Berita dari Alam

Muhammad Permadi

Debur pantai datang bersama dengan awan hitam. Di tempat ini jika hari libur akan dipenuhi suara riang para anak manusia, yang sepanjang hari sebelumnya hanya ditemani kebisingan kota. Cemara pantai bergoyang hebat, karena angin laut dan badai kecil pertanda akan hujan.“Apa yang sedang kamu lamunkan, nak?“Tidak ada apa-apa yah, hanya sekadar menikmati angin laut.”“Tidak perlulah kamu berbohong, matamu kosong. Tak ada yang kamu pandangi, tak ada yang kamu lihat.”
“Apakah mata harus fokus, baru dia dikatakan melihat, yah?”“Terserah kamu saja, bak. Hari sudah mau hujan, ayo cepat masuk ke rumah.”“Nanti saja, yah. Ulun menunggu hujan turun. Agar awan hitam itu tak sia-sia memberikan pertanda.”“Kamu sedang berbicara apa? Ayah sama sekali nggak paham.”“Ulun, sedang memikirkan keterikatan bumi dan isinya, yah.”“Wah, pemikiranmu berat sekali, nak. Ayah masuk dulu, jika hujan datang, kamu masuk ke rumah!.”
Anak itu mengangguk saja. Dia kembali kepada lamunannya.Pantai ini menuju gelap, padahal ini baru sore hari, baru sekitar pukul setengah lima. Sepertinya akan terjadi hujan yang sangat lebat. Tak ada pengunjung di pantai ini terlihat, hanya beberapa warga sekitar yang membenarkan terpal-terpal di warung mereka agar tidak terbang ditiup angin.
Benar pertanda yang dikabarkan awan hitam. Tak lama kemunculannya, di pantai ini turun hujan dengan lebatnya. Cemara pohon ikut mengamuk ke kanan dan kiri menahan tusukan air hujan. Semua warga memasuki rumahnya, menutup pintu dengan rapat.Hanya anak ini yang sedari tadi tak beranjak dari lamunannya. Tak menghiraukan lagi datangnya hujan.“Nak, ayo masuk ke rumah. Hujannya lebat sekali.”
Sang ayah memanggilnya dengan berteriak. Dia tak menghiraukannya, ayahnya pun berlalri menjemputnya.“Apa yang sebenarnya yang kamu lakukan ini, nak? Ayah sama sekali tak mengerti.”“Ulun bingung, yah. Jika alam memberikan pertanda untuk semua yang akan dilakukannya. Mengapa manusia tak diberikan alam pertanda? Apakah alam sudah membenci manusia?“Maksudnya apa, nak?” sang ayah mengusap wajahnya yang ditimpa cucuran hujan.
“Hujan datang, sebelumnya datang awan mendung. Air laut pasang datang, sebelumnya ada pertanda dari bulan. Bahkan bencana sekalipun datang, sebelumnya ada kawanan hewan yang berlari ke arah yang aman. Mengapa manusia tak diberi pertanda akan sebuah kejadian besar yang menimpa dirinya?”“Semua sudah diceritakan alam, nak. Semua sudah diberi pertanda oleh tuhan. Tidak ada yang mendadak.“Maksudnya apa, yah? Ulun tidak mengerti.”
“Alam dari kamu lahir telah berbicara denganmu, lewat kehendak tuhan. Dia menjaga dan melindungimu tetapi sejak awal kita menghiraukannya, hingga alam bawah sadar kita pun ikut melupakannya. Hingga jadilah kita yang berpisah diri dari komunikasi alam. Kita lebih senang menghabiskan waktu dengan sesama manusia, game dan kesibukan lainnya. Tanpa meluangkan waktu barang sedikit dengan alam, nak.”
“Jadi sebenarnya kita sendirilah yang menjauh itu, yah?”“Iya nak, alam masih seperti dulu. Tak pernah berubah, dia masih ramah dengan kita. Manusia, alam dan makhluk hidup lainnya itu saling terikat satu sama lain. Apa yang kita lakukan hari ini juga berpengaruh besar terhadap alam dan sekitarnya.
Anak itu terdiam, meresapi kata-kata ayahnya.“Kematian ibumu sudah menjadi takdir yang tak dapat diindahkan, alam tak dapat berbuat banyak, itu sudah menjadi ketentuan tuhan. Sekarang mendekatlah dengan alam, maka kamu akan menjadi lebih dekat dengan Tuhan.
Anak itu memejamkan mata.Mengadahkan wajahnya ke atas,Merentangkan tangannya dan memusatkan pendengarannya.“Alam berbicara yah…,” anak itu berteriak dengan riang. “Tetapi melalui bahasa yang tak ulun mengerti.”“Itulah suara alam, dia tak berbicara lugas, kamu tak akan pernah mengerti maksud sebenarnya. Tetapi seiring waktu kamu akan mengerti maksudnya, asal hati kita peka.”“Aku berjanji untuk terus berbicara dengan (nya), yah.”
“Itu berarti kamu harus mengurangi kekhawatiranmu tentang dunia yang kamu jalani. Karena suara alam tak akan hadir jika hati tidak tenang, anakku.”“Iya yah. Aku sekarang mengerti.”Hujan mendadak berhenti, langsung digantikan oleh mentari yang akan terbenam.“Alam baru saja memberikan pertanda, yah”“Apa pertandanya, nak, kalau Ayah boleh tahu?”“Akan datang kebahagiaan, ketika kesedihan berlalu.”Anak itu tesenyum lalu berjalan beriringan dengan ayahnya memasuki rumah.
Cerita menarik lainnya bisa cek di sini atau di instagram omah karya Indonesia