Komunitas yang bertujuan untuk memberdayakan setiap individu untuk terus berkarya dalam membangun bangsa Indonesia. Komunitas ini berfokus pada berbagi ilmu tentang literasi dan wirausaha.
Jiwa Pendidik Indonesia Mati, Maka Roda Pendidikan Indonesia Berhenti
“Keadaan guru di Indonesia amat memprihatinkan di samping belum meratanya pendidikan di Indonesia” ungkap Prof. Dr. Ulfah Fajarini, guru besar Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hiayatullah Jakarta, yang dikutip oleh Berita UIN Online di laman webnya. Prof Ulfah memaparkan data World Education Ranking yang diterbitkan Organization for Economic Co-operation and Develomnet (OECD) bahwa Indonesia menempati peringkat ke-57 dari 65 negara di dunia pada bidang pendidikan. Faktor utama rendahnya pendidikan di Indonesia, berfokus pada kualitas pendidik di Indonesia.
Indonesia memiliki berbagai macam pulau yang tidak memiliki batas. Namun, keadaan yang menjadikan beberapa daerah di luar jangkauan mata terbatasi. Terlebih, pembatasan itu ada pada dunia pendidikan. Dunia yang menjadi tombak utama pembangunan suatu peradaban.
Tidak adil, jika anak kota memiliki kesempatan menembus batas ruang dan waktu untuk merangkai masa depan. Sedangkan mereka yang berada di garis terdepan perbatasan negara Indonesia, terbatasi oleh budaya; adat; dan kebiasaan setempat untuk menyelaminya. Jika keberadaan pendidikan dianggap sebagai pelanggaran atas adat istiadat setempat, lalu bagaimana peradaban itu ada di tempat tersebut ?
Inilah masalah Indonesia, kualitas pendidikan yang rendah di kanca dunia, serta tidak meratanya kesempatan mengenyam pendidikan di berbagai belahan pulau Indonesia. Sudah banyak orang yang menyuarakan pandangan mengenai permasalahan ini, melalui berbagai cara. Baik artikel; jurnal; cerita fiksi; lirik lagu; hingga film. Seperti sebuah film karya Rudi Soedjarwo, Batas.
Rudi Soedjarwo mengamini pandangan Prof Ulfah, bahwa masalah utama pendidikan Indonesia ialah rendahnya kualitas pendidik Indonesia, hingga tidak meratanya pendidikan di Indonesia. Film Batas menggambarkan kenyataan keadaan wilayah terdepan perbatasan Indonesia. Anak bangsa di daerah tersebut memiliki batas. Batas yang memenjarakan masa depan mereka. Sehingga menjadikan masa depan setiap generasi bangsa hanya berputar pada sirkulasi yang sama, seperti orang tuanya. Miris.
Padahal, alam idea tidak memiliki batas. Bahkan untuk menjemput inspirasinya. Setiap anak bangsa memiliki sorot masa depan. Mereka berhak mendapat kesempatan yang sama dalam mengarungi luasnya dunia. Melampaui batas budaya; adat istiadat; dan kebiasaan, dengan tetap menghormati batas tersebut. Namun, seakan nasib memposisikan mereka pada sebuah pilihan. Antara keinginan dan kenyataan.
Sudah waktunya, ada dobrakan yang membuka mata masyarakat setempat. Bahwa keinginan dan kenyataan bukanlah dilematik sebuah pilihan. Akan tetapi dua hal yang saling berkaitan. Keinginan yang merubah kenyataan.
Tindakan yang sia-sia. Jika kita hanya berkutat pada sistem pendidikan. Memperdebatkan keadaan yang bukan kuasa kita. Lagi pula, apalah artinya sebuah sistem tanpa adanya kemampuan mengaplikasikannya ?. Sistem itu hanya akan menjadi pikiran abstrak yang tak terbendung lagi.
Kunci atas permasalahan vital Indonesia hanyalah satu, meningkatkan kualitas pendidik. Pendidik yang memiliki kualifikasi tinggi, akan melahirkan generasi yang kritis. Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA mengungkapkan 4 kompetensi yang harus dikuasi guru agar menjadi ideal. Yaitu kompetensi pedagogik; kompetensi perilaku; kompetensi sosial; dan kompetensi profesional. Penguasaannya melalui pembelajaran yang tiada henti. Pendidik yang berhenti belajar, maka ia dapat dikatakan mati jiwanya sebagai pendidik. Keadaan inilah yang memusnahkan peradaban suatu bangsa.
Hal ini dikarenakan, pada hakikatnya pendidikan adalah roda peradaban. Sedangkan pendidik, ialah poros dari roda tersebut. Pendidiklah kunci solusi atas segala persoalan bangsa.
Selama bangsa masih memiliki pendidik sejati, maka persoalan bangsa akan teratasi. Pendidik sejati, akan membuka segala pintu cakrawala bagi anak bangsa. Hingga akhirnya, generasi bangsa Indonesia berdiri di poros dunia. Sebaliknya, jika jiwa pendidik mati, maka roda pendidikan berhenti. Titik inilah indikator kehancuran peradaban suatu negara.
Bangkitlah #Jiwa Pendidik Indonesia
Karya Anjani Maula
Mahasiswa Pendidikan Agama Islam, Uin Syarif Hidayatullah Jakarta