sinar

Yang Bersinar

Oleh : LiaZahra

viliahilda9@gmail.com

Masih di tempat yang sama, di bawah pohon rindang tempat biasa aku bertemu dengannya dan yang lainnya. Tapi kini hanya seorang bocah lelaki berumur sepuluh tahun yang menemaniku, dulu kami ramai duduk dan bersenandung dibawah pohon ini namun tidak lagi untuk sekarang. Bocah itu masih saja sibuk dengan ritual membuat ketapelnya, aku tidak membantu banyak hanya sedikit memberi pencerahan bagaimana ketapel itu bisa melontarkan batu dengan sangat jauh.
“Abang masih gak berubah ya,” ucapnya seketika disertai tawa cekikikan. Aku menoleh menunjukkan ekspresi datar seolah bertanya ‘apa?’ Lalu tangannya yang semula berkutat dengan karet ban bekas menunjuk pada salah satu buku yang kupegang. Aku mengikuti arah tangannya dan terhenyak lalu terkekeh sedikit.
“Ya kamu taulah, sejak pertama kita bertemu buku ini selalu berada di dalam tasku bukan?” jelasku padanya. Dia hanya kembali tertawa dan aku tidak menoleh lagi, cukup sebal dia menertawakanku.
Langit
Sinar
“Bukan begitu bang…” ucapnya sejenak berusaha mengendalikan tawanya.
“Tapi aku sudah berkali-kali melihat abang membawa buku itu. Aku saja baru membuka halaman depannya sudah muak, apalagi abang yang mungkin sudah membacanya ribuan kali. Oh tidak bisa kubayangkan. Sebegitu terobsesinya kah abang terhadap ruang angkasa? Terutama pada apa itu? Bintang apa…?” serunya dengan wajah menerka-nerka berusaha mengingat sesuatu.
“Sirius” potongku cuek. Tampak wajah bocah itu cerah seketika lalu disertai sedikit tertawa tetapi karena melihat wajahku yang sebal, dia lebih memilih melanjutkan ritual membuat ketapelnya.
Memang banyak orang yang mengatakan bahwa aku sangat terobsesi terhadap ruang angkasa terutama bintang Sirius. Di keramaian mungkin akulah yang paling aneh karena pernak-pernik bintang seperti melilit di tubuhku. Belum lagi warna atribut yang kugunakan mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ya apalagi jika bukan putih, biru dan merah. Itulah warna bintang Sirius yang kubaca di buku ensiklopedia, biru saat dia di suhu yang paling panas dan merah disaat suhu paling dingin. Kalau putih, itu warna alami yang aku suka.
Ritual setiap malam yang tak pernah kulewatkan, apalagi jika bukan melihat langit malam. Harap-harap bisa melihat bintang itu dengan mata telanjang. Tapi mungkin malam itu bisa menjadi yang terakhir, saat aku mulai berbalik badan ingin kembali masuk ke dalam rumah tampak Ibuku sudah di ambang pintu. Aku hanya menyengir dan menggaruk iseng kepalaku.
“Sudah jam berapa sekarang Alpha?” tukas Ibu padaku. Aku pun tak menjawab, karna aku tau sekarang adalah jam 3 pagi. Aku hanya melangkah masuk diiringi Ibu di belakangku.
“Al, kamu itu sudah besar. Sudah semester akhir. Bentar lagi kamu wisuda. Cobalah pikirkan hal lain selain bintang Siriusmu itu. Banyak hal lain yang bermanfaat selain berkhayal untuk bisa melihat bintang itu,” jelas Ibu panjang kali lebar. Selalu itu yang dibahas Ibu, aku sedikit merengut. Merebahkan tubuhku di atas kasur penuh bintang.
Apakah sudah pagi? batinku bertanya. Aku terlonjak kaget, kukucek mataku hingga berulang kali bahkan aku pun sampai menampar pipiku memastikan aku tidak berkhayal ataupun bermimpi. Masih dengan kaos oblong biruku dan celana panjang putih, aku berdiri dengan bebas di ruang angkasa tanpa bantuan oksigen.
Terlihat kumpulan cahaya biru bercampur putih disana. Aku ingin berjalan ke arah sana, tapi sebelum itu, cahaya itu datang dengan sendirinya. Sinarnya begitu terang, tanganku dengan spontan menutup mataku. Lalu tiba-tiba saja cahaya itu meredup seketika. Aku menurunkan tanganku, aku terlonjak kaget lalu mundur beberapa langkah.
