SAMA TAPI TAK SERUPA

 

Berawal ketika SMA, aku memilih jalanku sendiri untuk masuk ke salah satu pondok pesantren. Entah mengapa, aku ingin merasakan hidup di dalamnya, mengikuti kata hati nuraniku. Walaupun kata orang, pondok pesantren itu dikenal dengan sebutan “Penjara Suci”, aku tetap dalam pendirian untuk masuk ke dalamya. Di bulan pertama, kedua, sampai memasuki bulan ketiga di pondok pesantren, wajar saja ketika merasakan rindu dengan keluarga, merasakan ingin pulang, dan sebagainya. Namun uneg-uneg tersebut, aku kubur sedalam-dalamnya untuk tetap bertahan di sebuah pondok pesantren tersebut. Sampai akhirnya, aku pun merasakan hal yang dinamakan dengan kenyamanan.

Suatu ketika, aku dekat dengan teman sekamar, sekelas, bahkan sebangku. Ia bernama Amel. Dia anak dari delapan bersaudara. Walaupun di tahun 2012, dia kehilangan seorang ibu yang sangat amat disayangi, ia tetap selalu terlihat tegar. Dari waktu ke waktu, aku sering melakukan kegiatan di pondok maupun di sekolah bersamanya. Bahkan, sebagian orang bilang kalau kita berwajah kembar, padahal bagi kita 100% beda. Saat jam istirahat tiba, kita mendatangi kantin yang biasa kita sebut dengan sebutan BJM. Itu adalah sebuah singkatan ibu penjual kantin sekolah yang berarti Bu Jamilah.

“Ibuk!” panggil kita saat tepat di depan jendela kantin.

“Iya, Nak!” Jawaban akrab Bu Jamilah sambil mengaduk masakan beraroma sedap diatas kompor.

”Kita beli dua roti, ya, Buk” Sambil menjulurkan tangan dengan genggaman uang untuk membayar.

Lalu, Bu Jamilah pun menoleh. “Eh, kembar, ya?” tanya Bu Jamilah, karena baru mengenal kita.

“Enggak, kok, Buk. Kita beda orang tua juga beda tempat asal.” Aku merespon cepat.

“Jangan-jangan …,” canda Bu Jamilah.

“Eh, iya. Jangan-jangan, kita saudara yang tertukar,” timpal Amel.

“Udah, yuk! Kita balik ke kelas. Keburu bel masuk. Duluan, ya, Buk,” kataku sambil menarik lengan Amel untuk meninggalkan kantin.

Bel masuk pun berbunyi. Seperti biasa, aku dan Amel selalu duduk di bangku paling depan dekat guru. Pelajaran Matematika pun dimulai. Aku begitu antusias mengikutinya. Karena sejak kecil, aku telah berjuang untuk bisa belajar Matematika sendiri dan akhirnya menuai hasilnya. Sebaliknya dengan temanku Amel, ia begitu benci dengan Matematika. “Mel, bangun, Mel. Kok malah tidur? Itu lho baru dijelasin di papan tulis,” kataku sambil membangunkan Amel yang sedang tertidur di atas meja.

“Biasa …, kamu kan guruku. Aku nggak bisa dijelasin cepet kayak gitu. Sama aja nanti nggak bakal masuk di otakku,” jawab Amel yang selalu dilontarkan ketika aku membangunkannya. Begitu jam pelajaran matematika selesai, guru matematika pun meninggalkan kelas untuk lanjut mengajar di kelas berikutnya. Kutengok teman sebangkuku. Ternyata, ia masih terlelap dalam tidur nyenyaknya. “Bangun, oy!” Aku membangunkan dengan nada tinggi.

Amel pun terbangun sampai alat tulisnya terjatuh dan sontak bertanya, “Eh, kok dah sepi? Udah ganti jam kah?”

“Ya udahlah, liat tu jam berapa!” jawabku ketus.

