sinar

Romantisme Hujan Rindu

Ketika langit biru pagi berubah menjadi gelap. Aku hanya bisa berteman dengan sepi dan sunyi. Juga kenangan tentangmu yang kini pergi.
Langit benar-benar pekat, membuatku terjerat. Tak lama, rinainya turun mengeroyok bumi, membuat basah tanah-tanah, semesta seketika terasa sunyi.
Rintikan hujan yang mengguyur pagi ini, membuatku teringat pada setengah windu yang lalu.
Kutatap dengan pandangan nanar, sebuah gedung klasik di seberang sana. Bersama rintik hujan yang kian deras, aku menyelami lagi segores jejak perjalanan. Perjalanan yang membuatku mampu mengenali, siapa diriku dan apa tujuanku ada di sini. Kenangan itu telah memudar, setelah aku meninggalkan gedung klasik itu selama hampir 4 tahun lamanya karena mengejar segala rencanaku yang lain. Kini, semua itu harus terbuka kembali, hingga luka lama yang pernah ada pun kembali mampir tanpa permisi.
Setelah hujan itu redah, kurasakan kesejukan anginnya yang menghembus tiap tiap wajahku, aku tersadar benar-benar sadar bahwa kini aku telah kehilangannya.
Rintik hujan kembali menyapa.
Disudut ruang ditemani kopi ku menyambutnya
Semakin lama ku hanyut dalam suasana.
Ketika ku tersadar.
Ternyata ia hanya Sebentar singgah.
Sekedar mengisi tidak untuk memiliki.
Ia hanya sebagai tamu rupanya, salahku juga ingin dia menetap.
Bagaimana mungkin aku merasa kehilangan padahal tidak memiliki, sejejak kebersamaan yang terjalin tanpa sadar merasuk dalam relung hati, mencari tempatnya sendiri, meminta untukku tidak berhenti.
Mengapa terlalu sebegitunya ? Jawabannya hanya satu, dia terlalu berarti.
Kisah yang bermula ketika aku harus berpindah universitas. Ketika ditanya apakah aku bahagia dengan hal itu ? Aku akan menjelaskan bahwa aku tak pernah bahagia. Bagaimana bisa, proses kuliahku dahulu yang sudah setengah jalan dan sesuai dengan minatku, tiba-tiba harus terputus hanya karena masalah pencabutan beasiswa secara mendadak. Aku yang ketika itu sudah semester lima harus memilih, tetap berkuliah di tempat yang sama tetapi mengeluarkan dana yg cukup besar, atau mencari beasiswa baru di perguruan tinggi lain.
Ya, aku bukanlah manusia yang terlahir di keluarga berada. Ayahku telah meninggal dunia sejak aku SMA, ibukku awalnya seorang ibu rumah tangga. Namun untuk menyambung hidup, kini beliau berjualan berbagai macam gorengan yang dijajakan di depan rumah maupun di drop ke berbagai rumah makan. Aku anak bungsu dari empat bersaudara.
Dua kakak tertuaku sudah berkeluarga, sementara satu kakakku memilih putus kuliah dan bekerja. Aku pun ketika harus keluar dari perguruan tinggi lamaku itu, sudah memilih jalan untuk bekerja mengikuti kakak termuda ku itu. Namun ibu dan semua kakakku menolak keras keinginanku, karena mereka menganggap aku paling pintar diantara empat saudaraku yg lainnya, sehingga aku wajib untuk jadi sarjana.
Mau bagaimana lagi, maka akhirnya aku memilih jalan untuk mengundurkan diri dari perguruan tinggi lama ku, dan aku mencoba mencari beasiswa lagi. Setahun berselang dengan izin Allah, aku kembali mendapatkan beasiswa full di sebuah perguruan tinggi. Namun tetap ada berbagai MOU yang harus di patuhi. Itulah yg membuatku menjadi bingung dan tak tahu arah, karena aku tak paham tentang apa yang harus aku lakukan dengan berbagai persyaratan itu. “Setelah lulus harus pengabdian selama minimal satu tahun, dengan berdasarkan pada konsentrasi ilmu yang sudah ditekuni di dalam program studi,” ujarku pada Maya, sahabatku.
“Hey, apakah kau pikir kamu akan sendiri dalam menjalankan itu ? Teman-teman satu asramamu pun semuanya mengalaminya, dan kalian akan jadi satu tim dalam satu program studi.”
“Tapi aku nggak suka dengan progran studi ini, dan aku juga tidak suka dengan teman-teman satu prodiku yang tinggal di asrama,” ujarku berapi-api.
Maya hanya tersenyum simpul. Berusaha keras dia menjaga sikap supaya aku tidak sampai terbawa emosi.
