Garis Takdir

 

Sebuah ruangan kecil dengan satu ranjang dan kursi serta meja rias ditemani cermin. Nuansa warna putih membuat kamar tersebut terasa nyaman dan damai. Ada satu pas bunga kecil yang selalu diisi dengan setangkai mawar putih setiap harinya. Bingkai-bingkai foto menempel rapi di dinding.

Aku berdiri di depan foto-foto tersebut, menatap inci demi inci orang-orang yang ada di dalamnya hingga tanpa sadar setetes bulir bening lolos dari kelopak mata. Satu bingkai foto dengan sederet senyum sumringah terpancar di wajah masing-masingnya. Pakaian serba putih menandakan kesucian dan kebahagiaan yang nyata.

Aku menunduk mengecup cincin yang melingkar di jari manisku. Sebentar lagi, Za, sebentar lagi kita akan menjadi pasangan yang sah. Ayo, kuat demi kita, batinku mendesah berharap keajaiban Allah akan datang.

Lamat-lamat, tangan ini membuka sebuah kado berwarna hitam yang berisi satu kerudung berwarna biru muda. Kucoba untuk memakainya hingga menutupi mahkota seorang perempuan yaitu rambut. Aku tersenyum menatap perubahan pada wajahku seraya mengikatkan sisa kerudung ke belakang.

“Kanzaaa!”

“Maaa!”

Mama tertegun melihatku untuk yang pertama kalinya mengenakan hijab. “Kamu cantik sekali, Za.” Tatapan mata Mama yang berbinar-binar menatap penampilan baruku dari atas sampai bawah.

“Ah, Mama … bisa saja,” protesku tersipu malu.

“Aku mau ke rumah sakit lagi.”

“Sampaikan salam mama untuk Hiza, ya.”

“Baik, Ma. Assalamualaikum.”

Setelah sampai di rumah sakit, aku melihat keluarga Hiza berkerumun di depan ruangan perawatan. Wajahnya nampak sendu berselimut pilu. Apa yang terjadi? batinku gelisah.

“Ma … Ayah, apa yang terjadi?” tanyaku tergesa-gesa.

Jantung ini semakin berdetak kencang saat tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaanku. Hanya isak tangis yang seakan-akan menjadi jawabannya. “Ma, jelaskan padaku! Apa yang terjadi pada Hiza?”

“Ada yang bernama Kanza di sini?”

“Saya, kenapa?” Hati ini semakin dibuat tak karuan.

“Pasien menyuruh perempuan yang bernama Kanza masuk.”

Hiza.

“Assalamualaikum,” sapaku perlahan. Lagi dan lagi air mata ini tak sanggup untuk kubendung melihat keadaanya yang semakin memburuk karena penyumbatan darah di otaknya akibat kecelakaan, semakin menggerogoti tubuhnya.

“Wa-wa-alaikumsalam ca-lon mak-mumku,” jawabnya terbata-bata.

Hiza tersenyum menatapku dengan wajahnya yang pucat. Di saat seperti ini pun, dia masih bisa tersenyum, gerutuku dalam hati.

“Kamu cantik sekali,” pujinya.

Tangisku semakin terisak menyesakkan kalbu. Aku ingat, Hiza ingin melihatku merubah penampilan dan Istiqomah berhijab, tetapi aku belum bisa memenuhi keinginannya. “Terima kasih, Za,” tanggapku diiringi isakan kecil.

“Jangan menangis, aku tidak apa-apa,” ucapnya seraya tersenyum menyeka air mata yang semakin membasahi pipiku.

“A-aku takuuut.”

“Jangan takut. Kalau kamu seperti ini terus, bagaimana aku bisa tenang meninggalkanmu?” Ucapannya bak kilat petir yang secara tiba-tiba menusuk jantung.

“Jangan sekali lagi kamu bicara seperti itu,” pintaku kesal.

Kuusap air mata di pipi untuk mengurangi kekhawatiran Hiza, tetapi tak bisa dipungkiri hati ini menjerit tak terkendali. “Kamu ingat?” tanyaku seraya tersenyum.

Hiza tersenyum kecil. “Kita pernah berkhayal membangun keluarga untuk meraih surga-Nya.”

“Bagaimana kita bersama-sama mempersiapkan satu per satu kebutuhan untuk pernikahan. Kamu ingat itu?” tanyaku, memancing Hiza untuk bertahan lebih lama lagi untuknya, terutama orang tuanya.

Hiza mengangguk perlahan. “Aku ingat, Za,” jawabnya diiringi lengkungan tipis 6 cm yang tersirat di bibirnya.

“Jika saja kepergianku sudah menjadi takdir Allah, aku mohon … jangan tangisi jasadku. Ikhlaskan aku dan jalani hidupmu,” bisiknya di telingaku.

“Tidak, Za. Kumohon …,” harapku seraya mengecup punggung tangannya. “Jangan tinggalkan aku.”

Aku tertegun sejenak diselubungi pikiran negatif kala melihat mata teduhnya terpejam. “Za, kamu tidur, ya? Kenapa tidak bilang aku?” tanyaku cemas.

