Komunitas yang bertujuan untuk memberdayakan setiap individu untuk terus berkarya dalam membangun bangsa Indonesia. Komunitas ini berfokus pada berbagi ilmu tentang literasi dan wirausaha.
Fajar menyapa dengan kehangatan yang kurasakan. Semilir angin meniupkan rambut panjangku yang sengaja kuurai. Kupandangi bangunan-bangunan megah satu persatu di balik kaca jendela angkutan umum yang sesak penumpang. Tapi aku tak peduli, aku sangat bersyukur impian yang semenjak dulu kuinginkan bisa tercapai. Bersekolah di sekolah jauh dari rumah memang menjadi keinginanku. Butuh waktu setengah jam untuk sampai ke sekolah baruku.
Lamunanku buyar saat supir angkot mengerem mendadak. Lantas aku terdorong ke depan dan hampir tersungkur di dalam angkot. Rupanya, tujuanku telah sampai di depan mataku. Aku langsung mengulurkan sejumlah uang untuk supir dan tersenyum ramah kepadanya.
Benar-benar indah. Aku terkesima melihat bangunan megah ini. Andai saja lima bulan lalu tidak terjadi apa-apa, pasti sekarang aku bisa mencium tangan ayah sebelum masuk ke dalam perkarangan sekolah. Sudahlah, mengingatnya saja sudah membuat bulir di mataku hampir saja jatuh. Ayah, aku akan buktikan semua cercaan yang diterima keluarga kita takkan mempengaruhi masa depan kita yang cerah. Tenanglah di sana, aku akan berjuang dan semangatku takkan usang.
Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku kasar. Mukanya memerah padam. Entah karena efek blush on yang tebal atau merasa kesal denganku. Aku kembali menatapnya bingung. Mulutnya sedari tadi tidak berhenti bergerak dan menunjuk-nunjuk ke arah mobil mewahnya. Aku semakin bingung dengan tingkahnya. Apa salahku hingga dia terlihat sangat kesal?Ppp
Tanpa kusadari, seseorang menarik tanganku ke arah ruang kesiswaan. Aku langsung melepaskan genggaman tangannya dengan kasar. Berani-beraninya ia menggenggam tangan orang yang tak dikenal. Aku melotot ke arahnya tanda tak terima. Bukannya marah, dia malah melukiskan senyum di wajah tampannya. Sial, pipiku memanas.
Dia menepuk pundakku beberapa kali. Meruntuhkan lamunanku yang indah. Dan, aku baru ingat. Dengan gerakan refleks, kutampol jidat lebarku. Aku melupakan sesuatu. Dengan tergesa-gesa aku membuka ransel dan mengacak-ngacak isinya. Akhirnya, kotak berharga ini ketemukan. Aku menghela nafas lega, kubuka tergesa-gesa hingga yang ada di dalam kotak itu terjatuh. Dia memungutnya dengan cepat. Dengan cepat, aku merampas barang milikku dan memasangnya ke telingaku. Dan sialnya, dia malah memandangiku dengan penuh selidik.
“Earphone nirkabelmu keren, beli dimana?” Suara itu menarik perhatianku. Suara yang indah.
“Hei, aku bicara sama kamu, bukan tembok. Jawab dong,” ucapnya dengan nada kesal. Aku menunjuk ke arah telingaku.
“Ini? Ini bukan earphone,” jawabku.
“Pantesan kulihat aneh gitu. Trus itu apaan? Kok bentuknya aneh gitu?” Aku hanya tersenyum lebar.
“Cari tau aja sendiri. Oh, ya aku mau bilang makasih nyelamatin dari kakak-kakak blush on tadi,” ucapku seraya tersenyum ke arahnya. Ia tertawa dan tersenyum kepadaku. Aku pun menuju ruang kepala sekolah. Dalam hati, aku berharap semoga dia bisa berteman denganku lebih lama. Aku jadi ingat sesuatu.Ya Tuhan, aku lupa menanyakan namanya!
Dengan sedikit menunduk malu, aku memasuki kelas mengekori bu guru yang ramah itu. Bu guru mempersilakan untuk memperkenalkan diri di depan kelas.
“Halo semua, namaku Akila jelita. Asal dari desa Tanjung Muara. Aku baru masuk sekolah hari ini karena kecelakaan lima bulan yang lalu. Semoga kita bisa berteman dengan baik,” ucapku dengan sedikit gemetar. Meskipun kucoba beranikan diri, namun aku malah gemeteran.