“Ka…kamu siapa?” sergahku sembari menunjuk kearahnya ketakutan. Bibirnya tak bergeming hanya mengukirkan sebuah senyuman. Aku tak dapat melihatnya karna dia memakai topeng putih di separuh wajahnya. Aku kembali mendesak orang yang di hadapanku untuk memberi tahu siapa dia. Dia hanya tersenyum lalu mengukirkan tangannya di ruang angkasa. Ajaib, ukiran tangannya mengeluarkan sinar lalu menunjukkan sebuah kata ‘Canis’.
***
“Hei!” tepukan keras itu mendarat di pundakku, membuatku terjengat sedikit dan terlebih membuyarkan ingatanku tentang kejadian malam itu.
“Eh Bang Boni.” cengirku. Bang Boni ikut duduk di sebelahku. Aku hanya melirik sedikit dan kembali terfokus kepada buku ruang angkasa ku. Tiba-tiba bang Boni tertawa, aku bingung lalu menoleh ke arahnya.
“Kau mending tak usah baca buku itulah. Aku perhatikan bukan kau yang baca buku itu tapi buku itu yang baca kau,” jelasnya dengan tertawa.
 “Bang Alpha lagi galau tuh bang Bon,” sambar bocah kecil tadi lalu ikut-ikutan tertawa.
Bang Boni menatapku kembali, tangannya menepuk-nepuk pundakku. Tubuhnya yang kekar membuat tepukan itu terasa lebih keras. Bang Boni adalah orang yang baik walau memang penampilannya seperti preman pasar dan logat batak yang kental dari dirinya.
“Kau jangan terlalu memikirkan itu lagi. Dia akan sedih jika kau begini,” jelasnya pelan dan lembut, mengenang semuanya pada kala itu. Masa dimana dia dan aku mengenalnya.
“Woi, jangan lari kau!” teriak kasar lelaki itu.
Aku hendak menoleh ke belakang, dan kudapati seorang perempuan yang sedang berlari ke arahku. Brukkk… aku jatuh tersungkur dan dia pun ikut terjatuh.
“Kamu nyopet ya?” sergahku saat aku mulai bisa bangkit. Dia hanya menatapku sebentar dengan tatapan kesal, tampak dirinya sudah terburu-buru untuk melarikan diri. Atas inisiatifku, aku memegangi tangannya agar dia tidak bisa kabur.
“Apaan sih lo?! Lepasin!!! Gak usah ikut campur!” tukasnya dan melepaskan tangannya dari tanganku. Dan dia pun kembali berlari menuju arah pasar. Lelaki berbadan besar tadi terus mengejar perempuan itu. Aku diam-diam ikut mengejar keduanya dari kejauhan. Ternyata mereka sangat cepat berlari tapi akhirnya lelaki berbadan besar itu berhenti, kesal karna perempuan itu sudah hilang jejaknya ditelan keramaian pasar. Aku yang baru saja berusaha mengendalikan nafasku pun ikut kecewa. Lelaki itu pergi, memutuskan berhenti mencari perempuan itu dan akupun demikian.
Saat aku ingin berbalik, aku melihat perempuan itu keluar dari salah satu kios seorang pedagang di pasar itu. Matanya menjelajah seisi pasar, berharap tak menemukan lelaki berbadan besar tadi. Setelah itu dia mengucapkan terima kasih kepada pedagang disana dan beranjak pergi. Aku mengikutinya dari kejauhan, di tangannya masih terpegang jelas olehnya bungkusan itu. Tak lama, dia memasuki sebuah rumah kumuh diantara banyaknya kumpulan sampah. Anak-anak dengan pakaian lusuh keluar dari rumah itu dan berseru senang. Aku heran, kenapa perempuan itu memberikan bungkusan tadi terhadap anak-anak di dalam rumah itu. Aku berusaha melihat lebih dekat, tapi sialnya aku malah tersandung dan jatuh diantara tumpukan sampah.
Mereka yang sedang bercengkrama langsung melihatku. Aku berusaha bangkit dan menyingkirkan sampah-sampah itu. Seseorang sudah berada di depanku saat aku telah selesai membersihkan pakaianku. Aku melihatnya berdiri sembari melipat tangannya dengan tatapan tidak suka.
“Makanya lain kali jangan jadi penguntit,” sarkasnya terhadapku. Aku menatapnya kaget, apa dia bilang? Penguntit? Apa dia gak ngaca kalau dia itu pencopet, lihat penampilannya. Celana panjang robek, kaos oblong tak beraturan dengan jaket berbahan jeans, sepatu kets yang sepertinya belum dicuci berbulan-bulan, sangat kotor. Hanya wajahnya saja yang lumayan dari semua penampilannya.