“Za, bangun dulu sebentar.”

“Hiza … Hizaaa!”

Aku semakin panik saat Hiza tidak memedulikan panggilanku. “Dok, dokter!” teriakku.

“Tolong, dia tidak mendengarkanku,” tegasku semakin terisak.

“Nak, kenapa dengan Hiza?” tanya Mama Hana panik melihatku teriak memanggil dokter.

“Ma, Hiza … Hiza tidak lagi mendengarkanku.”

“Mohon maaf, pasien sudah meninggal dunia.”

Deg!

Jantung ini seakan-akan berhenti berdetak untuk seketika, getaran hebat menggoyangkan tubuhku. Menangis bagai burung yang menggigil di bawah guyuran hujan sampai mata ini sulit untuk terbuka lagi. Belum sempat aku keinginan terakhirnya, tapi Allah sudah merenggutnya secara paksa dari dekapanku. Hiza, kenapa secepat kau meninggalkanku?

“Innalillahi wa Inna ilaihi raji’un,” ucap Mama Hana membuyarkan lamunanku dalam sekejap.

“Ma, ini bohong, kan? Hiza berjanji, loh, Ma, tidak akan pernah meninggalkanku.”

“Kita akan menikah, kan, Ma?” Kuhapus air mata ini, kesadaranku seakan-akan direnggut seketika. Hati ini belum bisa menerima kepergiannya.

“Yang tabah, Sayang. Kita harus ikhlas,” ucap Mama Hana menguatkanku.

Hari ini juga, Mama Hana dan keluarganya membawa jasad Hiza ke rumah untuk segera dimakamkan. Aku masih tertegun menatap kosong, tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja terjadi di depan mata.

“Kanza.” Mama menghampiriku yang sedang menekuk lutut nestapa di sudut ruangan menyaksikan jasad sang calon imam yang ditutupi kain putih dengan dikerumuni banyak orang. “Kamu harus ikhlas, jangan seperti ini.”

“Ma, Hiza akan kembali,” lirihku.

“Bu Hana, saya turut berduka cita atas berpulangnya Hiza. Dia anak yang saleh, insyaallah surga adalah tempatnya.”

“Aamiin, terima kasih Bu Nadia.”

Setelah disalatkan, jasadnya Hiza sudah siap dimakamkan. Aku terdiam menyaksikan berlangsungnya pemakaman bersama Mama dan Mama Hana yang senantiasa merangkul kedua tanganku. Hiza, selamat tinggal.”

Satu minggu berlalu setelah Hiza meninggalkanku. Setiap hari, aku selalu mengunjungi makamnya seraya menaburkan bunga di makamnya. Hati ini masih sangat mencintainya, entah kapan aku bisa membuka hati kembali atau bahkan tidak akan bisa. Persiapan pernikahan hingga cetak undangan sudah kami persiapkan, tetapi Allah berkata lain terhadap apa yang sudah kurencanakan. Sesungguhnya Allah Sang Maha Berkehendak atas segalanya.

“Hiza, aku pulang dulu, ya. Besok aku akan mengunjungimu lagi.”

Dalam perjalanan pulang dari pemakaman, aku berhenti di sebuah kafe sekadar untuk menikmati teh hangat yang sekaligus menjadi kafe kenangan untuk kami. Tentu saja, setiap sudut ruangannya mengingatkanku pada kenangan indah yang terlukis di sana.

Aku merangkak berdiri menghampiri panggung kecil yang biasa menjadi tempatku bernyanyi bersamanya sekadar menghibur pengunjung kafe. “Boleh aku bernyanyi, Mas?” tanyaku.

“Silakan, Mbak.”

Melodi petik gitar menemani lagu yang akan kunyanyikan kali ini. Kupejamkan mata sejenak seraya mengembuskan napas pelan.

Ingin kuulang hari … ingin kuperbaiki ….

Kau sangat kubutuhkan … beraninya kau pergi dan tak kembali ….

Di mana letak surga itu … biar kugantikan tempatku denganmu

Adakah tempat surga itu … biar kutemukan untuk bersamamu

Tanpa sadar, hati ini tenggelam dalam sedihnya lagu yang kunyanyikan sendiri. Iya, lagi dan lagi air mata ini menetes. Seberapa keras aku melupakan, aku tidak akan pernah bisa melupakannya. Hiza, terima kasih telah memberi warna dalam hidupku walaupun sesaat. Maaf, aku belum bisa menjadi pasangan yang seperti kamu harapkan.

Hiza, sekarang aku ikhlas. Semoga Allah senantiasa bersamamu.

 

End.

Garut, 31 Agustus 2021

 

Eva Lestari, yang akrab disapa dengan sebutan Eva. Gadis kelahiran tahun 2000 ini, menetap di sebuah Kota kecil yang disebut Kota Intan, Garut. Seorang gadis biasa yang berusaha mengubah amatir menjadi profesional, itu adalah cita-citanya. Jejaknya bisa dilihat di akun Instagram @lestaridaily_. Dalam hidup kita boleh mengeluh, tetapi jangan menyerah.
sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/1148488342444449964/