Setelah beberapa mata pelajaran berjalan, waktu Salat Dzuhur pun tiba. Sembari menunggu antrian wudhu, aku dan Amel selalu membicarakan sesuatu yang berujung satu pemikiran. Entah itu mengenai pembelajaran, ataupun diluar pembelajaran. Akhirnya, waktu Sholat Dzuhur pun berakhir. Kita memasuki kelas untuk mengikuti jam pelajaran berikutnya, yakni Biologi. Pelajaran yang aku kira mudah, tetapi nyatanya masuk telinga kanan, keluar telinga kiri. Berbeda dengan Amel, ia begitu antusias setiap mengikuti pelajaran Biologi.

“kayaknya nggak ada lima menit lagi mesti kamu dah ngerasa bosen.” Tebakan Amel yang selalu dikatakan ketika pelajaran Biologi.

Selang beberapa menit, aku mulai merasa jenuh. Seperti biasa, aku selalu mencatat pelajaran yang dijelaskan, tetapi kurang dalam memahami materi-materi biologi.

“Jangan tidur.” celoteh Amel.

“Nggak, cuma mulai ngantuk aja,” jawabku jujur.

“Bentar lagi pulang, kok, habis itu kita makan. Tenang aja. Aku tau kok mesti kamu udah mikirin lauk siang ini apa kan?” canda Amel sambil mencolek lenganku. Selang beberapa menit bel pertanda pembelajaran telah selesai pun berbunyi. Semua pun berkemas dan bergegas untuk pulang (balik ke pondok). Sebelum itu, di akhir pembelajaran selalu diakhiri dengan doa bersama. Sesampai di pondok, kami bergegas mengambil piring dan makan bersama di dapur. Terkadang, kita merayu Ibu Dapur agar mendapatkan tambahan lauk.

“Ibuk …, mesti capek banget, ya, Buk? Seharian masak segini banyaknya,” ucap Amel pada ibu dapur.

Ibu Dapur berkata lirih, “Nggak, Ibuk nggak capek, kok, udah biasa, udah tugas Ibu juga masak-masak kayak gini.”

“Buk, kami bantu aja sini, Buk,” rayuku pada Ibu Dapur.

“Udahlah, kalian makan aja. Pasti kalian juga capek seharian belajar,” ucap Ibu Dapur.

“Nggak, kok, Buk. kalau Amel mah cuma capek tidur di kelas, Buk.” candaku dengan tertawa meledek Amel.

“Eh, enak aja. Nggak, kok, Buk. Jangan percaya dia, Buk. Padahal, dia tadi juga nggak memperhatikan waktu Biologi,” balas Amel.

“Mending, ya. Aku kan masih mencatat apa yang di papan tulis. Kamunya waktu pelajaran Matematika malah tidur sampai nggak tau kalau gurunya udah keluar kelas karena pergantian jam. Untung aja bukunya nggak sampai basah.” Aku membela diriku sendiri. Dan kita pun tertawa bersama. Di samping itu, dia menggigit lenganku karena ia merasa kalah.

Tiba-tiba ibu dapur memotong tawa kami, “Udah sana makan, kasian nasinya keburu kering nanti malah jadi lauk.” Tawa kami semakin kompak.

Adzan Ashar berkumandang, aku segera mengambil air wudhu dan menunggu salat jama’ah dimulai. Tak lama kemudian, salah satu santri pun mengumandangkan iqomah yang berarti salat akan segera dimulai. Imam pun memimpin salat jama’ah dengan khidmat. Selesai salat Ashar, aku memasuki ruang kelas yang berada diare pondok putri untuk mengikuti ekstrakurikuler tahfidz. lagi-lagi, aku dengan Amel mengikuti ekstrakurikuler yang sama dan kelompok yang sama. Bahkan dalam halaman dan surat yang kita setorkan pada Ustadzah Pembimbing pun sama. Walaupun setoran hafalan kita masih minim dibanding dengan teman-teman lain yang sudah memiliki cukup hafalan dari asal sekolah sebelumnya, aku dan Amel sama-sama tidak pernah merasa minder atau berkecil hati. Justru, kita merasa termotivasi untuk terus berjuang.

