Kaulah cinta pertama dan terakhirku

 

Ini kisahku. Namaku Echa Meira, biasa dipanggil Echa. Aku tinggal di sebuah desa kecil yang tidak begitu terkenal. Aku tinggal di sini sejak dari kecil bersama orang tua. Aku mengenal dia sudah dari kecil, kita satu sekolah Taman Kanak-kanak (TK). Dia adalah Fino Sebastian, biasanya dipanggil dengan Fino, temanku dari kecil. Dulu kita sering berangkat sekolah dan bermain bersama. Namanya juga anak kecil, sering bermain bersama. Lanjut ke masa-masa Sekolah Dasar (SD). Di sini mulai munculnya “cinta monyet”. Pasti tau dong, cinta monyet itu apa. Dia menjadi cinta monyetku pertama, tapi aku menyembunyikan perasaan ini dari siapapun. Jadi, yang tau hanya aku, kalau aku suka sama dia. Waktu itu Fino sudah mempunyai cinta monyetnya sendiri. Fino sibuk dengan dunianya sendiri, tak akan sadar dengan kehadiranku, bahkan mengabaikanku. Dulu, aku juga merasa cemburu dan sakit hati. Aneh yaaa, padahal yang tau hanya aku, mana dia paham. Setiap kali dia naik motor (suara motornya khas) dan lewat jalan depan rumahku, aku selalu melihatnya dari jendela. (Kurang kerjaan). Mau di bilang “famous” juga tidak begitu, tetapi ternyata banyak yang suka. Kualihkan tentang dia, aku berusaha membuka hati untuk yang lain. (Cieee….)  dan aku menyukai seseorang itu dan melupakannya, tapi tak benar melupakannya. Ya, aku suka dengan Andri. Anaknya pintar, baik, dan ramah. Berbeda dengan Fino, aku ngobrol pun jarang, tapi entah kenapa bisa suka. Andri, aku sering ngobrol banyak sama dia, sering?

Akhir kelulusan kelas 6 SD, aku melanjutkan sekolah di salah satu MTs ternama. Berbeda dengan dia, dia melanjutkan ke SMP yang cukup ternama. Awalnya, aku ingin masuk ke SMP, tapi apa daya. Aku mengikuti permintaan orang tua.

3 tahun berlalu, tak ada yang spesial bagiku.

Aku kemudian melanjutkan sekolah ke MAN. Dia? Dia tidak melanjutkan sekolah, dia bekerja.

Selama aku sekolah di MAN, aku tak banyak ngobrol dengannya. Aku bertemu dengannya hanya kalau ada kegiatan di desa. Aku lalui masa-masa MAN dengan teman-teman dan sahabatku. Aku mempunyai sahabat 4 orang, yaitu Sinta, Aldo, Supri dan Tika. Aku duduk di kelas IPA. Aku itu sangat suka dengan dunia Matematika. Sering teman-temanku datang ke rumah untuk mengerjakan tugas bersama. Kita sering menghabiskan waktu bersama, sering main bareng, sering keluar bareng, main ke rumahku bisa seminggu sekali. Merasa tidak ada beban dalam hidup. Selalu have fun bersama.

Masa-masa MAN adakah cinta monyet? Jawabannya ada, iya ada. Aku suka dengan sesorang yang sangat famous di sekolah, terutama di bidang olahraga. Menurutku, dia tampan, baik, pintar juga. Namanya Niko, termasuk famous, pasti banyak yang suka, di kelasku saja ada yang suka dengan dia. Adik kelas? Banyak banget. Mau cemburu gimana? Gak mungkin. Aku bukan siapa-siapa di matanya dan aku ‘kan selalu menyembunyikan rasa sukaku ke dia. Hanya sahabat-sahabatku yang tahu.

Masa-masa MAN, kumulai berhijrah. Aku sering mengikuti kajian-kajian muslimah. Berusaha dengan menutup aurat dan memperbaiki akhlakku. Komunikasi dengan lawan jenis aku kurangi, hanya chat seperlunya. Kalau ketemu dengan lawan jenis, jarang ngobrol dan aku selalu menundukkan pandangan. Banyak yang berubah dengan diriku. Pergaulanku sekarang kebanyakan teman-teman kajian, bukan menghindari pertemanan dengan yang lain, tetapi karena beda frekuensi.

Akhirnya aku melanjutkan kuliah di salah satu universitas di kota. Awal kuliah sangat sibuk dengan tugas, tidak ada komunikasi sama sekali dengan Fino. Bertemu pun tak saling menyapa. Padahal, kita satu desa. Aku tidak tahu kesibukannya sekarang apa. Aku tidak peduli apa yang terjadi dengannya, dengan siapa dia berpacaran. Aku cukup tahu dari temanku, Nita.

