapet beasiswa, bu! Dia bisa kuliah di Jakarta.” Jawab ayah dengan penuh semangat. Matanya seakan bersinar terang bak lampu yang baru saja terpasang.
Apa??? Kuliah? Dimana? Jakarta?” Tanya ibu bertub-tubi.
Aishi tersenyum melihat reaksi ibu. Dipikir ibunya pasti sangat kaget sampai-sampai tidak percaya.
Iya bu. Alhamdulillah Aishi dapat beasiswa kata bu Safina. Tes kemarin udah keluar dan hasilnya Aishi bisa kuliah dari beasiswa ibu. Gimana bu? Ibu seneng kan?” Tanya Aishi balik. Tangannya sontak menggenggam tangan sang ibu.
Yang ditanya justru merunduk. Terlihat raut wajahnya sedikit ditekuk. Dahinya berkerut seakan-akan sedang berpikir keras. Senyumnya mendadak hilang.
Kenapa bu? Apa ibu tidak setuju?”lanjut Aishi terlihat lesu.
Ada jeda cukup lama untuk ibu bisa menjawabnya.
Nak, bukannya ibu tidak senang. Tapi ibu bingung. Ibu maunya kamu lulus sekolah kerja dan menemani ibu di rumah, mengurus ibu dan adik-adik kamu. Kamu kan sulung, anak tertuanya bapak sama ibu. Ibu lagi sakit-sakitan. Ibu ngga mau jauh-jauh dari kamu, nak! Nanti di Jakarta kamu tinggal sama siapa? Ibu khawatir dengan kamu. Kamu kan ngga pernah jauh dari bapak sama ibu… ah pokoknya ibu ngga siap! Coba pikirkan itu baik-baik Ais.” Ujar ibu tertunduk lesu. Meskipun tidak menatapnya, Aishi tahu sekali ibu berat mengatakan itu. Karena setelahnya ibu terlihat mengusap air di sudut mata.
Aishi merasa tertohok. Ternyata mimpinya untuk kuliah tidak semulus jalan aspal baru. Ini jauh dari espektasinya. Dipikirnya semua orang rumah akan senang. Namun hasilnya akan seperti ini. Dua tahun terakhir, Aishi memimpikan untuk bisa melanjutkan kuliah. Namun rencana manusia tidak pernah bisa terduga. Karena ada rencana Tuhan juga yang telah diatur untuknya.
Beberapa bulan lalu, ibunya divonis gagal ginjal sehingga mengakibatkan ibu harus keluar masuk rumah sakit untuk cuci darah. Aishi tidak tega jika harus menuruti keinginannya namun egois terhadap orang tuanya.
Ruang tamu menjadi begitu mencekam. Semuanya larut dengan pikirannya masing-masing. Dari semua orang, perasaan Aishilah yang paling sedih. limpung sudah hatinya. Ia ingin marah rasanya dengan kondisi yang menerpanya. Namun bukan seperti itu sikap seorang anak yang baik.
Jika dia tetap kuliah artinya dia mengecewakan harapan ibu. Tapi jika tidak kuliah, sekolahnya mungkin akan masuk daftar black list atau justru dialah yang akan kena black list. Dan bagaimana mimpinya untuk menjadi orang sukses.Oh, Tuhan. Aku harus bagaimana? Batin Aishi.
***
Seorang wanita dengan blazer putih masuk ke dalam rumah. Sore ini jadwalnya ia pulang untuk menemui orang-orang terkasih yang selalu mendukungnya. Aroma ikan asin dan sambal terasi sudah menyeruak memenuhi isi ruangan. Ia tersenyum dengan mata terpejam, seakan sedang bernostalgia dengan masa lalunya.
Eh, anak bapak sudah datang?” Ujar sang bapak yang rambutnya lebih terlihat putih di bagian samping.
Iya pak. Aishi sudah sampai. Ini Aishi bawa martabak telor dan dongkal kesukaan bapak sama ibu.” Ujar wanita blazer putih itu sembari meletakkan dua bungkusan di atas meja. Ia pun berjalan ke arah kamar untuk menemui sang ibu.
bu…” tegur Aishi dan menghampiri sang ibu yang tertidur di atas Kasur.
Eh Aishi, sudah pulang kamu nak?” Tanya sang ibu tersenyum.
Alhamdulillah sudah bu… Besok Aishi temenin ibu ya untuk berobat.” Ujar Aishi sembari mengecuk pipi sang ibu yang kian hari semakin kurus.
Iya sayang.” Jawab ibu sembari mengecup dahi putri kesayangannya.
***
Tuhan, terimakasih atas segala takdir yang Engkau torehkan. Hambamu ini tidak tahu apa yang terbaik untuk dirinya. Ia hanya menuntut dan memohon sesuai kadar mimpi dan angannya.
 
Jika realita melesat dari angan, hamba hanya bisa menangis. Namun sekarang hamba sadar bahwa ini adalah jalan yang terbaik yang telah Engkau pilihkan. Terimakasih Tuhanku. Ujar Aishi dalam hatinya.
 Lima tahun sudah ia lewati semua masa itu. Lebih menuruti keinginan ibu membawa banyak kebaikan untuknya. Akhirnya Aishi membuka bisnis kerajinan tangan dan kini telah memiliki cabang di beberapa kota besar.
Dia memang tidak kuliah di Universitas itu. Kuliahnya pun tertunda. Tapi ia akhirnya bisa mewujudkan keinginan ibu untuk menemaninya. Baginya, orang tua adalah segalanya. Karena yang dicari adalah ridho bapak ibunya dan rihdo dari Tuhannya. Kini Aishi merasa bersyukur dan ia percaya bahwa Tuhan selalu punya skenario terbaik untuk setiap hambanya.
Selesai
untuk melihat karya OKI silahkan cek website OKI