“Jika kamu terus-terusan seperti itu, menuruti hawa ego mu, maka selamanya kamu tidak akan menemukan penyelesaian akan apa yang harus kamu lakukan di sini,” ujar Maya dengan menghembuskan nafas perlahan. “Kamu harus bisa melihat apa ilmu yg kamu dapatkan di situ, walau kamu tidak menyukainya. Resapi segala ilmu-ilmu itu dan berusaha temui sisi-sisi indahnya. Karena setiap ilmu itu indah dan bermanfaat, segala ilmu mempunyai hikmah.
Pikirkan itu! Satu lagi, ingat harapan-harapan keluargamu, terutama ibumu yang banyak mengharapkan kesuksesan untukmu. Kamu dapat beasiswa, suatu rezeki dariNya yang membuat harapan ibumu semakin besar kepadamu agar kamu menjadi orang yang berjaya. Tegakah kamu mengecewakannya hanya gara-gara kau terlalu lemah menghadapi hawa egomu itu ?” ujar Maya panjang lebar, yang membuat diriku tak tau lagi harus menyangkal apa. Percakapan itu, membuatku tersentak. Seginikah besarnya ego ku, sampai mengkerdilkan keluasan dan kejernihan pola pikirku ?
Setelah percakapan itu, aku sudah tak pernah lagi berani mengajaknya berbicara tentang masalahku itu. Aku malu, sebagai lelaki terlihat tidak bijak dalam menghadapi masalah. Sesekali aku berjumpa dengan Maya, hanya sekadar menanyakan tentang tugas kuliah dan berdiskusi materi-materi di perkuliahan. Karakter ketegasan dia sebagai wanita, keluasan pola pikirnya, yang entah membuatku jadi larut pada perasaan yg seharusnya tidak terlalu sekuat ini. Aku mengetahui karakter itu sejak percakapan itu, ketika aku tak sengaja curhat dengannya. Siapa sangka, itu yang menjadi awal aku mendapatkan benih rasa jatuh cinta darinya, lewat ketahuan ku terhadap karakternya.
Namun, benih cinta yang tertuai tak bertahan lama. Cinta yang saling menyayangi dan melengkapi tak lagi seperti itu. Hanya ada tangis di tiap hari. Hanya duka dan pilu yang kurasakan tiap hari. Aku tahu, jika aku mulai memberi hati, maka aku harus siap merasakan pedihnya patah hati. Aku sadar, cinta tak harus dipaksakan. Aku harus menerima resiko apa yang telah kutuai selama dengannya.
Mayaku sekelebat rasa yang melintas. Ada yang lebih menuntut waktuku lebih dari keberadaannya. Rasa tau harus ke mana. Ia sadar di mana bisa singgah. Aku pun berharap ia masih bersedia setelah semuanya usai.
Apakah benar membenci adalah tanda bahwa nurani kita masih menyayanginya? Masih memikirkannya?. Jika mengulik kisah diri, akhir-akhir ini. Aku rasa itu, iya. Entah kenapa. Orang yang aku benci, memiliki jalan untuk berhubungan lagi denganku. Sungguh ironi. Mungkinkah ini teguran dari Tuhan agar aku memaafkan dan mengikhlaskan?. Entahlah. Aku hanya mulai lelah hati. Semoga ada hikmah atas semua ini.
sinar
Rain drops texture on window glass
Namun terkadang aku kembali ragu. Sudah benarkah yang aku lakukan ini? Memberinya kesempatan kedua sedang hati belum sepenuhnya melupakan perkataan menyakitkan yang pernah diucapkannya dulu. Apakah kesempatan kedua yang kuberi bisa menjamin ia tak menyakitiku di masa depan. Oh Allah, sungguh aku bingung.
Memberikan kesempatan kepada orang untuk memperbaiki diri bukan lah hal yang mudah namun apa salahnya jika kita mencobanya. Walaupun sulit itu harus dilakukan oleh setiap insan manusia. Tidak selamanya yang jahat akan terus menjadi jahat, tidak selamanya yang menyakiti akan terus menyakiti, dan tidak ada yang akan kekal abadi di dunia ini pasti akan ada perubahan di setiap kesempatan.
Untuk merubah semuanya menjadi lebih baik. Serahkan semuanya hanya kepada Allah SWT. Jangan bingung lagi. Apapun sikap yang kita ambil semuanya sudah diatur oleh yang Maha Kuasa. Tinggal kitanya saja. Yakinlah bahwa kebaikan akan pulang ke pemiliknya. Begitu juga dengan kejahatan. Tak perlu ragu. Putuskan dan lakukan.
Cerita disusun berkolaborasi oleh :
1.Sherry Melda Ruzana
2. Nur Sheila A
3. Githa Paradikma M.I.L
4. Dinda Divya
5. Cut arya
6. Raudatul Jannah
7. Metanisa Rofi Hamtina
8. Febrian Afrida
9. Iren Nizah Pradefi
Edisi games Omah Karya Indonesia. Mau tahu tips menulis fiksi bisa cek di siniĀ tips menulis fiksi.