Mengejar Impian
Hari sudah pagi. Sinar mentari mulai menjulang tinggi, mencoba memasuki dari celah rumahku. Suara nyaring jam weker membuatku terbangun. Aku segera merapikan tempat tidur dan mengambil air wudhu untuk menunaikan salat subuh sebelum terlambat. Tak lupa, sehabis salat, aku berdoa kepada Allah supaya tetap memberi perlindungan kepada keluarga ini. Kami hanya tinggal bertiga dalam rumah kecil ini. Aku, Bapak, dan Ibu. Walaupun rumah kami sangat sederhana, tetapi kami hidup dengan penuh kehangatan dan selalu bahagia.
Tak lama kemudian, Ibu dan Bapak memanggilku untuk segera bersiap-siap sekolah. Ya, ini adalah hari pertamaku sekolah setelah libur panjang. Oleh karena itu, aku tidak mau terlambat masuk sekolah. Segera mungkin Aku makan, mandi, dan berkemas memasukkan buku-buku pelajaran dan peralatan sekolah ke dalam tas.
Setelah selesai, aku berpamitan dengan Ibu, mencium tangan, dan berpelukan dengannya. Itulah kebiasaan sejak kecil yang tak akan pernah kutinggalkan. Aku mengucap salam dan melambaikan tangan kepadanya sebelum naik ke alat transportasi yang sangat dicintai Bapak. Becak, itulah alat transportasi yang selalu mengantarku berangkat sekolah.
***
Bapakku bernama Sujimin, ia seorang penarik becak yang selalu bekerja paruh waktu, dari pagi sampai malam untuk memenuhi kebutuhan keluarga ini dan kebutuhan sekolahku. Bapak adalah seorang lelaki yang amat sayang denganku. Sedangkan, Ibu bernama Retno. Ia seorang buruh cuci yang tiap harinya mengambil pakaian kotor dari rumah satu ke rumah yang lain untuk bisa dicuci olehnya. Dari situlah pendapatan keluarga ini bisa terpenuhi.
Terakhir, bagian dari keluarga ini adalah Aku. Aku adalah seorang anak perempuan kesayangan dari Bapak Sujimin dan Ibu Retno. Aku bernama Cahaya Putri. Kebanyakan orang memanggilku dengan nama Puput, karena nama Putri terlalu familiar. Aku duduk di bangku kelas enam di SD Negeri 1 Wonorejo.
***
Kriiinggg ….
Bel berbunyi. Tanda pelajaran akan dimulai. Aku duduk sebangku dengan seorang teman. Ia bernama Nur. Nur adalah teman masa kecilku. Biasanya, kami selalu bermain bersama sepulang sekolah. Ketika pelajaran berlangsung, aku selalu memperhatikan apa yang disampaikan oleh Bu Guru. Beliau bernama Cantik. Memang benar, Bu Guru Cantik memiliki keperawakan cantik dengan tubuh yang ideal. Aku sangat senang diajarinya, Beliau merupakan guru agama yang sangat pintar dalam berbicara dan berdebat.
Setelah beberapa jam berlangsung, akhirnya bel pulang pun berbunyi. Aku dan teman-teman kelas lainnya merapikan buku dan peralatan alat tulis sebelum berdoa dimulai. Ketua kelaslah yang memimpin doa sebelum pulang. Setelah selesai, Aku dan Nur memiliki janji untuk pulang bersama dengan jalan kaki. Karena jarak rumah dengan sekolah tidak terlalu jauh.
Kami pulang melewati jalan raya yang cukup ramai. Di perjalanan, kami tiada henti-hentinya mengobrol, bercerita tentang masa kecil, bersendau gurau hingga kami tidak menyangka akan bertemu dengan Bapak di seberang jalan raya tersebut. Bapak berteriak, untuk berhenti berjalan dan menyuruh menunggu Bapak, supaya bisa pulang bareng. Akan tetapi, suara Bapak tidak terdengar oleh kami. Karena bisingnya suara jalan raya.
Tiba-tiba … Duarrrr .... Suara itu terdengar sangat keras. Seperti suara truk menabrak sesuatu. Sehingga, kami yang tadinya masih asyik bersendau gurau, langsung menoleh lagi ke seberang jalan. Aku dan Nur sangat terkejut. Kami takut terjadi apa-apa terhadap Bapak yang tadi berada di seberang jalan. Karena melihat sebuah becak terpental jauh tanpa ada orang yang menyopiri. Orang-orang sudah ramai mengerubung di lokasi kejadian tersebut. Kami langsung berlari menuju seberang jalan. Dan benar, pemilik becak yang terpental jauh adalah kepunyaan Bapak. Bapak mengalami kecelakaan. Bapak tertabrak truk. Aku terkejut. Aku menangis. Tidak tahu apa yang harus kulakukan sekarang. Banyak darah berceceran di mana-mana. Aku tidak kuat. Nur mencoba menenangkanku.
