Bolehkah Aku Menjemput Pelangi Di Matamu, Papa?

Karya : La Viola Atikah Rafli

Pelangi pelangi…

Sejak usia 5 tahun, aku suka sekali mendengarkan lagu “Pelangi-Pelangi”. Entah kenapa sampai saat ini, lagu itu menjadi lagu wajib setiap kali aku sedang duduk santai di taman belakang rumah.
“Permisi, mbak.” Suara Mbok Siti mengagetkanku.
“Iya, mbok? Ada yang bisa Amel bantu?”
“Anu, mbak. Anu itu e..e…”
“Duduk sini dulu, mbok. Jelasin pelan-pelan ya sama Amel. Mbok kok sepertinya ketakutan gitu toh?” Mbok dengan sigap duduk di bawah kakiku.
Aku yang spontan kaget langsung menggandeng tangannya dan mengajak beliau duduk bersebelahan denganku. Mata kami saling bertatapan sambil sesekali si Mbok memalingkan matanya untuk beradu tatap denganku.
“Tadi ada bapak-bapak, mbak. Katanya sih nyariin Mbak Amel. Berhubung Mbak Amel lagi duduk-duduk santai di taman, ya mbok suruh tunggu dulu. Nah, pas mbok kembali lagi mau ngasih air minum, bapaknya ninggalin surat, mbak. Mbok gak berani ngambil. Warnanya kusam dan banyak merah-merah seperti darah gitu, mbak.”
Aku yang seketika kaget dengan ucapan si Mbok langsung berlari ke pintu utama. Benar saja! Aku menemukan kertas itu lagi untuk yang kesekian kalinya. Persis di hari yang sama. Setiap hari Rabu minggu ke-3. Mendadak kepalaku jadi pusing dibuatnya. Dan… Bruk
Aku membuka mataku perlahan. Masih pusing rasanya dan ingin muntah. Kumencoba untuk duduk, tapi ternyata tanganku dipenuhi balutan perban dan selang infus di mana-mana. Pikiranku kacau, kenapa aku di sini?
“Tolong….Permisi…Siapapun yang mendengar saya, saya butuh penjelasan sekarang juga” Tak ada sautan suara sama sekali. Aku menteskan air mata dan mencoba mengingat-ingat apa yang sebelumnya terjadi.  Zonk! Aku mendengus kesal.  Aku tak ingat apa-apa. Kuremas kasur RS dan kupaksakan kakiku untuk melangkah meninggalkan tempat ini. Kembali kumendesah, kakiku tak bisa digerkkan sama sekali. Ada apa ini? Kejadian apa sebelumnya yang sudah menimpaku?
Tak lama, seorang bapak-bapak berdasi rapi dengan kacamata hitam dan angkuhnya menyapaku.
“Halo, anak muda! Sudah sadar kamu rupanya? Jalani saja hidup yang ada sekarang. Soal biaya RS tak usah khawatir, semua sudah kutangani,” ucapnya sambil melempar sebuah surat yang tergores tinta merah.
Belum sempat aku mengucapkan sepatah dua kata mengenai apa maksud dari ini semua, bapak itupun meninggalkanku sendirian. Iya, sama seperti saat kumembuka mata tadi. Aku menangis sejadi-jadinya hingga membuat suster yang akan mengobatiku lari tergesa-gesa.
“Kenapa, Mbak? Mbak sudah sadar rupanya. Apa yang Mbak butuhkan? Biar saya bantu ambilkan.”
“Saya ingin bertanya, Sus. Saya ini sebenarnya siapa? Kenapa saya ada di sini dan bapak-bapak tadi siapa saya?”
“Saya nggak bisa menjelaskan semuanya, Mbak. Jelasnya begini, Mbak setelah selesai menerima pelayanan dari kami hingga sembuh total, kami akan mengantar dan merawat Mbak di rumah yang sudah ditujukan oleh bapak-bapak tadi. Saya hanya menjalankan amanah dari beliau, Mbak. Untuk selebihnya saya tidak tau. Maafkan saya, Mbak.”

