Alunan musik menggema di gendang telingaku, suaranya makin lantang saat aku mendekati ruangan di ujung barat. Langkah kaki ini dengan pasti menyusul suara yang membuatku penasaran. Kegiatan apa yang berada di dalam sana? Entah apa yang mereka lakukan, mungkin sedang berjoget ria.

“Wah.” Aku menutup mulut terkaget. Namun bibirku terangkat mengembangkan senyum tulus. Terlihat di dalam ruangan itu, anak-anak berbaris di depan kelas berjoget mengikuti alunan lagu khas anak-anak TK. Mereka sangat antusias dengan gerakan yang tidak karuan, tetapi menggemaskan.

Mataku terpaku pada mereka, terutama pada bocah laki-laki yang memiliki rambut klimis. Kini, bajunya sudah terlihat agak lusuh dan seragamnya sudah tidak lagi di dalam celana.

“Raka … Raka.” Kepalaku menggeleng melihat dirinya yang sangat bersemangat sekali berjoget. Raka sangat menonjol di antara teman-temannya, berkat energinya yang penuh dan badannya yang menjulang tinggi dibanding yang lain.

Selama lima belas menit aku menunggu, akhirnya kelas tersebut berakhir. Anak-anak berhamburan menuju kepada masing-masing orang tua yang menjemputnya.

“Kak Una,” teriak Raka menghambur ke dalam pelukanku. “Yuk, pulang!” Tangan mungilnya menggandeng tangan ini dengan ceria. Rumah kita tidak begitu jauh dari sekolah hanya sekitar tujuh menit-an, sehingga menjemput Raka dan pulang hanya dengan berjalan kaki.

Rumah tampak sepi di pagi hari ketika aku dan Raka pulang, kalau Ayah sudah pasti kerja. Mama ke mana ya? ucapku dalam hati. “Raka, kamu ganti baju dulu ya. Raka bisa?”

“Bisa, Kak,” jawab Raka dengan menganggukkan kepala. Anak itu langsung ngacir ke kamar yang ada di pojok sebelah kanan.

Ketika aku ingin kembali ke kamar, tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dan langkah kaki yang semakin dekat. Aku terhenti untuk melihat siapa yang datang.

“Raka mana?” tanya Mama. Tangannya penuh dengan belanjaan, entah apa yang dibelinya.

“Ada di kamarnya. Raka baru pulang sekolah.”

Mama tidak membalasnya lagi dan aku segera menuju kamarku.

“Aw,” seruku ketika tangan ini menyenggol botol di atas meja. Aku melihat tanganku, ternyata lebam hasil semalam tidak kunjung hilang. Hari ini, aku izin tidak masuk sekolah karena merasa tidak enak badan dan ayahku sudah mengizinkannya.

Malam tiba, aku terbangun mendengar suara Raka yang nyaring dan terlihat sedang bersenda gurau.

“Kaluna ke mana?” Ah ayahku sudah pulang.

“Ada di kamarnya, Mas. Luna sedang istirahat.”

Aku bergegas keluar kamar mendatangi mereka yang berada di ruang tengah. Raka terlihat bermain dengan mainan di sekelilingnya.

“Ayah,” panggilku lemas. Segera setelah sampai, aku memeluknya.

“Anak Ayah sakit ya, gimana? Sudah mendingan? Kaluna udah makan?”

Aku terdiam sejenak. “Udah,” jawabku dengan senyuman. “Kalo Ayah gimana? Udah makan juga?” lanjutku bertanya.

“Udah juga, dong,” jawab Ayahku tak mau kalah.

“Oh, ya. Ayah mau tanya. Kaluna pengen lanjut kuliah ke mana? Sekarang kan sudah kelas dua belas.” Tak menyangka, Ayahku bertanya tentang hal itu.

“Luna peng ….”

