Childfree dan Keadilan Gender dalam Rumah Tangga

 

Topik childfree saat ini sedang ramai diperbincangkan di dunia maya, setelah salah satu influencer asal Indonesia, Gita Savitri Devi mengungkapkan secara terbuka tentang keputusannya untuk tidak memiliki anak. Keputusan tersebut adalah hasil kesepakatan bersama antara dirinya dengan sang suami, Paul Andre Partohap. Keduanya saat ini tinggal bersama di Jerman. Pernyataan tersebut tentunya menuai banyak pro dan kontra dari banyak kalangan masyarakat di Indonesia.

Menurut Christian dan Cristian, keputusan untuk tidak memiliki anak merupakan salah satu perubahan paling luar biasa dalam keluarga modern. Selama beberapa dekade terakhir jumlah pasangan yang secara sukarela tidak ingin menjadi orang tua (biasanya disebut bebas anak) telah meningkat secara drastis di seluruh dunia.

Sementara itu, International Business Times melaporkan bahwa Australian Bureau of Statistic menilai akan lebih banyak pasangan berkeluarga yang memilih untuk tidak punya anak di antara tahun 2023-2029.

Selanjutnya Tomas Frejka, dalam risetnya yang berjudul “Childlessness in the United States” juga menyatakan bahwa dibanding dekade 1970-an, pilihan untuk tidak mempunyai anak meningkat dari 10 persen menjadi 20 persen di tahun 2000-an.

Menurut wikipedia childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, ataupun anak angkat. Penggunaan istilah childfree untuk menyebut orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak ini mulai muncul di akhir abad 20.

Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (Institut PTIQ) Jakarta, sekaligus pengamat isu perempuan dalam acaranya pada webinar Lingkar Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) dengan tema “Childfree dan Childcare Perspektif Islam”, mengungkapkan berberapa alasan pasangan suami istri (pasutri) memilih untuk tidak memiliki anak baik itu anak kandung, tiri, maupun angkat.

Pertama, karena ketidaksiapan finansial. Kedua, ketidaksiapan reproduksi. Ketiga, riwayat penyakit kronis. Keempat, trauma. Kelima, ketidaksiapan sebagai orang tua. Keenam, semrawutnya konsep keluarga. Ketujuh, ancaman kerusakan alam. Kedelapan, konflik kemanusiaan dan lainnya. Dikatakan, dalam mengambil keputusan untuk childfree, pasangan suami-istri perlu mempertimbangkan kemaslahatan agama (Islam) bukan hanya individu semata. Selain itu, menurutnya ada tiga hal yang perlu menjadi pertimbangan pasutri kala memutuskan untuk childfree.

Pertama, kualitas pasutri ditentukan juga oleh hubungan baik dengan Allah swt dan sesama mahluk-Nya. Menurutnya, keputusan punya anak atau tidak mesti dalam rangka berproses menjadi pribadi yang lebih baik dengan cara bermanfaat seluas-luasnya. Karenanya, akan berbeda sekali jika pasutri memilih keputusan childfree supaya bisa me-time tanpa peduli dengan lingkungannya. Ia mencontohkan, seorang kiai yang memutuskan tidak menikah supaya lebih maksimal dalam memberikan manfaat untuk lingkungannya. Kedua, memiliki anak atau tidak harus menjadi keputusan bersama, terutama bagi perempuan, karena dialah yang akan menjalani masa reproduksi panjang. Ketiga, keputusan childfree tidak menggugurkan tanggung jawab sosial manusia dewasa pada anak secara sosial.

Dalam konsep keadilan gender di dalam rumah tangga, pasangan suami istri diharapkan dapat terbebas dari nilai-nilai yang menganggap laki-laki lebih utama (patriarki) dibandingkan perempuan. Sehingga tidak terjadi lagi pembedaan peran, posisi, tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang berdasarkan pada jenis kelamin. Melainkan hak dan kewajiban yang lebih diutamakan didalam kehidupan rumah tangga. Terwujudnya keadilan gender di dalam rumah tangga itu sendiri ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki. Dengan demikian perempuan dan laki-laki memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, untuk memperoleh manfaat yang setara dan adil dalam sebuah tujuan membangun sebuah rumah tangga. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya sehingga memperoleh manfaat yang sama.

Selanjutnya hal yang paling penting dalam keputusan pasangan untuk memiliki anak 1, lebih dari 1 atau bahkan 0 anak sekalipun merupakan sesuatu yang harus dipikirkan secara matang oleh kedua belah pihak dan harus saling sepakat satu sama lain. Harus saling mengerti dan menghargai apa tujuan dari keputusan tersebut. Sehingga tidak ada pihak yang terpaksa, dalam hal ini suami dan istri. Karena sejatinya, dalam menjalani pernikahan memang perlu direncanakan secara matang untuk menjalankan visi dan misi dalam hubungan pernikahan dan membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warohmah, harmonis serta sejahtera. Sehingga hak dan kewajiban masing masing pasangan dapat berjalan dengan semestinya dan seimbang di dalam membangun dan menjalani sebuah hubungan rumah tangga.

Balikpapan, 1 September 2021

Daftar Pustaka:

Rofiah, Dr. Nur, Bil. Uzm. (2021). Dalam Acara Webinar Lingkar Ngaji Keadilan Gender Islam (KGI) bertajuk “Childfree dan Childcare Perspektif Islam”. Jakarta: Jumat, 28 Agustus 2021, berlangsung pukul 19.30-21.00 WIB.

Frejka, Tomas. (2016). Childlessness in the United States. Europe: Springer.

Australian Bureau of Statistic. (2002). Family Formation: Trend of Chlildlessness. Australia: Canbera Time.

Anonim. (2021). Childfree. Dalam https://id.m.wikipedia.org/wiki/Childfree . Diakses pada tanggal 1 September 2021 pukul 02.00 WITA.

Agrillo, Christian and Nelini, Cristian. (2008). Childfree by Choice. Journal of Cultural Gheography Volume 25, 2008 – Issue 3: THEMATIC ISSUE: RACE, ETHNICITY AND PLACE

 

Zainul Afatmawati adalah seorang ibu satu anak yang memiliki ketertarikan dalam bidang menulis. Di sela-sela aktivitasnya selain mengurus anak dan rumah tangga ia juga suka menulis di halaman blog kecil miliknya bungaatulip.blogspot.com. Topik yang menjadi minatnya adalah seputar ilmu komunikasi, parenting, interpersonal relationship, isu perempauan dan gender. Tulisannya yang berjudul “Cegah Nikah Dini dengan PUP” juga pernah dimuat di koran Wawasan kolom BKKN. Baginya menulis adalah salah satu sarana rekreasi, self healing dan sarana berbagi pemikiran lewat kata.