“Cintailah seseorang dengan biasa saja, serahkan semua pada kuasa allah karena kita tidak tau siapa yang benar-benar terbaik untuk dirimu.”

***

Hari ini seperti biasanya, berangkat ke kampus naik motor kesayangan. Kulewati jalan kampung yang sekitarnya masih asri dengan persawahan. Tanpa sengaja, mataku melihat sebuah rumah sederhana yang dihuni oleh seseorang yang sedang kucintai dan dia ternyata berada di depan rumahnya sedang memanasi motornya. Karena dia tetangga sekaligus kakak tingkat di kampusku maka kusapalah.

“Misi, kak …,” ucapku sambil tersenyum manis.

“Ya,” jawabnya sambil tersenyum juga.

“Masya Allah, senyumannya indah sekali,” ucapku pelan sambil melamun karena kaget dengan senyumannya. Padahal sudah biasa mendapat senyumannya, tapi tetap saja reaksiku selalu begini. Karena terlalu asik melamun, motorku mulai oleng karena tidak melihat adanya batu di tengah jalan dan akhirnya motor ini jatuh beserta dengan diriku.

“Aduh!” ucapku refleks.

“Eh, Nai, gapapa? Kok bisa jatuh segala, sih? Kasihan tuh badannya jadi lecet” omelnya.

Malu sekali diriku, bisa-bisanya jatuh di depan dia. “Hihihi biasalah kak, kepikiran sesuatu,” jawabku.

“Ya udah, bareng sama Kakak aja, yuk! Daripada nanti kenapa-napa lagi,” ajaknya.

“Eh, gak usah, udah sering ngerepotin Kakak,” tolakku pelan.

“Ngerepotin apaan sih, yuk, motornya taruh di rumahku aja,” ucapnya lagi dengan nada sedikit paksaan.

Pada akhirnya, aku mau, karena sayang juga gak dimanfaatin buat boncengan. Awalnya ditawari untuk masuk ke rumah. Namun, aku memilih untuk menunggu di luar saja. Diboncengin berasa punya suami yang siap anter. Akhirnya sampai juga di parkiran kampus, banyak juga pandangan yang tertuju ke kita, bukan salah lagi sih. Dia memang termasuk jajaran cowok idaman para perempuan.

“Makasih, ya, Kak,” ucapku.

“Iya, santai aja, nanti kalau pulang chat kakak dulu ya,” jawabnya.

“Oh, iya, Kak, siap.”

Aku pun langsung melarikan diri karena tidak kuat berada di dekatnya. Karena ini masih ada waktu sekitar 30 menit, aku memilih pergi ke kantin terlebih dahulu untuk mengisi perut kosongku. Saat sedang enak-enaknya makan, tiba-tiba sahabatku yang cerewet ini datang.

“Ui, kamu tadi berangkat bareng sama Kak Putra, kan?” tanya Dinda.

“Kok tau?” jawabku.

“Oh, iya, dong. Mata-mataku, kan ada di mana-mana,” jawabnya dengan nada pamer. Walaupun sering begitu, tapi dia juga yang selama ini masih menetap.

“Eh, beneran kamu bareng lagi? tanyanya lagi.

“Iya,” jawabku malas.

“Alasannya apa kali ini?”

“Hehehe. Tadi jatuh dari motor waktu habis lihat senyumnya,” jawabku nyengir.

“Hih, bisa-bisanya, kamu. Padahal udah biasa lihat,” ucapnya dengan nada malas. Mau gimana, ya? Kalau jatuh cinta pasti akan pernah terpesona walau sering melihatnya, kayak seperti takjub gitu.

Waktu sebentar lagi menunjukkan jam kelas, aku dan Dinda pun memilih pergi dari kantin. Ya, kita satu jurusan dan satu kelas juga, alhamdulillah-nya begitu. Saat perjalanan ke kelas, tiba-tiba Dinda ngingetin sesuatu.

“Eh, Nai, jangan lupa harus jaga hati, jangan terlalu baper, ya sama Kak Putra,” nasehatnya pelan. Ini yang paling suka dari dia walaupun orangnya cerewet tapi sangat perhatian.

“Hehehe. iya, insya Allah enggak, kok. Aku udah ikhlas kalau dia bukan takdirku,” ujarku tenang.

“Nah sip, gitu tah,” jawabnya sambil tertawa pelan dengan merangkul pundakku.

***

Jam kuliah akhirnya selesai juga, aku pun langsung menuju ke masjid kampus untuk menjalankan salat Zuhur. Selesai salat, aku duduk di teras masjid sambil mengabari Kak Putra. Mungkin sekitar 5 menit, Kak Putra membalas pesanku dan katanya disuruh nunggu sebentar karena dia ada urusan. Akhirnya, aku menunggu saja di gazebo sambil membuka sosial media. Karena terlalu asik main HP, ternyata Kak Putra sudah ada di depanku.

“Nai, serius amat main HP-nya,” ucapnya tiba-tiba bikin kaget.

“Eh, loh Kakak kok udah di sini aja, dari kapan?” ucapku bingung.

“Udah daritadi. Kamu asik main HP sih,” jawabnya.

“Hehehe, maaf, ya, Kak,” ujarku malu.

“Ya udah. Pulang, yuk! Nanti kesorean,” ajaknya.

“Yuk!” jawabku semangat.