Adakalanya, kita merasa lelah. Sawah belakang pondok adalah tempat pelarian kita. Pelarian yang dimaksud di sini ialah menenangkan diri, merenungi tentang kehidupan dan menikmati alam. Hal itu kita lakukan setiap merasa lelah atau ketika mempunyai masalah sampai diri kita merasa sedikit tenang.

Kadang, hal sepele bisa jadi bahan bercandaan kita. Ketika kita melihat suatu hal apapun itu yang sedang sama-sama kita lihat, pasti kita komentari dan jadi bahan bercandaan kita. Memang, se-simple itu persahabatan kita. Menurut kita, bahagia tak perlu mengeluarkan uang banyak, tetapi hanya perlu mengeluarkan tenaga buat ketawa bahagia. Dikatakan sahabat bukan berarti kita selalu bersama dan selalu sependapat, justru kita besahabat tetapi selalu berbeda pendapat atau mungkin karena datang suatu masalah. Tetapi disisi lain, kita tidak pernah berantem lebih dari sehari. Ia juga type orang yang suka jail, karena aku telah mengenalnya sejak lama, tak pernah heran dengan kejailan yang ia lakukan. Persahabatanku dengannya yang paling berkesan ialah di mana ketika ia selalu menggigit lenganku, ketika ia merasa gemes, sebal, atau perasaan lainnya yang sedang ia rasakan. Ya, ia merasakan kepuasan karena menggigitku dan aku merasakan kesakitan karena gigitannya. Namun aku paham betul, dia melakukan itu karena sebuah candaan semata.

Sampai di mana, ketika kita menjumpai waktu akhirussannah. Waktu itu adalah waktu yang begitu mengaharukan bagi seluruh santri dalam pondok pesantren tersebut. Karena pada saat itulah kita berpisah dan kembali ke tempat tinggal masing-masing. Di moment terakhir itu, kami ramai-ramai berfoto, mengabadikan kebersamaan kami selama di pondok pesantren. Lalu, kulihat sahabatku, digandenglah tangannya bersama keluarganya. Perlahan, ia mulai menjauh dan melambaikan tangan padaku. Kubalas pula lambaian tangannya yang semakin menjauh dengan senyuman hangat.

Beberapa bulan telah berlalu, kita mulai memasuki fase di mana telah menjadi mahasiswa. Kita memiliki jalan sendiri-sendiri dengan memasuki universitas yang berbeda. Suatu ketika, kita sama-sama memiliki waktu luang. Lalu, kita gunakan waktu itu untuk berbincang. Tak terasa perbincangan kita semakin dewasa. Yang dahulunya hanya tertawa terbahak-bahak membahas sesuatu yang tidak pasti, saat itu kita memperbincangkan harapan untuk masa depan. Waktu begitu cepat berlalu, pikirian pun tak kalah cepat menjadi dewasa. Sekarang, perbincangan masalah masa depan bukan hal yang tabu lagi untuk dibahas, justru perbincangan semacam itulah yang harus diselesaikan dengan dua pendapat yang disatukan menjadi sebuah jawaban yang tepat.

 

Karanganyar, 01 September 2021

 

Nurul Izzah, Lahir di Karanganyar, 23 Januari 2000. Alumni SMA Muhammadiyah PONTREN Imam Syuhodo Sukoharjo pada tahun 2019, yang sekarang sedang menduduki bangku perkuliahan di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta. Ia juga merupakan salah seorang aktivis organisasi eksternal di kampusnya. Selain Menulis, ia juga sangat suka dalm membaca cerita fiksi maupun non fiksi. Hobi membaca dan menulis ini ia tekuni belum lama, dimulai sejak ia duduk di bangku perkuliahan semester I dengan dukungan dari teman-teman dalam organisasinya. Dengan diberikan pinjaman setumpuk buku novel tebal yang ditarget selesai dalam kurun waktu satu bulan, akhirnya usaha yang didapat membuahkan hasil.

 

Sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/28429041388776893/