“Pantesan kampungan, anak desa rupanya,” sahut salah satu teman sekelasku dari sudut sana. Semua orang tertawa meremehkanku. Aku semakin menunduk dan tak berani menatap.
Ada yang aneh semenjak aku memulai perkenalan tadi. Raut wajah teman sekelasku nampak tak biasa. Suasananya seperti ingin menerkam dan siap memangsaku. Ya Tuhan, tolong aku. Aku harus kuat dan terbiasa untuk berhadapan wajah dengan mereka. Dengan senyum yang kubuat-buat akhirnya aku bisa duduk di bangku paling ujung dengan Violyn. Nama yang disebut-sebut bu guru tadi. Aku berjalan berlahan mencari tempat duduk kosong. Dan hal yang paling tidak terduga, kakak blush on tadi jadi teman sebangku!
“Hei kau, nggak usah sok terkejut ya. Pembahasan tadi pagi belum kelar. Tunggu aja pembalasan kami,” ucapnya dengan nada kesal. Tunggu, dia mengatakan tadi “kami?” Apa maksudnya kami? Aku menadang seluruh penghuni kelas dan nampak terlihat semakin horor. Semua orang menantapku kesal. Ya Tuhan, aku menyenggol sarang lebah!
Dan benar saja, seluruh kelas memakiku dan mengintrogasiku hanya karena menganggu ratu kelas, Violyn. Gadis cantik dengan bedak se-inchi bak model-model iklan di TV. Dan beginilah nasibku, wajahku di coret-coret dengan gincu. Selama ini aku belum pernah mencoba menyentuh itu, dan sekarang seni lukis bertahta di wajahku. Sungguh indah, haruskah kubersabar sampai tiga tahun kedepan? Entahlah. Aku hanya bisa berharap semoga saja tobat dari kezaliman padaku ini.
Langit cerah di bawah pohon beringin. Aku duduk bersantai ria ditemani buku novel yang kupinjam di perpustakaan tadi. Dua minggu berlalu, aku sudah mulai terbiasa dengan kebiasaan anak kelasku. Menurut yang aku pantau, mereka tidak akan menganggu selama tidak mengusik ratu mereka. Dan ada beberapa dari teman kelasku yang tak sejalur dengan Violyn, mereka cukup akrab denganku. Aku bahagia, setidaknya ada beberapa orang yang bisa membelaku dari Violyn dan budak-budaknya itu.
Di tengah-tengah kesibukanku membolak-balikkan buku, tiba-tiba dia datang dan menatapku. Sontak aku kaget dibuatnya.
“Nggak takut nih di bawah pohon beringin. Katanya ada penunggunya lho,” katanya duduk di sampingku.
“Mungkin kamu penunggunya ya,” tanyaku usil.
“Nggak mungkin lah, ganteng gini di bilang penunggu,”
“Kok kamu tau sih ada di sini?”
“Kebetulan lewat. Oh iya, kita belum sempat kenalan. Namaku Dika, kamu?” Dia mengulurkan tangannya ke arahku dan aku menyambutnya hangat.
“Akila jelita,”
“Nama yang bagus. Oiya, aku udah cari tau tentang alat itu, apa kamu benar-benar ….” Dika tampak ragu melanjutkan kata-katanya.
“Iya, aku tunarungu. Sejak kecelakaan lima bulan yang lalu, aku tak bisa mendengar lebih jelas, tanpa dia, telingaku tak berfungsi,” ucapku dengan ragu-ragu. Aku tidak yakin kami akan berteman lagi setelah dia mengetahui ini. Dia hanya melongo dan terkejut dengan kenyataan ini.
“Apa setelah ini kamu nggak mau berteman lagi denganku?” tanyaku ragu-ragu.
“Mana mungkin aku seperti itu, kamu itu istimewa,” ucapnya meyakinkan.
“Aku tahu,” ucapku mantap. Kami hanya tersenyum bahagia. Pembicaraan kami berlanjut hingga kemana-mana. Semua keluh kesahku di sekolah kuutarakan pada Dika, termasuk tentang Violyn. Tiba-tiba, Violyn lewat dari arah kantin. Dika menarik tanganku bersembunyi di belakang pohon.