Tiga bulan kemudian

“Ini rumah saya, Sus?”
“Iya, Mbak. Bagus dan besar ya, Mbak? Saya dari dulu pingin banget punya rumah kayak gini, Mbak,” ucap Sus Wati dengan logat medhoknya.
“Kalau Sus Wati mau, Sus Wati bisa tinggal di sini sama Amel. Amel nggak kenal siapa-siapa, Sus. Amel merasa sendiri.”
“Beneran Mbak, gapapa? Matur nuwun lho ya, Mbak. Mugi-mugi Mbak Amel sehat selalu lan rezeqine lancar. Aamiin.”
“Aamiin, Sus.”
“Assalamu’alaikum. Ini saya, Sus Wati arahan Bapak Darmono dan Mbak Amel,” sapa Sus Wati pada lubang kecil di ujung pagar asli dari kayu yang sudah dipermak sedemikian cantiknya.
Seorang satpam membukakan gerbang dan melempar senyum pada Sus Wati. Namun, menatapku terkejut seolah-olah aku ini adalah hantu.
“Wa’alaikumussalam. YaAllah, cantik-cantik sekali teman si Mbok di rumah. Assalamu’alaikum, Mbak Amel. Ini pasti Mbak Amel, ya?” Aku hanya menganggukkan kepala dan menyodorkan tanganku untuk bersalaman dengan beliau.
“Saya Mbok di rumah ini. Saya di sini sejak Bapak Darmono pisah dengan Ibu Darmono, 3 bulan yang lalu. Mari masuk” Aku terkejut, 3 bulan yang lalu? Bukannya itu pertama kalinya aku membuka mata di RS dan bertemu dengan bapak-bapak itu.
“Jadi, namanya Darmono ya, Sus?”
“Iya, mbak. Pak Darmono namanya” Kupejamkan mataku selama Sus Wati mendorong kursi rodaku masuk menuju tempat peristirahatanku. Iya, kamar seorang ratu. Luasnya 10 kali lipat dari ruangan ICUku selama 3 bulan di RS.
“Sus, maafin Amel yaa, sudah ngerepotin Suster.”
“Iya, gapapa. Ini sudah tugas Sus Wati kok Mbak, buat selalu siap sedia dengan segala kebutuhan Mbak Amel. Jadi, Mbak Amel duduk manis saja di situ hehe. Ini semuakan amanah dari Papanya si Mbak”
Aku terkejut. “Maaf, Sus? Sus Wati bilang apa barusan?”
“Itu lho, mbak. Anu siapa namanya, si Bapak kan sudah otomatis jadi Papanya si Mbak Amel. Iyakan?” Aku nggak percaya perkaataan Sus Wati yang berbanding terbalik dengan perkataannya yang sebelumnya. Kupalingkan wajahku dan kupejamkan mataku berharap aku mengingat sesuatu.
Tak lama, Mbok masuk dan menyapaku. “Mbak Amel. Mbok namanya Mbok Siti. Salam kenal ya, Mbak,” sapa Mbok Siti sambil menaruh susu sapi murni di meja sebelah kasurku.
“Iya, Mbok Siti. Kata Sus Wati, nama aku, Amel.”
“Iyaa, kata Pak Joko juga begitu, mbak.”
“Pak Joko? Siapa lagi itu, Mbok?”
“Satpam yang membukakan Mbak Amel gerbang tadi,” jelas si Mbok sambil memijit tanganku dan melempar senyum. Aku membalas senyumnya.
“Mbok, ke mana Bapak Darmono?” Aku nekat untuk menanyakan hal yang terngiang-ngiang di kepalaku.
“Bapak sudah gak pernah kelihatan lagi, Mbak. Terakhir itu yaa 3 bulan yang lalu. Sejak cerai dari Ibu Darmono.”
“Lalu? Anaknya ke mana, Mbok? Amel butuh teman. Tiga bulan di ruang ICU bikin Amel bosen, Mbok.” “Bapak dan Ibu belum dikaruniai anak oleh Gusti Allah, Mbak. Itu setau, Mbok. Dengar-dengar sih ada mbak, sebesar Mbak Amel gini, tapi si Mbok belum pernah ketemu. Mungkin Pak Joko pernah, Mbak. Pak Joko sudah lama jadi satpam di rumah ini sejak Pak Darmono belum menikah dengan Ibu.”
Kuraih telpon rumah yang ada di meja dekat dengan susu pemberian si Mbok tadi. Kutekan nomor 1. “Halo? Pak Joko, ya?”
“I..iy..iyaa, Mbak. I.. ini Mbak Amel, ya?”
“Bisa temuin Amel di ruang tengah sekarang, Pak? Ada yang ingin Amel tanyakan. Terima kasih,” ucapku tanpa basa-basi. Sus Wati tengah menonton TV di depan kamarku. Pas sekali, batinku.