“Luna sebaiknya istirahat dulu, Mas. Kuliah bisa dilakukan tahun depannya lagi. Kesehatan Luna harus diperhatikan. Dia sering sakit-sakitan. Mas tau sendiri kan kalau kuliah itu berat, bahkan lebih menguras pikiran dan tenaga dari pada masa sekolah.”

Deg! Hatiku terasa teriris mendengar pernyataan Mama. Aku tidak ingin berhenti belajar. Aku ingin melanjutkan kuliah segera. Kenapa sih Mama memotong pembicaraanku, dengusku dalam hati.

“Hm, benar juga. Luna harus pulih dulu untuk lanjut kuliah.”

Harapanku seketika runtuh. Impian yang sudah kutata, kini akhirnya tertunda. Perasaanku sekarang tidak karuan, sehingga memilih kembali ke kamar dan mau meluapkan segalanya. “Ayah, Mama, Luna ke kamar dulu ya … mau istirahat.”

Satu tahun kemudian.

“Luna cuman mau pergi reuni bentar, Ma. Luna janji ga akan pulang telat,” mohonku berulang kali.

“Mama ga percaya sama kamu, mending dari pada keluyuran kamu cuci piring kek, ngepel kek, atau apalah yang lebih berguna ketimbang haha hihi doang sama temen-temenmu. Lagian ga ada faedahnya cuman nongkrong di luar.”

“Tapi, Ma ….”

“Ga ada tapi-tapian. Mama bakal aduin ke Ayah kamu kalau masih maksa mau keluar. Mama bakal bilang kalau Luna suka keluyuran ga jelas! Mau hah?”

“Ma, jangan tarik rambut Luna. Sakit, Ma. Luna janji ga akan keluar. Mama jangan bilang apa-apa sama Ayah. Luna janji.” Sakit banget rasanya rambutku seakan mau rontok, tapi itu masih belum seberapa dibanding rasa sakit hati ini. Ya, Ayahku tidak ada di rumah. Ayah sedang dalam perjalanan bisnis. Di sini, di rumah ini hanya ada kita berempat, aku, Mama, Raka, dan seorang pembantu. Air mataku turun tak terduga. Aku kangen Ayah. Ayah kapan pulang? harapku dalam hati.

Kini, aku berada di kamar setelah insiden jambakan dari Mama sambungku. Iya benar, aku bukan darah dagingnya. Bundaku meninggal dunia mengidap penyakit stroke setelah 3 tahun dideritanya dan Ayahku menikah lagi. Bunda hanya punya satu anak yakni aku. Luna. Kaluna Isabella.

Selama pernikahan Mama dengan Ayah. Aku belum pernah merasakan kebahagiaan. Aku senang punya adik walaupun Raka bukanlah adik kandungku. Aku jarang bermain dengannya jika ada Mama di sekitarku. Air mataku mengalir semakin deras, terisak semakin dalam dan napasku terengah-engah. Menangis adalah satu-satunya caraku menenangkan hati, meluapkan emosi. Seketika, ide terlintas di pikiranku. Aku terbangun dari kasur, mengusap air mata yang membasahi pipiku. Mengambil pulpen serta kertas dan mulai menulis.

Aku dan kebahagiaan yang semu

Ayah, ini Luna. Luna ingin meluapkan semua perasaan yang tertahan ini. Bertahun-tahun Luna tidak berani mengungkapkan semuanya. Ah, ya. Luna ingat sesuatu. Luna pernah membaca di internet bahwa nama Kaluna memiliki arti ruang kosong atau bagian yang hilang. Kenapa bisa pas ya? Luna sering merasa hampa, sesuatu seperti ada yang hilang dari diri Luna dan Luna menyadari itu sekarang. Kebahagiaan. Bahagia seakan seperti berlian yang berharga dan terbatas. Hanya orang tertentu yang bisa mendapatkannya dan Luna tidak mendapatkan itu.

