Aku dan Thalasophile
Kaki mungil itu berlari-lari kecil menuju gulungan ombak yang juga berusaha mendekatinya. Sudut bibirku tertarik ke atas menyaksikan pertemuan dua makhluk ciptaan-Nya itu. Bak sebuah adegan romantis dalam sebuah film. Ketika sejoli yang saling mendamba akhirnya bisa bertukar rindu ketika bertemu.
“Hei, Olan. Kau lihat dia? Malaikat kita kini sudah mahir melangkahkan kaki mungilnya. Dia benar-benar kloninganmu, Lan. Aku bisa melihatmu dalam diri Mike. Serakah sekali ya, kamu. Aku bahkan sama sekali tak menemukan diriku dalam sosok Mike.” Preambule monologku sore itu. Salah satu kebiasaan paten ketika aku mengunjungi tempat favoritmu ini.
“Bahkan kecintaannya pada laut pun sudah kau turunkan padanya sejak dini, Olan. Laut yang berencana kubenci karena telah merenggutmu dariku. Ternyata tidak bisa bertahan lama. Karena sejak Mike bisa berjalan, tangan kecilnya selalu menarik-narik bajuku sembari berucap dengan bahasa bayinya ….
“Ma … yo … ut (Ma, ayo ke laut).”
Beberapa kata yang tiba-tiba keluar dari mulut Mike kapan waktu itu seperti menamparku. Semenjak kepergianmu, aku selalu menjauhi semua hal yang berhubungan dengan laut. Selalu ada nyeri di hati ketika aku membaca ataupun tak sengaja mendengar kata laut. Sesak di hati ini kembali kurasa. Rasa yang sama muncul. Sama ketika aku mendengar berita kehilanganmu untuk jam pertama.
Tapi ternyata, Tuhan tak membiarkanku untuk membenci hal pertama yang kau cintai di dunia ini, katamu suatu hari. Ya, seorang Olan yang lebih bucin laut ketimbang istrinya sendiri. Kau tahu, Lan? Memori yang kau tinggalkan selalu terputar ulang setiap harinya. Seperti sekarang ini, semua momen-momen kita seperti baru saja kemarin terjadi.
- • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·
“Ros ….”
“Hm?”
“Kamu tahu kan seberapa cinta aku sama laut?”
“Iya, tahu. Udah puluhan kali kamu cerita itu ke aku. Kayaknya kalau suruh nulis buku tentang bucinnya Olan ke laut bakal udah langsung kelar.” Perkataanku waktu itu hanya dijawab dengan ‘hehe’ khasnya.
Diam, lagi. Lelakiku itu kini mengistirahatkan kepala di pahaku dengan jemariku menyisir pelan rambut ikalnya.
“Ros ….”
“Hm?” Hatiku mengatakan ada yang tak biasa dengan Olanku di senja ini.
“Something on your mind, Olan?” tebakku waktu itu. Tak ada sahutan langsung darinya.
“Rosa ….”
“Iya.” Aku hanya tak ingin tergesa. Dengan sabar aku kembali menanti perkataan selanjutnya. Tangan ini masih mengelus-elus surai hitam Olan. Kutahu pria itu sedang mengumpulkan nyali dan menunggu waktu yang pas untuk mengatakannya padaku.
“Kamu pernah berkata akan mendukung segala yang keputusanku kan, Ros? Semua hal yang terbaik untuk kehidupanku.” Akhirnya beberapa patah kata itu terucap dari bibir merahnya.
“Yes, i do.”
“Dan itu masih berlaku sampai sekarang?”
“Tentu saja. Ada apa, Olan? Kau tau aku bukan tipe yang suka berbelit-belit. Katakan saja.” Ia masih tak langsung menyahut, dan aku pun kembali diam. Dalam jeda itu kudengar beberapa kali ia mendesah pelan. Pria itu seperti sedang menanggung beban yang teramat berat di pundaknya.
“Tell me?” tanyaku lagi. Gemas sekali rasanya ketika melihat Olan bertingkah seperti itu. Selalu terlalu memikirkan, bagaimana jika orang lain begini atau begitu? Lelakiku itu sangat jarang mengedepankan dirinya sendiri. Ya seperti sekarang ini, otaknya pasti sedang berpikir tentang aku dan keputusan yang masih tak kunjung ia ungkapkan itu.
“Rosa, kita nikah yuk.” Tak mungkin jika aku tak terperanjat mendengar lamaran dadakan itu. Aku segera mengubah posisiku dan mendudukkan Olan menghadap padaku. Tanganku memegang kedua pipi Olan sembari bertanya padanya ….
“Olan, kamu enggak lagi mabuk, kan?” Kulihat kerutan muncul di dahinya ketika mendengar pertanyaanku itu. Lalu, ia menyingkirkan tanganku paksa.
“Marriage isn’t something you should be joked about, Rosa.”
“Aku tahu, tapi mengatakannya saat ini, it sounded like … you’re not serious bout it, Lan.” Ya, aku selalu blak-blakan seperti ini pada Olan. Tak ada yang ingin kututup-tutupi. Aku hanya mengatakan apa yang ada di hatiku saat ini.
“Sejak kapan, aku enggak serius tentang hubungan kita, Rosa Bella?”
“Oke dan sebelum menjawabnya, aku butuh penjelasan, Olan. Kalau kamu memang serius, pasti dalam otakmu itu sudah tersusun suatu rencana sekarang ini.”