“Apa lo lihat-lihat?!! Jangan-jangan lo psikopat ya, ngikutin gue terus mau nyulik gue!” serunya sinis. Aku semakin melongok dengan apa yang dia katakan. Dia menatapku begitu tajam dan tidak suka.
“Penampilannya aja rapi kayak orang baik-baik. Nyatanya penguntit dan mungkin juga psikopat,” serunya semakin menjadi-jadi.
“Daripada kamu, pencopet. Pas banget kayak penampilan kamu cuma muka kamu aja yang agak lumayan” balasku tak mau kalah. Perempuan itu semakin memanas, siapa suruh dia menuduhku yang tidak-tidak. Lagipula apa yang kuucapkan itu kenyataan. Anak-anak tadi semakin berseru ria disana, tidak berani melerai perdebatan kami. Cuaca pun semakin mendukung, Sang Raja Langit tampaknya semakin seru melihat perdebatan kami. Cuacanya semakin panas.
“Dengar ya! Buku terbaik belum tentu dari sampul yang bagus. Gue gak ngelakuin itu!” kecamnya kepadaku. Menunjukku saat dia menegaskan jawabannya kepadaku. Dia pun beranjak pergi tidak peduli terhadap anak-anak di rumah kumuh itu sedang memanggilnya.
“Bukannya itu berarti kamu kemakan omongan kamu sendiri?” teriakku. Dia dapat mendengarnya dan berhenti sejenak kemudian beranjak pergi. Aku tidak menyusulnya, aku memilih untuk mendekat kepada anak-anak di rumah itu. Mereka sepertinya anak-anak yatim piatu, terlantar dan putus sekolah. Umur mereka beragam, paling besar mungkin sekitar sepuluh tahun dan yang paling kecil sekitar empat tahun. Aku terpaku melihat mereka, Ibu benar seharusnya aku lebih memperhatikan dunia luar. Aku menghampiri anak perempuan yang berumur empat tahun tersebut. Dia begitu lucu dengan pipi tembamnya. Aku menyapanya, mensejajarkan diri dengan tinggi anak perempuan itu, dia hanya membalas dengan menampilkan gigi susunya.
“Bang, sebenarnya kak Jora bukan pencopet,” sergah anak lelaki sepuluh tahun itu tiba-tiba. Aku kembali berdiri dan menghampirinya dengan raut wajah penuh tanda tanya. Lalu bocah itu menjelaskan bahwa sebenarnya bang Boni lah yang mencuri bungkusan itu. Bungkusan itu berisi uang hasil jualan mereka dan ada beberapa nasi bungkus untuk mereka makan. Tapi dengan seenaknya bang Boni merampasnya, dan tentu saja perempuan tadi atau yang mereka panggil “kak Jora” tidak terima dan langsung merampasnya kembali. Bang Boni lah yang sebenarnya tidak tau diri, malah mengejar balik untuk merebut bungkusan itu. Aku paham lalu aku pamit kepada mereka dan mengatakan bahwa aku akan sering mengunjungi mereka.
Aku berjalan mengikuti kemana arah perempuan tadi pergi. Langkahku terhenti, terlihat dari kejauhan perempuan itu dengan lelaki berbadan besar tadi yang bernama bang Boni. Aku sedikit bisa mendengar apa yang mereka bicarakan dari kejauhan.
“Gue tau abang butuh uang untuk makan anak istri abang, maka dari itu, ini untuk abang. Gunakan itu untuk modal abang. Jangan bermain judi ataupun mencopet lagi terlebih merampas apa yang dimiliki anak-anak itu! Atau abang akan berurusan dengan gue!” tegasnya sembari memberikan uang beratus-ratus ribu. Lelaki itu mengucapkan banyak terima kasih dengan mata yang sudah berair kemudian dia beranjak pergi.
“Kamu ngapain kasih uang ke dia?” tanyaku sedikit berteriak, dia berbalik dan menyadari akan keberadaanku. Tatapannya masih sama, seperti tertumpuk rasa kesal bertubi-tubi kepadaku.
“Bukan urusan lo! Lagian lo ngapain masih ngikutin gue. Penguntit!” sindirnya tak suka. Aku menghembuskan nafasku pelan. Masih saja dia menyebutku penguntit.