Sebelum perjalanan ke rumah, kita mampir bentar buat makan siang. Kita membahas apapun itu, tidak pernah kehabisan ide. Tiba-tiba saat kita mau pulang, dia mengelus kepalaku. Salah tingkah aku jadinya nih. Baru kali ini, Kak Putra mengelus kepalaku, apalagi di depan banyak orang. Sampai di rumahnya, aku langsung ambil motorku dan pamitan untuk pulang ke rumah. Aku tidak tahan dengan kejadian tadi, masih terngiang-ngiang di kepalaku. Sampai di rumah pun langsung rebahan di kasur sambil gigit selimut karena masih saja ingat dengan kejadian itu. Karena tidak tahan dengan rasa ini, aku pun langsung telpon Dinda.

“Din?”

“Apa?”

“Hohoho. Aku mau cerita. Tadi kan kamu taulah aku bareng Kak Putra. Nah, waktu pulang dari makan siang, tiba-tiba Kak Putra elus-elus kepalaku. Aku jadi salting nih gara-gara itu,” aduku.

“Hah? Demi apa kamu digituin? Biasanya sih kalau cowok begitu tandanya dia sayang kamu. Eh tapi, jangan dibawa perasaan loh,” ucapnya sambil menegur.

“Udah terlanjur Dinda-ku Sayang. Udah bawa perasaan ini,” jawabku.

“Huhuhu. Aku gak mau tanggung jawab pokoknya. Awas aja nanti cerita sakit hati lagi,” ucap Dinda.

“Terus, ini gimana dong?” tanyaku.

“Udah dibilangin serahin ke Allah aja, kalau nanti memang takdirmu juga bakal sama kamu, tenang aja udah, ikhlas-ikhlas, Sayang,” nasihatnya lagi.

“Huhuhu. Makasih, ya. The best, deh kamu pokoknya.”

“Gini aja bilangnya gitu,” jawabnya malas.

“Hehehe.”

Kita ngobrolin apapun itu, mungkin ada dua jam-an kita telfonan dan ya, kita harus mengakhiri obrolan karena dia ada urusan mendadak. Aku yang memang masih galau akhirnya memilih untuk salat dan berdoa.

***

Tahun ke tahun sudah terlewati, aku dengan rasa yang masih ada. Bedanya sekarang aku lebih ikhlas menerimanya dan ya, sampai saat ini dia belum mengetahui rasaku ini. Sungguh ajaib, bisa memendam perasaan bertahun-tahun tanpa diketahui seseorang pun, kecuali sahabatku. Hari ini, aku sedang duduk santai di teras belakang, melihat sawah dan pemandangan yang indah dipandang. Tiba-tiba, Ibu memanggilku untuk masuk ke dalam karena ada tamu. Gak biasanya, ada tamu aku disuruh ke dalam. Saat menuju ke ruang tamu, aku kaget ternyata yang datang keluarganya Kak Putra. Ada apa ini? Kok mereka ke sini ya? pikirku.

“Sini, Nak,” ucap Bapak menyuruhku duduk di sampingnya.

“Emmm, ini ada apa, ya?” tanyaku penasaran.

“Kedatangan kita ke sini berniat untuk melamar kamu, Nak Naily. Putra bercerita jika dia mencintai dirimu. Maka dari itu, saya sekeluarga datang ke sini. Mungkin kamu merasa kaget dengan kedatangan mendadak ini, tetapi bapak ibu Nak Naily sudah tau,” jawab ayah Kak Putra.

Hah, apa? Ayah Ibu kok gak bilang sama aku? pikirku. Pikiranku sangat bercabang memikirkan semua ini.

“Gimana, Nak Naily, maukah terima lamaran ini?” tanyanya ibu Kak Putra.

“Emmm gimana, ya? Ya, saya terima dengan ikhlas lamaran ini.” Awalnya aku ragu, tetapi saat melihat Ayah dan Ibu mengangguk kecil sambil tersenyum serta melihat wajah Kak Putra yang sangat berharap akhirnya aku menerimanya. Apalagi, dia yang memang aku tunggu kedatangannya.

“Alhamdulillah,” ucap syukur semuanya. Apalagi Kak Putra, wajahnya langsung lega.

“Sebaiknya kapan kita mengadakan ijab kobulnya?” tanya Ayah tiba-tiba.

“Gimana kamu dua minggu lagi? Semua sudah hampir siap juga persiapannya,” ucap ayah Kak Putra yang bikin aku kaget. Loh, ternyata mereka sudah menyiapkannya, kalau misal tadi aku tolak, terus persiapannya gimana ya?

“Apa gak terlalu cepat,” ucapku spontan karena kaget.

“Tidak, Nak Nai. Cepat lebih baik, gimana? Mau ya?” rayu ibu Kak Putra.

“Ya sudah, saya ikut semuanya saja,” jawabku ikhlas.

Malamnya, aku mengabari Dinda. Dia pun merasa kaget dengan ceritaku ini. Dia bahkan datang ke rumah malam-malam hanya untuk mendengar ceritaku secara langsung.

***

Hari pernikahanpun tiba, aku merasa takut sekali. Takut jika tidak berjalan dengan lancar. Namun, semua itu hanya pemikiran negatifku. Pada akhirnya, aku telah sah menjadi istri Kak Putra, seseorang yang aku kagumi sejak di bangku kuliah. Seseorang juga yang selama ini aku sebutkan di setiap doaku. Aku percaya sekarang dengan jodoh di sepertiga malam yang selama ini aku lakukan. Bersyukur karena dia memang jodohku.

 

Kudus, 30 Agustus 202!

 

 

Hai, aku Meyrisa, lebih suka dipanggil Mey. Aku berasal dari Kudus dengan zodiak gemini. Seorang penulis amatir yang mencoba eksplor dunia kepenulisan dan akhirnya sangat menyukai kegiatan ini. Seorang penulis yang menyukai warna biru dan juga hujan namun tidak suka jika kehujanan.

 

pict by https://www.freeimages.com/photo/mosque-1641766