Dikarenakan pandemi, kuliah diliburkan. Jadi, aku memiliki banyak waktu di rumah. Intensitas bertemu dengan Fino sangat banyak. Sering berpapasan di jalan, sering bertemu saat kegiatan desa. Inilah yang menimbulkan benih-benih cinta kembali. Aku tidak tahu apakah rasa suka ini hanya sekedar kagum ataukah benar-benar sungguh ingin memilikinya.

Temanku, Nita bercerita, jika Fino ditinggalkan pacarnya. Aku bahagia tapi juga sedih. Bahagia, berarti Fino tidak jadi menikah. Sedih, kasihan Fino juga, tapi dengan ini kesempatanku masih terbuka lebar. Terbuka lebar dari mana yaaa? Aku saja tidak menyatakan suka sama Fino, mana dia tau. Aku tipikal orang yang selalu menyembunyikan rasa kagum atau suka ke lawan jenis.

Semenjak itu, Fino berubah menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Sekarang, Fino sering salat berjamaah di masjid, sudah bisa ngaji, ikut kajian-kajian. Hatiku semakin meleleh, ditambah kita satu organisasi di desa yang intensitas berkomunikasi semakin terbuka meskipun kalau bertemu langsung tak pernah ngobrol, chat pun jika perlu.

Sekarang, umurku sudah hampir 24 tahun. Begitu juga dengan Fino, tetapi kita belum memiliki pasangan alias belum menikah. Orang tua Fino menginginkan Fino segera menikah, tapi Fino belum memiliki calon yang akan dikenalkan ke orang tuanya. Aku sudah memiliki niat untuk menikah, sudah berencana untuk taaruf, tetapi belum ada wadah yang cocok menurutku.

Suatu ketika.

“Echa,” panggil ibuku.

“Iya,” jawabku dan langsung menemui ibuku di ruang tamu.

“Ada apa bu?” tanyaku.

“Bapakmu mau bicara,” jawab Ibu.

“Iya.”

“Sudah berapa usiamu?”

“24 tahun, Pak.”

“Kapan kamu akan menikah?”

“Belum tau, aku belum mempunyai calon.”

“Kamu jangan terlalu mengejar kerja dan kuliah lagi. Bagaimana Bapak jodohkan?”

“Terserah Bapak saja, jika itu yang terbaik.”

Aku langsung masuk ke kamar, tidak terlalu memikirkan masalah tersebut. Tak selang berapa menit, ibuku masuk ke kamar.

“Echa sayang, Ibu boleh masuk?”

“Boleh, Bu. Masuk saja.”

“Echa, Ibu mau bilang. Sebenarnya, ayahmu sudah merencanakan perjodohan ini sudah lama, tetapi memang mencari waktu yang tepat untuk menyampaikannya.”

“Jadi Ibu juga sudah tau orangnya?”

“Sudah.”

“Menurut Ibu, orangnya baik?”

“Baik.”

“Oh, oke.”

“Echa, Ibu boleh bertanya sesuatu?”

“Apa?”

“Apa kamu tidak memiliki perasaan dengan orang lain?”

“Ada.”

“Lalu, kenapa kamu mau menerima perjodohan ini?”

“Karena aku tidak tau, apakah aku dan dia itu berjodoh atau tidak.”

“Kalau kamu keberatan, jangan diteruskan perjodohan ini ya.”

“Aku tidak keberatan, Ibu.”

“Baiklah. Ibu mau keluar. Kamu segera istirahat.”

“Iya, Bu.” Sambil peluk.

Hari pertemuan pertama.

Mereka sudah datang dan sudah duduk di ruang tamu. Karena merasa sudah waktunya, ibuku memanggilku ke kamar. Lalu, aku keluar dan mengenakan gamis yang terbaik. Belum sempat duduk, aku memandang laki-laki tersebut. Aku sontak terkejut, Fino yang datang ke sini.

“Assalamualaikum, Echa.” ucap Fino.

“Waalaikumsalam,” jawabku.

“Echa, bapak kemari beserta Fino akan menjodohkan kamu dengan Fino. Ini sudah persetujuan dua keluarga dan katanya kamu juga sudah mneyetujuinya. Benarkah kamu sudah menyetujuinya?” tanya Om Herman.

“Iya, Pak” jawabku singkat dengan masih menunduk. Semoga ini keputusan terbaikku, batinku.

“Echa, bolehkah aku bertanya?” tanyanya.

“Iya, silakan.”