Seketika, dengan cepat, polisi, ambulan, dan Ibu datang secara bersamaan. Aku menangis tersedu-sedu di pelukan Ibu. Tak kuasa melihat Bapak berlumuran darah. Ibu hanya diam, membalas pelukanku. Mencoba menenangkanku. “Tidak apa-apa, Nak. Bapak pasti akan baik-baik saja. Kita berdoa mengharap kesembuhan Bapak kepada Allah, ya.” Itulah kata yang diucapkan Ibu saat menenangkanku.
Dengan cepat, ambulan membawa Bapak menuju Rumah Sakit terdekat. Aku, Nur, dan Ibu mengikutinya. Jalanan yang ramai dan macet, mau tidak mau harus memberikan jalan ambulan untuk bisa sampai di Rumah Sakit dengan cepat, supaya Bapak segera tertangani.
Sesampai di rumah sakit, dokter dengan susternya dengan cepat membawa Bapak ke ruangan ICU. Kami mengikuti di belakang para dokter dan suster. Sesampai di depan pintu ICU, kami tidak diperbolehkan untuk masuk. Supaya dokter dan suster menganganinya dengan lancar. Kami duduk di kursi depan ruangan ICU rumah sakit tersebut. Dengan tangan, kaki gemetar dan juga air mata terus mengalir, Ibu selalu mencoba untuk menenangkanku. Alhasil, kami mencari mushola yang ada di rumah sakit ini. Untuk melaksanakan salat dan mendoakan Bapak supaya baik-baik saja.
Setelah kurang lebih satu jam lamanya, Bapak berada di ruang ICU untuk diperiksa oleh dokter. Tiba-tiba pintu terbuka. Dengan cepat, aku, Ibu, dan juga Nur berdiri dari tempat duduk dan langsung bertanya kepada dokter keadaan Bapak saat ini.
Dokter berkata, “Bapak Sujimin harus segera melakukan operasi untuk tindakan lanjutan, segera untuk mengurusi administrasi.”
Segera mungkin Ibu menelpon sanak keluarga untuk meminjam uang. Alhasil, Ibu mendapatkan uang pinjaman dan langsung mengurus di administrasi. Tak lama kemudian, Bapak memasuki ruangan operasi dan melakukan operasi yang ditangani oleh para dokter.
Kami menunggu di luar ruangan. Beberapa jam telah berlalu, ruangan belum saja dibuka. Lalu, ting .... lampu di atas pintu yang tadinya berwarna merah, sekarang berubah menjadi warna hijau, yang artinya operasi telah usai.
Dokter keluar dan berkata bahwa “Kami telah selesai melakukan operasi dan keadaan Bapak Sujimin saat ini belum sadarkan diri. Berdoa kepada Tuhan, semoga Bapak Sujimin lekas sadar.”
Kami mengaminkan dan terus berdoa. Bapak langsung dipindahkan ke ruang rawat inap setelah dioperasi.
Selang beberapa jam, Bapak akhirnya sadar. Kami pun senang melihat Bapak yang sadar dan tersenyum kepada kami. Kami langsung memeluk Bapak dengan kehangatan. Di atas ranjang, Bapak berbaring, Bapak mencoba untuk berbicara kepada kami, dengan suara yang kecil. “Nak, Bapak tidak tahu, apakah umur Bapak akan panjang. Bapak berpesan untukmu, selalu jaga Ibu. Jangan membantah perintahya jika itu baik. Bapak ingin kamu bisa sekolah terus sampai lulus dan melanjutkan sekolah di pesantren. Hafalkan Al-Qur’an, Nak. Karena Al-Qur’an akan selalu menemanimu.” Kata-kata Bapak menyayat sampai ke hati. Tak lama kemudian, Bapak mengucapkan syahadat dan menghembuskan napas terakhir.
Aku berteriak, menangis sejadi-jadinya. Kupeluk Ibu. Ibu pun juga menangis. Dokter langsung memasuki ruangan Bapak setelah teriakan kami, dan memeriksanya kembali. Bapak telah meninggal. Meninggalkan kami berdua, aku dan Ibu.
Para warga turut membantu mempersiapkan prosesi pemakaman. Setelah persiapan pemakaman telah selesai, jenazah Bapak segera dikebumikan dengan kedalaman kurang lebih dua meter. Banyak para pelayat yang turut berduka cita dan berdoa akan kematian Bapak. Setelah pemakaman selesai, aku dan Ibu pulang.