“Sus Wati..Amel minta tolong,” teriakku pada Sus Wati karena rumah ini sangatlah besar untuk berbisik-bisikpun tak akan terdengar.
“Tolong antarkan Amel ke ruang tengah ya, Sus. Amel ingin bicara dengan Pak Joko.”
Saat di ruang tengah, kutemui Pak Joko sudah duduk manis sambil memasang raut wajah cemas. Kucermati wajahnya sambil berkata, “Makasih ya, Sus. Sekarang Amel bisa sendiri kok,” ucapku sambil tersenyum.
“M..maari saya bantu, Mbak,” tawar Pak Joko.
“Terima kasih, Pak. Amel bisa kok. Amel cuman sebentar karena kepala Amel mendadak pusing sejak sampai dari rumah ini.”
“Iya, Mbak. Ada apa ya, Mbak Amel manggil Pak Joko?”
“Pak Joko kenalkan siapa saya? Apa hubungannya saya dengan Bapak Darmono? “ Belum sempat Pak Joko menjawab pertanyaanku, akupun terjatuh dari kursi roda dan tak sadarkan diri.
Aku terbangun dan menyadari kalau aku sudah di kamarku. Aku masih dengan pakaian kerjaku.
“Mbok…Mbok Siti….”
“Alhamdulillah, Mbak Amel sudah sadar. Matur nuwun, Gusti.” Mbok Siti memelukku sambil menyayangi pipiku berkali-kali. Aku merasakan hal yang aneh.
Iya, aku merindukan sosok ibu. “Surat tadi di mana, Mbok? Amel sudah siap membacanya.” Si Mbok menatapku heran. Aku menganggukkan kepala untuk meyakinkan si Mbok. Diberikannya surat yang berada di teras tadi. Kusentuh permukaannya. Persis seperti surat-surat sebelumnya.
“Mbok, bisa minta tolong ambilkan Amel kotak abu-abu di meja dekat TV?”
“Iya, Mbak.”
Aku membuka satu persatu surat dengan cover yang sama, coretan warna merah di setiap permukaan covernya. Ada yang benar-benar bercak darah, ada yang hanya goresan tipis lipstick. Saat kubuka, ternyata isinya sama semua. Lirik lagu yang selalu kuputar, Pelangi-Pelangi.
“Coba dibalik kertasnya, Mbak.” Kubalik semu surat aneh itu. Ada pecahan gambar yang tidak jelas. Kugabungkan semua surat yang ada. Aneh! Aku bersama Pak Darmono dan seorang perempuan ada di kertas itu. Apa maksud dari semua ini? Aku meneteskan air mata.
“Mungkin ini saatnya Mbak Amel tau semuanya. Pak Darmono sebenarnya adalah Papa kandung Mbak. Ini foto Mimi, Mbak. Mbak selalu pergi ke mana-mana sama Mimi. Bagaikan amplop dan perangko. Mimi suka sekali dengan lipstick warna merah, Mbak. Maka dari itu, setiap surat ini selalu ada bercak lipstick merah. Untuk surat yang terakhir ini…” Si Mbok menghentikan perkataannya.
“Tadi Papa mengantar surat ini dengan berlumuran darah, Mbak. Matanya penuh dengan darah. Si Mbok persilahkan menemui Mbak, tapi Bapak gamau. Mbok masuk mengambil air minum dan saat kembali, Bapak sudah menghilang. Sejak perceraian itu, Bapak menjadi stress dan suka berpakaian rapi seperti masa kejayaannya. Bisnis Bapak bangkrut, Mbak. Akhirnya Mimi dililit hutang juga dan pergi meninggalkan rumah untuk pamit.
Namun apa daya, Mimi ditabrak lari di depan komples. Maafkan si Mbok ya sudah menutupi semua ini dari Mbak. Mbak Amel mengejar mobil yang menabrak Mimi dan terjadilah seperti ini. Sejak kejadian itu, Bibi, Pak Joko dan Sus Wati diamanahi oleh Kakek Anwar untuk merawat dan merahasiakan ini semua. Namun, apa daya, naluri cinta Papa tidak kuat. Meskipun dengan keadaan jiwa yang terganggu, dia selalu berusaha mengirim surat ini dan melihat Mbak Amel dari kejauhan” Aku meneteskan air mata sambil mengusap surat-surat tadi dan mencium mata Papa.
Papa.. Amel rindu pelangi di mata Papa…Bolehkah Amel menjemputnya dan membawa Papa pulang ke rumah ini?