Pandangan wira di depanku ini masih tertuju pada tautan tangan kami yang sedari tadi tak terlepas.
“Aku … lolos seleksi bekerja di submarine, Ros.” Olan mengatakannya tanpa memandangku. Kepalanya masih tertunduk, genggamannya mengerat ketika berita itu keluar dari mulutnya.
“Oke. So?” Sebenernya bohong, jika aku tak tahu ke mana arah pembicaraan ini, tapi aku hanya ingin memastikan saja.
“Aku takut kehilanganmu di saat bertugas nanti, Ros. Aku takut kamu tak akan kuat dengan hubungan jarak jauh yang nantinya pasti akan kita jalani. Aku … takut kamu pergi di saat aku tak ada di sisimu, Ros.”
Aku mengulas senyum simpul mendengar ketakutan-ketakutan Olan yang sepertinya takkan mungkin terjadi.
“Jadi, kamu ingin mengikatku sebelum kamu bertugas di submarine. Begitu kah?”
“Ya, seperti itulah inginku. Itu pun jika kamu tak keberatan.”
Lucu. Melihat Olan bertingkah seperti anak kecil yang tak ingin ditinggal ibunya, seperti sekarang ini. Masih tak menyangka saja, pria yang selalu menunjukkan sisi seriusnya ini ternyata memiliki kemampuan berakting menggemaskan pula.
“Aku siap jadi Nyonya Olan kapan pun, kok,” jawabku setelahnya. Tak ada jawaban lagi, hanya pelukan sangat erat yang kudapatkan dari Olan.
Sebuah memori dengan senja yang masih menjadi favoritku sampai sekarang. Ya, karena sebuah senja memang akan menjadi luar biasa jika kamu menikmatinya dengan orang yang kau cinta.
Semua persiapan pernikahan dilaksanakan kilat. Karena Olan benar-benar tak ingin kehilangan waktu bersamaku barang sedetik pun, katanya. Di saat itu lah aku merasa menjadi wanita yang amat sangat beruntung. Baru kali itu aku merasa menjadi sosok yang dicintai, disayang, dihargai, dan diagungkan bak seorang dewi oleh salah satu ciptaan-Nya.
Seperti pasangan pengantin muda lainnya. Aku dan Olan juga mendambah honeymoon, tapi karena kita tak punya banyak waktu sebelum keberangkatan pertama Olan, honeymoon kita serasa kencan biasa, tapi aku tetap mensyukurinya. I treasure every second i had with him.
Dia masih Olan yang sama. Lelaki yang mampu meluluhkan hatiku dengan bunga mawarnya. Pria yang selalu tak suka jika fotonya diambil diam-diam. Karena pasti hasilnya jelek, begitu kilahnya.
Dan dia saja masih seorang Olan yang cinta buta dengan laut dan senja.
Momen-momen bahagia selalu menghampiri kami sejak hari pernikahan itu. Salah satu momen yang memiliki tempat spesial adalah ketika aku mengabarkan padanya tentang adanya benih cinta dalam rahim ini. Aura positif Olan menguar kemana-mana. Sebuah ekspresi yang tak pernah kulihat pada Olanku sebelumnya.
Kembali aku merasakan sebuah perlakuan manja dari Olan. Dia memperlakukanku bak permaisuri, mengawalku kemanapun aku pergi. Menjagaku seolah aku adalah sebuah bola kaca yang bisa pecah kapan saja. Entah sudah berapa kali syukurku terucap pada Tuhan, karena telah mengirimkan satu malaikat-Nya untukku.
- • —– ٠ ✤ ٠ —– • ·
Hingga hari naas itu tiba. Ketika hari keberangkatannya, hari di mana Olan mengabdikan diri pada negara. Entah kenapa di hari itu, aku bersikap semakin manja padanya. Aku merajuk karena tak rela ditinggal. Sampai lelakiku itu mengucapkan sesuatu agar aku mau melepasnya.
“Rosa, aku janji aku akan pulang. Percayakan semuanya pada Tuhan. Yakin bahwa semua yang terjadi dan yang akan terjadi adalah yang terbaik untuk kita semua.”
Setelah itu, ia hilang di balik pintu setelah sebelumnya melayangkan senyum terindahnya padaku. Yang ternyata itu adalah senyuman tulus terakhir darinya.
Berita dari kotak hitam dan kabar dari kantor pusat beberapa hari setelah keberangkatan Olan mengubah total alur hidupku. Kapal tempat lelakiku bekerja tak kunjung kembali ke permukaan. Lalu, beberapa hari setelahnya, kapal itu dinyatakan dalam status ‘on eternal patrol’ karena tak bisa lagi diselamatkan. Hanya puing-puing yang tersisa di dasar laut sana. Tanpa ada jejak awak kapal di dalamnya.
Olan, suamiku itu bukanlah seorang pembual. Dia selalu menepati semua ucap dan janjinya. Hanya saja aku masih tak percaya dan tak menyangka. Kata pulang yang ia maksud adalah pulang menghadap Rabb-nya bukan pulang kepada kita.
Temanggung, 2 September 2021
Hamdika R.V, gadis pecinta warna ungu, seorang selenophile dan penyuka kopi ini sudah menjadi kontributor karya dalam 13 buku antologi cerpen per Juli 2021. Buku kumpulan cerpen pertamannya berjudul “The Song Story”, terbit pada bulan Mei 2021. Jejak karyanya bisa dilacak di akun Instagram : @hamdika_rv atau akun Wattpad : @haruvihrv.
Sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/823877325590415743/