Ilusi dalam Kenyataan

Karya : La Viola Atikah Rafli

      Aku berlari mengejar sosok itu. Semakin kupercepat langkah kakiku, dia semakin menjauh. Aku mengelap keringat yang terus menetes didahiku dan berharap dia tiba-tiba terjatuh tepat dibelokan depan sana. Aku sudah mulai kehabisan napas dibuatnya. Sepuluh menit berlari secepat yang kubisa dari biasanya seperti berjalan satu jam lamanya.  Tak jauh dari mataku, aku melihat lelaki tengah berdiri di tepi jalan.

Aku memanggilnya, “Tolong bantu saya mengejar orang itu!”

Diam. Tidak ada balasan apapun darinya. Apa dia tak bisa mendengar suaraku karena langkahku yang sangat cepat hingga angin membisukan suaraku? Aku mendengus kesal. Langkah kakinya tak bisa diragukan, Itu kaki atau apa sih cepet banget dan nggak ada capeknya. Bisa-bisa berendam air hangat semalaman sambil menghabiskan satu semangka besar nih aku setelah ini.


Aku menghentikan langkahku secara perlahan. Kupejamkan mataku sejenak sambil mengatur langkahku. Aku berhenti dan menjatuhkan diri di jalanan. Kubuka mataku setelah kurasa punggung ini benar-benar menempel sempurna pada tajamnya aspal jalanan. Aku melongo dibuatnya. Kukedipkan mataku berkali-kali sambil sesekali mengucak mataku. Astaga! Itu manusia bukan, sih? Aku sudah tidak lagi mengejarnya, tapi kenapa dia terus berlari secepat yang kukejar tadi. Aneh.

“WOY! Istirahat dulu napa? Bisa-bisa engkel nih kakiku!” teriakku sambil tertawa.

Aku melipat kakiku dan meletakkan tanganku pada lutut. Kutaruh daguku sambil bersimpuh pada telapak tanganku. Aku melihatnya tanpa kehilangkan sedetikpun. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Akhirnya, kuputuskan untuk beristirahat total sejenak dan memejamkan mataku. Aku capek. Tidak peduli aku akan diapakan oleh orang-orang yang lalu-lalang di sekitar sini. Ini terlalu sepi dan sangat nyaman untuk dibuat isturahat sejenak untuk masuk ke dalam dunia mimpi.

“Kakak Hana..Ayo sarapan! Berangkat sekolah sama Adek, Kak. Hari ini mobil Kakak dibawa Pak Doni service,” teriakan Mama yang super duper kenceng mengagetkanku.

Aku terbangun kaget dan langsung masuk kamar mandi. Ketika aku berdiri dan akan berlari secara spontan, prek … Handphoneku terjatuh.

“Ya Ampun, pake jatuh segala lagi. Apa? Mau ikut aku mandi? Udah ah, jangan! Bisa-bisa diomelin Mama lagi aku. Daah!” omelku pada handphone.

Iya, sejak Mama mulai diterima kerja sebagai Manajer di perusahaan tempatnya bekerja, Mama mulai jarang sekali ada di rumah. Jangankan ada di rumah, mandi, dan makan saja mama jarang sekali. Mama hanya bermodal make up dan parfum saja untuk menutup semuanya. Lucu, tapi terkesan jorok hanya demi profesionalitas dalam pekerjaannya dan demi kami semua sejak Papa tiba-tiba pergi tanpa alasan apapun pada kami semua. Papa meninggalkan uang 10 juta yang berisikan foto pernikahannya dengan wanita lain. Aku mendengus kesal dan aku menemui Papa dengan wanita itu, tapi Mama mencegahku. Baiklah, aku harus menuruti perintah Surgaku untuk alasan apapun.

“Kak!” teriak Idriz.

Aku mempercepat gerakanku sampai-sampai aku salah memasang topi sekolahku dipergelangan tanganku. Kacau haha. Tawaku membludak sendiri di dalam kamar. Brok … Brokbrok …. Aku membuka pintu dengan keras sampai memukul dinding kamarku yang tak bersalah. Idriz sudah memasang wajah setengah gangster kompleks sebelah yang selalu nongkrong tengah malam.

Aku memasang wajah jutek sambil mengelu-elus rambutnya dan menciumnya. Selalu seperti ini, rutinitas pagiku yang kucontoh dari Mama. Mencium orang yang kucintai. Berhubung Idriz sudah menginjak bangku Sekolah Menengah, dia suka malu-malu kalau pipinya kucium. Alhasil, aku selalu mencium rambut atau ujung topinya.

Dia berlari sekencang mungkin karena saat kucium dia mencubit lenganku. Aku berlari mengejarnya. Rumah kami terlalu luas sampai akhirnya membuatku berkeringat dan bajuku menjadi bau.

“STOP, DEK!” Idriz tak mendengar.

Aku yang fokus pada punggungnya sampai tak sadar kalau di depanku adalah tiang penyangga ruang tamu dan bruk!

Aku membuka mataku. Dia mendekatiku. Aku membuka mata dan bergegas menangkapnya, tapi dia semakin menjauh dariku. Aku berlari sekencang mungkin sampai akhirnya di depanku muncul kawanan orang berbaju hitam yang sama persis sepertinya dan membawa sebuah kertas besar yang terlihat nampak berwarna merah dan hijau. Aku mundur beberapa langkah sampai akhirnya mereka menyekap mulutku dengan sapu tangan berbau alkohol. Aku tak sadarkan diri.

“Ayo bangun, Kak! 18 jam lho Kakak tidur. Hari ini tepat satu tahun meninggalnya Papa. Siap-siap yaa, kita akan pergi ke makam Papa.” Aku mencoba berdiri dan bersiap-siap. Bruk. Lagi-lagi aku menjatuhkan handphone. Ya Ampun, jadi kemarin aku tertidur karena terlalu lama menatap layar handphone dan asyik dengan game “Kejar Makhluk”. Aku melihat jam dan tanggal di layar.

“Haha.. Tidur tanggal 31 Mei dan bangun tanggal 01 Juni. Seperti tidur sebulan rasanya, dari Mei ke Juni.”

Lumajang, 28 Juni 2019

 

Informasi karya atau materi lainnya bisa cek di youtube Omah Karya Indonesia atau web Omah Karya Indonesia menu tips menulis.