Ayah, Luna lelah, Luna capek, Luna terkekang. Mama yang Luna sayangi, Luna kira Mama akan menyangi Luna layaknya anak kandung, tapi Luna tidak mendapatkan itu. Kekerasaan, bentakan, ancaman, makian adalah kado dari Mama untukku. Kenapa Mama begitu berbeda saat Ayah tidak di sini? Apa Mama terpaksa menganggap Luna sebagai anak? Luna rindu sosok Bunda. Besar harapan Luna, menemukan sosok yang menyayangi Luna seperti Bunda dan Luna harap itu yang akan Mama berikan. Sakit hati Luna diperlakukan layaknya budak. Luna mau diperlakukan layaknya anak pada umumnya. Ah, Luna tau … Luna nyusahin, ya, Ma? Mama pernah bilang kan kalau Luna lebih baik tidak kuliah karena Luna sakit-sakitan. Luna ngerepotin, ya. Luna jadi beban buat kalian. Maafin Luna kalau begitu Ma. Luna ga mau begini. Luna mau jadi anak yang sehat dan kuat. Tapi, Tuhan tidak mengizinkan itu. Apa dengan Luna pergi semuanya akan bahagia? Luna ga mau buat susah Mama, Ayah, dan semuanya. Kalau begitu, Luna pamit pergi ya. Luna sayang Ayah, rindu Ayah, sampai jumpa.

Tertanda

Kaluna Isabella

Tiga hari kemudian.

“Seorang anak pengusaha berinisial K ditemukan tak bernyawa di kamarnya. Berdasarkan keterangan dari polisi yang bertugas di tempat kejadian perkara. K ditermukan bergantung dengan tali di lehernya. Keluarga K merasa terpukul dengan kehilangan anak sulung yang mereka sayangi ….”

Seseorang tersenyum di balik topengnya melihat berita yang kini sedang ditayangkan. Di balik semua itu, Rita, mama sambung Luna, tidak sedang dalam keadaan berduka. Dia hanya berpura-pura kehilangan. Dia telah merencanakan hal ini.

Tiga hari yang lalu.

Prang … prang … prang. Suara piring terjatuh menggema di seluruh ruangan.

“Aaa, astaghfirullah non Luna.” Seorang pembantu yang menemukan mayat Luna bergantung pertama kali. Pembantu itu yang menemukan surat yang pernah Luna tulis dan dia shock dengan isi surat itu. Kemudian, Rita yang tidak sengaja mendengar teriakan pembantu itu langsung menghampiri kamar Luna. Dia terdiam menyaksikan semua itu dan menghampiri sang pembantu yang sedang memegang sebuah kertas. Rita panik, dia tidak mau disalahkan atas semua ini. Dia tidak ingin menjadi pelaku atau bahkan masuk penjara. Dia tidak mau, akhirnya dia merebut paksa surat itu dan menyimpannya sendiri sehingga barang bukti tidak ada lagi. Sampai sekarang, tidak ada yang tau bahwa dalang di balik kasus kematian Luna adalah Rita, kecuali sang pembantu itu. Pembantu itu sudah Rita ancam agar dia tutup mulut atas perkara ini.

“Luna, luna, kasihan sekali anak itu. Baguslah dia sudah mati. Sehingga pewaris satu-satunya jatuh ke tangan Raka.”

-The End-

Probolinggo, 01 September 2021

 

Silvi Novitasari. Seorang gadis kelahiran Jawa Timur yang memiliki cita-cita menjadi seorang entrepreneur. Silvi adalah seorang mahasiswi Jurusan Manajemen Agribisnis yang mencoba menyelami dunia kepenulisan. Ia memiliki hobi menggambar dan membaca novel. Penyuka segala jenis makanan kecuali taoge. Ingin tahu lebih lanjut mengenai Silvi? Kalian bisa menghubunginya di instagram @silvinovitasari18.

 

Gambar oleh <a href="https://pixabay.com/id/users/sarab123-3158022/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=1617972">sarab123</a> dari <a href="https://pixabay.com/id/?utm_source=link-attribution&amp;utm_medium=referral&amp;utm_campaign=image&amp;utm_content=1617972">Pixabay</a>