Cinta Tanpa Restu Tuhan
By R. Paramita
“Tuhan menciptakan Adam dan Hawa untuk saling berpasangan. Ya, Adam dan Hawa bukan yang lain.”
Aku masih ragu untuk beranjak, hanya terdiam sembari menatap pantulan diri dari cermin toilet. Menghela napas, kemudian menyedongkan tangan di bawah kran air yang menyala. Kubasuhkan kilat ke wajah yang terlapisi dengan sedikit polesan make up agar bisa menyembunyikan ekspresi menyedihkanku saat ini.
Aku Rhea–Gadis yang besar tanpa asuhan ibu, hidup di bawah bimbingan ayah seorang abdi negara, dan 3 orang kakak lelaki yang juga seorang TNI. Terbelenggu di antara keluarga berlatar belakang militer memang memaksaku untuk tahan banting, bermental kuat dan disiplin dalam segala aspek tentunya.
Aku tidak pernah berpacaran sebelumnya, bukan karena aku tidak berminat, hanya saja memang tidak ada laki-laki yang mau mendekati. Kata Gibran—sahabatku satu-satunya—memacari gadis sepertiku sama saja dengan masuk lubang buaya. Ah, aku sangat paham maksud ucapan Gibran kala itu. Ayah dan ketiga kakakku memang galak dan cukup protektif padaku … apalagi jika sudah berhubungan dengan pacar.
Aku tidak menyalahkan ayah dan kakak-kakakku atas derita yang aku alami sekarang. Ya, aku tidak bisa menyukai lawan jenis, bahkan ketika sekarang ayah menyuruhku untuk mencari pendamping hidup. Aku benar-benar tidak bisa, hati dan pikiran masih terfokus pada wanita yang berusia lima tahun lebih tua dariku.
Eryna, wanita itu keluar dari salah satu bilik toilet. Menyentuh lembut bahuku, sementara aku hanya menatapnya dari pantulanya cermin.
“Sudah selesai, kita pulang sekarang?” tanya Eryna terdengar sumbang. Aku tahu jika dirinya baru menangis juga.
Sumpah demi apapun situasi ini membuatku teramat kacau. Aku menoleh, menatap intens wanita berambut sebahu itu.
“Kamu serius mau mengakhiri hubungan kita, hm? Bukannya kamu tau, kalau aku sayang banget sama kamu? Kamu tau kan aku udah niat mau menikahi kamu?” Suaraku bergetar, air mataku menetas lagi dan dengan sigapku menghalau menggunakan punggung tangan.
Eryna merunduk, ia terisak pelan lalu membalas tatapanku. Emosiku pun seketika luluh. “Kita bisa tetap bersama, kan?” desisku.
Eryna menggeleng, aku tahu ini juga tidak mudah baginya. Namun, semua terasa lebih sulit jika aku harus melepaskan wanita yang sudah kupacari selama dua tahun lamanya itu.
“Aku gak bisa, Rhe. Aku harus menikah dengan lelaki pilihan orang tuaku. Aku juga gak bisa bilang sama mereka tentang hubungan terlarang kita ini, Rhe,” kata Eryna meminta maaf.
Aku tersayat, apakah ini akhir dari semuanya? Tuhan, mengapa kau mengambil kebahagiaanku lagi?
“Kenapa Tuhan jahat sama aku? Kenapa dia mau pisahin kita? Salah aku apa, Na?” dadaku kembang kempis, terasa begitu perih bak ditusuk ribuan jarum.
Eryna menggenggam tanganku. “Tuhan gak jahat, Rhe. Tuhan itu baik, oleh karena itu dia memisahkan kita. Tuhan gak mau kita tersesat di jalan yang salah. Tuhan gak mau kita terus menerus berada di dalam dosa, Rhe.”
Terdiam, mencoba mencerna tiap kata yang mencuat dari bibir manis Eryna. Aku sudah tak mampu berkata apapun.
“Rhe, jangan pernah melawan takdir. Be straight, okay ?” Eryna menepuk-nepuk bahuku.
Aku tersenyum tanpa arti, otak dan hatiku masih tak bisa menerima ini semua. “Maybe, I’ll try,” jawabku dengan susah payah.
Selesai