“Oke, kita berdamai. Kamu bukan pencopet” seruku dengan menjulurkan tangan mengajaknya bersalaman.
“Tapi lo tetap P E N G U N T I T!” ejeknya semakin menjadi-jadi lalu beranjak pergi.
“Mau kamu apa sih?” tanyaku akhirnya.
“Jangan ikutin gue” teriaknya tegas.
Tapi aku tetap mengikutinya dari arah belakang. Dia menuju ke rumah kumuh tadi, menghampiri anak-anak dan mengajak mereka masuk. Aku tidak ikut masuk hanya memperhatikan mereka secara diam-diam. Aku melihat dia mengeluarkan gitarnya. Anak-anak itu tampak gembira dan mulai duduk dengan rapi. Aku baru sadar ternyata rumah ini adalah rumah singgah. Terdengar anak-anak itu mulai bernyanyi dengan ceria dan aku pun tertegun kaget. Lagu itu, lagu masa kecilku.
Ku pandang langit
Penuh bintang bertaburan
Berkelap-kelip
Seumpama intan berlian
Dan akhirnya aku pun masuk ke dalam rumah itu. Mereka terdiam lalu melihatku dengan tatapan intimidasi. Perempuan itu lantas meletakkan gitarnya, berjalan ke arahku. Dan tiba-tiba dia menarikku hingga berada di depan anak-anak tadi. Mengambil gitarnya dan mulai memainkannya kembali. Aku mengerti mereka mengajakku bernyanyi. Aku bersenandung ria begitu pula dengan dia dan anak-anak itu.
Setelah menyanyikan itu, anak-anak kemudian fokus mewarnai setiap gambar di buku yang sudah dibagikan. Dia hanya tersenyum dan sesekali bercengkrama dengan anak-anak itu. Dekorasi rumah ini lumayan, pas seperti rumah singgah dengan tumpukan buku dan alat tulis di atas meja dekat papan tulis.
“Kamu juga suka bintang itu?” tanyaku tiba-tiba. Dia menoleh kemudian tertawa.
“Ya, tapi tampaknya lo lebih fanatik dari gue,” ejeknya sembari melihat pernak-pernik bintang yang seperti melilit di tubuhku. Aku menyengir, menggaruk kepalaku tak gatal.
“Maafin gue, nama gue Jora,” ucapnya kemudian dan menjulurkan tangannya, aku menyambutnya lantas menjawab “Alpha”
Dia bercerita dia juga menyukai bintang Sirius sama seperti diriku. Namun satu hal yang membuatku sadar atas perkataan dia bahwa jika kita menyukai sesuatu, pembuktian itu tak harus mengumpulkan segala sesuatu tentangnya. Tapi akan lebih baik jika kita mengaplikasikan kelebihannya. Seperti bintang Sirius, dia adalah bintang yang paling terang. Tapi akan lebih baik bagaimana caranya agar kita bisa seterang dia. Dia memang indah dipandangan setiap manusia, maka dari itu bagaimana caranya agar kita indah seperti dia dipandangan setiap manusia.
Sebulan berakhir, selama itu pula aku sering berkunjung ke rumah singgah itu. Menggalang donasi baik itu berupa pakaian, buku, ataupun uang dari teman-teman kuliahku untuk mereka. Aku juga banyak berbagi kepada mereka ilmu tentang ruang angkasa, fisika dan lainnya. Terkadang Jora pergi dengan sendirinya, mengelilingi pasar, mengelilingi jalanan dan lainnya. Aku memperhatikan setiap kali dia menjelajah kota ini secara diam-diam. Aku salut padanya, dia membantu setiap orang yang membutuhkan pertolongan, memberi solusi atas setiap kesulitan yang dirasakan orang-orang dan menghibur setiap kesedihan yang menghampiri setiap orang. Dia hanya kembali saat kami sudah berganti jadwal untuk belajar sore di alam.
***
“Sore bang Al, bang Bon,” seruan anak-anak itu membuyarkan ingatan kami saat pertama kali mengenal Jora. Aku dan bang Boni bangkit lalu mempersiapkan semua alat tulis. Sekarang adalah waktunya belajar di alam. Di bawah pohon rindang ini. Pohon yang lengkap dengan ayunan dari ban bekas dan papan. Ada pula rumah pohon di atas sana, dibawahnya ada tempat duduk dari kayu yang berjejer lalu sebuah whiteboard. Disini anak-anak itu diajarkan untuk menghargai alam.