Sesampainya di rumah, aku terus mengingat pesan terakhir dari Bapak. Aku akan selalu menjaga Ibu, terus belajar, melanjutkan sekolah di pesantren, dan menghafalkan Al-Qur’an. Aku tidak boleh terus-menerus bersedih hati atas kepergian Bapak dalam kehidupan ini.
Setelah beberapa hari, aku tidak masuk sekolah. Hari Senin, aku mulai masuk sekolah dan berkegiatan seperti biasanya. Tawa, canda, bercerita, bermain sama teman. Kulakukan dengan senang, walaupun terasa ada yang hilang dariku. Aku tidak boleh terus-terusan bersedih atas kehilangan Bapak yang sangat menyayangiku. Aku akan mewujudkan impian terakhir Bapak untukkku.
Beberapa bulan kemudian, tiba saatnya di mana hari ujian untuk kelas enam berlangsung. Sebelum hari ujian, aku dan teman-teman semuanya telah mempersiapkannya dan terus belajar. Hari ujian memang menegangkan. Hari demi hari, waktu demi waktu. Akhirnya Aku dan teman-teman lainnya telah selesai mengikuti ujian. Sekarang, tinggal menunggu pengumuman hasil ujian tersebut.
“Yeah!” Semua siswa kelas enam berteriak dengan keras dan terharu. Kami semua lulus dengan nilai yang bagus-bagus. Satu sekolah tidak ada yang tidak lulus. Tak lupa, kami bersyukur kepada Allah atas keberhasilan yang telah diperjuangkan oleh kami. Aku semakin deg-degan, karena hari ini pun bertepatan hari di mana pengumuman siswa yang lolos pada Pesantren Gontor. Beberapa hari sebelumnya, aku mendaftarkan diri untuk melanjutkan sekolah di Pesantren Gontor berdasarkan saran dari Bu Guru Cantik. Bersusah payah, aku mendaftar dan mengikuti tes di Pesantren Gontor. Namun, aku tidak putus asa, karena ingin membahagiakan Bapak dengan melanjutkan sekolah di pesantren dan menghafal Al-Qur’an.
Aku dan Ibu membuka surat hasil pengumuman dari Pesantren Gontor yang diberikan oleh Bu Guru Cantik. Aku kaget dan bersyukur untuk kedua kalinya, karena alhamdulillah aku diterima di Pesantren Gontor. Tak kusangka, aku bisa diterima di pesantren ini. Sebab, Pesantren Gontor memang pesantren yang terkenal dan terbaik. Diterimanya aku di pesantren ini merupakan ajang keberhasilan dan permulaan bagiku untuk bisa belajar mendalami agama dan menghafalkan Al-Qur’an, seperti pesan terakhir dari Bapak.
Beberapa hari kemudian, aku bersiap pergi ke Pesantren Gontor, diantar oleh sanak keluarga dan Ibu. Di perjalanan, aku berjanji kepada diri sendiri. Bahwa kelak, akan bisa menghafalkan Al-Qur’an. Akan kuingat selalu pesan yang diberikan almarhum Bapak sebelum pergi. Sampailah di Pesantren Gontor. Di pesantren, aku akan terus belajar dan belajar tanpa henti.
Seperti dari cerita tersebut, dapat kita ambil ibroh bahwa sebagai seorang manusia pasti akan mengalami kematian. Umur tidak ada yang tahu, hanya Allah-lah yang mengetahui segalanya. Maka, di dunia ini jangan berlagak sombong akan kenikmatan dunia. Kita harus terus belajar, apalagi belajar memperdalam ilmu agama. Karena belajar tidak akan berhenti begitu saja sampai akhir hayat. Jangan patah menyerah. Jika mengalami keterpurukan, marilah bangkit untuk tetap menjalankan kehidupan menjadi lebih baik lagi!
Karanganyar, 2 September 2021
Tentang Penulis
Namanya Amanda Zulma Ria, ia tinggal di Karanganyar, Jawa Tengah. Tepat 21 tahun usianya sekarang. Ya, ia lahir di Surakarta, 2 September 2000. Ia anak bungsu yang memiliki kakak laki-laki. Sekarang, ia sedang menempuh pendidikan S1 di UIN Raden Mas Said Surakarta dengan jurusan Pendidikan Agama Islam. Hobi yang sedang digemarinya sekarang adalah nonton film dan baca buku, terlebih buku novel. Namun, sekarang ia sedang mencoba hobi baru, yaitu menulis. Jika pembaca ingin lebih kenal dengan ia lewat sosial media, ia bisa dihubungi dari akun instagram @amzulma atau dari email amandazulmaria02@gmail.com.