“Apa kamu benar-benar yakin menikah denganku? Apa tidak ada laki-laki lain di hatimu sekarang?” tanya Fino.

“Aku sudah yakin,” jawabku. Pertanyaan kedua memang sengaja tak ku jawab, batinku.

“Baiklah, kalau kedua belah pihak sudah setuju. bagaimana pernikahannya dilaksanakan segara? Semakin cepat semakin baik.”

“Iya,” jawabku dan Mas Fino.

“Echa, Fino. Bagaimana kalau pernikahan kalian dilakukan satu bulan lagi? Namun Ijab Qabul di KUA saja,” tanya ayahku.

“Terserah Ayah saja,” jawabku.

“Aku juga terserah Ayah dan Om,” jawab Mas Fino.

“Oke. Berarti semua sudah setuju.”

Satu bulan kemudian, pernikahanku berlangsung.

“Saya nikahkan dan kawinkan engkau Fino Sebastian bin Herman dengan anak saya Echa Meira binti Prasetyo dengan mas kawin perlengkapan sholat dan uang sebesar 171.020 rupiah dibayar tunai.”

“Saya terima nikah dan kawinnya Echa Meira binti Prasetyo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”

“Sah?”

“Sah,” jawab saksi.

Aku menangis terharu.

Pernikahan berjalan dengan khidmat.

Malam hari.

“Assalamualaikum, Echa.” Sambil duduk di sampingku.

“Waalaikumsalam, Mas,” ucapku sambil mencium punggung tangannya.

“Bolehkah aku bertanya sesuatu?”

“Boleh, silakan.”

“Sebenarnya pertanyaan ini sudah kuajukan di awal perjodohan, tapi pertanyaanku belum kaujawab. Masih ingatkah?”

“Masih. Memang sebenarnya waktu itu aku tidak mau menjawab pertanyaan itu.”

“Kenapa?”

“Takut ada yang kepedean.” Aku tersenyum.

“Kok begitu?”

“Iya, tidak apa-apa.”

“Terus, siapa laki-laki yang kau dambakan?”

“Laki-laki itu seorang yang sangat aku cintai dari dulu hingga detik ini. Aku sudah mengenalnya dari kecil. Dia cinta monyet pertamaku. Sekarang dia sudah menikah.”

“Kalau kamu masih mencintainya, kenapa kamu mau menikah denganku?”

“Karena laki-laki itu sekarang duduk di sampingku”

“Aku? Benarkah itu? Kamu suka aku dari dulu?”

Aku mengangguk.

“Terima kasih. Ana Uhibbuka Fillah Humairaku.” Sambil mengecup keningku.

“Iya.” Aku tersipu malu.

“Semoga kita berjodoh hingga maut memisahkan kita. Bahkan semoga di surga nanti, kita juga akan bertemu.” Sambil berpelukan.

“Aamiin.”

Tamat

Selasa, 31 Agustus 2021

 

Erlin Fatmawati, biasa dipanggil Erlin, lahir di Banyumas pada tanggal 15 Oktober 1998. Nama pena, Khadijah Az-Zahra. Alasan dia memilih nama tersebut karena sangat kagum dengan sosok istri Nabi Muhammad SAW, yaitu Khadijah. Sedangkan Az-Zahra hanya sebagai pemanis saja. Sekarang dia tinggal di sebuah dusun kecil yaitu Dusun Tanjung, Dayu, Gondangrejo, Karanganyar. Dia masih menjadi mahasiswa semester akhir Sejarah Peradaban Islam di Universitas Raden Mas Said Surakarta. Tak banyak organisasi yang dia ikuti, hanya fokus organisasi di desanya. Dia menjadi ketua TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) dan sekretaris Karang Taruna di desanya.
Dari dulu, dia suka sekali membaca. Ditambah sekarang dia menjadi mahasiswa sejarah, yang diharuskan membaca banyak buku. Hingga dia bercita-cita ingin menjadi seorang penulis, meskipun skill menulisnya masih biasa. Awalnya dia takut mengikuti ajang-ajang untuk penulis pemula, takut gagal. Setengah hati dia menyakinkan dirinya untuk mengikuti kompetisi. Akhirnya dia mulai mengikuti kompetisi penulis. Dia yakin sebuah proses tidak akan menghianati hasil. Itu prinsip yang selalu dia pegang. Dia ingin menjadi seorang yang bermanfaat bagi orang lain (Naafi’un Lighoirihi).
Pembaca jika ingin mengenal dengan penulis, bisa melalui sosial medianya. Instagram @erlinfatmawati15.
sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/1018376534459337899/