Namun disini pulalah, tawa dan senyumnya berakhir. Sore itu seminggu yang lalu, aku dan dia berdampingan bermain ayunan di bawah pohon rindang ini. Menunggu anak-anak itu selesai memanen  jagung di ladang sebelah. Dia memainkan ayunannya dengan ceria. Aku bahagia melihatnya. Dan tiba-tiba dia memanggilku, aku hanya berdehem.
“Tetaplah menjadi bintang Sirius,” ucapnya kemudian, aku menoleh dia hanya tersenyum. Dan aku pun tersenyum lalu mengangguk.
“Dan… kurangi kefanatikan lo itu. Beneran deh itu terang banget,” sindirnya untuk kesekian kalinya terhadap pernak-pernik bintangku. Aku mendengus sebal tapi pada akhirnya aku meng-iyakan permintaannya. Namun di satu sisi dia tertawa melihatku, sungguh menyebalkan. Anak-anak itu sudah kembali, aku bergegas untuk menghampiri anak-anak untuk mengemas jagung-jagung itu.
Bruukkkk… Jora terjatuh dari ayunan itu, aku dan anak-anak langsung menghampirinya. Hidungnya sudah mengeluarkan darah. Kami membawanya ke rumah sakit tapi ternyata sudah terlambat, Jora telah pergi. Anak-anak menangis, bang Boni pergi menjauh dan aku terdiam walau dalam hati terdalam aku sangat menangis. Ternyata selama ini Jora mengidap Leukimia stadium empat, dia menyembunyikan semuanya jauh sebelum aku mengenalnya.
***
Bocah lelaki sepuluh tahun tadi menarik lengan bajuku. Lagi dan lagi membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan menanyakan ada apa. Dia menjawab bahwa anak-anak yang lain sudah beranjak pulang. Aku bangkit dari dudukku, sedari tadi hanya bocah itu yang mengajari mereka. Membuat ketapel kemudian mempraktikkannya di lapangan. Anak-anak itu pamit, bertos ria denganku dan bang Boni. Ini adalah yang ke seminggu setelah kepergian Jora. Tapi tampaknya anak-anak dan orang-orang di kota ini belum bisa menerima kepergian Jora, masih ada duka yang menyelimuti.
Aku beranjak pulang setelah membereskan semua buku dan meletakkannya kembali di rumah singgah. Aku sampai di rumah malam hari, aku lelah dan langsung menghempaskan tubuhku di kasur penuh bintang. Mataku begitu saja terpejam melupakan tubuhku yang menjerit untuk mandi.
“Hai…” aku terbangun saat mendengar suara seorang perempuan dan saat kulihat dia sedang melambai ke arahku. Dia perempuan yang sama, Canis. Masih dengan topeng di wajahnya dan gaun putih selutut di tubuhnya. Dia tersenyum lagi namun kali ini tampak lebih ceria. Aku tersenyum kaku membalasnya, dia mengajakku berkeliling, melihat berbagai bintang mulai dari yang terbesar hingga terkecil. Aku takjub, dan pada akhirnya aku melihat bintang Sirius.
“Kamu tau, itulah rumahku” jelasnya lalu menunjuk bintang Sirius yang bersinar biru dipadu warna putih. Aku tertegun, jadi dia ini bintang Sirius. Diapun mengangguk. Apakah aku bermimpi? Aku memukuli pipiku berulang kali, berusaha memastikan apakah ini mimpi atau sungguhan. Dia tertawa melihat tingkahku kemudian memegang tanganku.
“Ini kenyataan. Kamu tidak perlu takut. Ini,” dia memberikan sebuah bintang berwarna biru di tanganku. Aku tidak bisa berkata apa-apa. Lalu dia pun membuka topengnya, seketika aku tidak percaya dengan apa yang aku lihat.
“Jo…ra” ucapku terbata. Diapun tersenyum
 lalu mengukirkan tangannya di ruang angkasa dengan tulisan bercahaya ‘Canis Majora’.
“Tetaplah menjadi yang bersinar, Alpha Majoris” bisiknya pelan dengan memegang kedua tanganku. Dan seketika dia pun hilang bersama ribuan cahaya bintang yang lainnya. Aku tersentak dan terbangun, mataku menatap langit-langit kamarku yang penuh dengan planet ruang angkasa. Tanganku seperti memegang sesuatu, apalagi jika bukan bintang Sirius. Aku tidak bermimpi.
-SELESAI-

Mau menikmati karya anggota OKI spesial edisi hari pahlawan ada di sini atau lainnya bisa berkunjung di sini.