“Kenapa sembunyi?” tanyaku
“Violyn itu kayak setan betina. Sebaiknya jangan dekat-dekat dia. Apalagi jika bersamaku, bisa kena masalah nanti,”
“Kenapa gitu?”
“Dia cinta mati mati denganku. Hahahaha … Semenjak SMP, dia selalu mengejarku,” jelasnya. Aku hanya mengangguk paham. Tak terasa, rasa yang tak kuduga itu merekah. Entah kenapa, aku jengkel sendiri melihat dia akrab dengan yang lain padahal baru beberapa minggu aku mengenalinya.
Tak terasa sudah setahun lebih kami bersahabat. Ke mana dia pergi, di situ ada aku. Meskipun sembunyi-sembunyi dari Violyn agar tidak menimbulkan masalah nantinya. Namun, rahasia akan terbongkar pada waktunya. Violyn mengetahuinya dari dayang-dayangnya. Dan setelah Violyn tau mengetahui aku dan Dika, Violyn malah mencoba mendekatiku dan selalu menanyakan tentang Dika. Membuatku jengkel setengah mati.
“Daki … Dika … Mana sih kamu?”
“Apaan sih, Laki? Kangen ya?”
“Enak aja nih, Daki. Untung temen,”
“Temen apa demen?” Mukaku terasa panas. Pipiku rasanya merah merona,”
“Apaan sih Dika, ngak guna banget. Siapa juga yang suka sama Daki macam kamu, jijik. Lagipun kamu kan udah punya Violyn yang ngejar-ngejar kamu, enek banget aku liat dia pura-pura baik karena kamu temen aku,” ucapku kesal. Dika hanya tertawa terbahak-bahak.
“Cemburu? Acie … Cie …” Godanya
“Ih … Apaan sih kamu,” ucapku malu-malu.
“Denger ya, kamu istemewa. Nggak ada yang bisa ngalahin kamu sebagai sahabat baikku,” ucapnya yang membuatku terbang dan jatuh ke jurang. Kata terakhir yang tak mau kudengar.
_________________________
“Apa? Nonton? Bareng Violyn?” Aku terdiam sebentar dan melanjutkan,”pergi aja sana, ngapain nanya-nanya aku,” kataku kesal.
“Kan kamu sahabatku. Jangan ngambek ih. Kalau gitu kamu ikut aja ya, biar aku ada temen,”
“Gak mau. Emang aku mau jadi nyamuk di antara kalian? Apalagi tuh si Violyn yang nempel-nempel kayak cicak. Jijik aku liat,”
“Ayolah, kil. Sekali aja. Cuma pergi ke bioskop kok,”
“Kenapa maksa sih, aku tuh nggak mau nyakitin hatiku sendiri gara-gara liat kalian berduaan. Kamu ngak ngerasa apa aku su …,” Kataku terhenti dan aku baru menyadari. Ingin kucubit mulut ini yang terlalu jujur. Aku tak berani menatap wajah Dika dan melihat reaksinya. Mukaku merah padam.
“Coba liat ke sini, kila. Tatap aku. Ulangi perkataanmu tadi,”ucap Dika usil. Aku semakin malu untuk menatapnya. Tanpa kusadari, Dika memelukku dan mengusap rambutku lembut. Aku ingin mati saja!
“Just say, we will be together forever,”bisik Dika. Aku tak tau harus bagaimana. Perasaanku yang kucoba kutahan selama setahun akhirnya tersampaikan.
“Kamu tau aku suka kamu?” tanyaku.
“Dari awal aku sudah tau dan aku juga merasakan itu,” Mukaku kembali memerah.
“Ke bioskop bareng Violyn dibatalkan. Titik,”
“Kamu masih cemburu juga? Padahal aku tadi berakting,”
“Kamu mengerjai aku ya, berani-beraninya si Daki ini,” ucapku kesal sambil berlari mengejar Dika dengan perasaan bahagia luar biasa yang tak dapat kujelaskan lagi.
Raisya Nuzulia. Gadis kelahiran 3 Desember bertempat di tanah rencong, Aceh. Di tanah ini, ia menemukam pijakan tentang dirinya yang lama terkubur oleh tanda tanya. Kritik dan saran sangat dibutuhkan. Kalian bisa bertegur sama melalui: