Love Healing

Alif, seorang lelaki berkulit putih dengan perawakan tinggi menjulang terlihat tenang duduk di depanku menghadap sebuah buku fiksi. Sekilas, aku melirik ke arahnya untuk melihat judul novel yang tengah dipegangnya.

“Lagi liatin apa?” tanya Alif setelah menutup novel dan meletakkannya di atas meja. Aku melihat dia datar, kemudian menggeleng pelan.

“Kamu kok makin pendiem sih? Padahal, dulu pas masih SD, kamu suka ngaduin aku ke guru cuma gara-gara masalah sepele,” katanya seraya tertawa ringan.

Aku menghela napas. “Itu kan dulu. Lagian, kamu duluan yang suka jahilin aku.” Aku mencoba mengeluarkan laptop dari tas lalu menyalakannya.

“Padahal aku berusaha balik lagi ke kota ini biar bisa ketemu kamu.” Dia tertawa hingga matanya menyipit.

Aku membalik lembaran materi, kemudian mengetik beberapa catatan penting, mencoba mengabaikan perkataan Alif.

“Sudah makan belum?”

Aku mengalihkan pandanganku dari laptop lalu menatapnya sejenak.

Saat melihatku menggeleng, senyumnya mengembang. “Katanya, di depan perpustakaan ini ada warung yang jual mie ayam enak loh. Kamu masih suka makan mie ayam, kan?”

Aku mengerutkan kening, sejak kapan Alif tahu makanan kesukaanku? Setelah lulus dari SD, kami bahkan tidak berhubungan lagi. Entah karena alasan apa, dia pindah keluar kota. Dia tidak memberitahuku dan aku tidak ingin tahu menahu tentang bocah nakal yang selalu menggangguku saat itu. Sekarang, dia kembali ke kota ini setelah kurang lebih delapan tahun berpisah.

“Iya, masih suka kok.” Aku tidak berniat mencari tahu bagaimana dia mengetahui makanan kesukaanku. Aku cukup malas untuk meladeni orang ini. Dia kemudian berlanjut menceritakan sesuatu atau bahkan menanyakan beberapa hal padaku.

Setelah urusanku di perpustakaan kota selesai, Alif langsung menggeretku menuju warung yang dikatakannya tadi. Sepanjang kita menunggu pesanan datang, aku banyak diam dan mendengarkan ucapan yang dilontarkan Alif. Ketika makanan sudah tersaji di depan meja, dia bertanya mengenai hal yang cukup sensitif untukku.

“Gimana kabar keluargamu?”

Aku yang awalnya berusaha meraih sumpit dan garpu seketika terkejut. Garpu yang aku pegang jatuh.

“Kamu kenapa, Cha?” Alif terlihat khawatir.

Aku menggeleng dan dengan cepat meraih garpu yang tergeletak di meja.

“Kamu lagi ada masalah, ya?” Dia menatapku penuh simpati.

“Aku lagi capek aja.” Aku berusaha tersenyum di depannya.

“Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita sama aku. Aku akan selalu ada buat kamu.” Aku hanya tersenyum menanggapi ucapan Alif dan mulai memakan mie ayam yang ada di depanku.

 

*****

Weekend selanjutnya aku tidak menemukan dia di perpustakaan kota. Aku bisa menyelesaikan tugas dan menamatkan beberapa komik dengan tenang. Sepulang dari perpustakaan, aku ingin mencoba mie ayam seperti minggu kemarin.

“Acha!” Seseorang menyebut namaku,

Reflek, aku menoleh. Kulihat Alif melambaikan tangan kemudian berlari kecil ke arahku. Aku hanya membalas sapaannya dengan tersenyum kaku.

“Mau makan ya?” Aku hanya mengangguk.

“Bareng, yuk! Sekalian,” katanya dengan senyuman yang selalu berhasil membuat matanya setengah tertutup.

Sekali lagi, aku hanya bisa mengangguk.

“Apa ini?” teriaknya kaget seraya mengangkat tangan kiriku dan menyingkap lengan jaketku.

Aku terlonjak kaget. Dia melihat sayatan luka di tangan kiriku. Saat aku sadar, aku langsung menepis tangannya dan menyembunyikan tanganku. Dia menatapku seakan tidak percaya. Aku tak bisa membalas tatapan itu. Aku takut dia menganggapku aneh.

“Kalau menurutmu aku aneh, kamu gak seharusnya .…” Belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, dia tiba-tiba memelukku. Aku kaget. Otakku masih memproses apa yang sedang terjadi.

“Aku kan udah bilang, kalau kamu ada masalah, kamu bisa bicara sama aku,” ucapnya sambil menepuk pundakku.

Aku terkejut dengan apa yang dia katakan.

“Pasti berat ya?” katanya lagi.

Aku masih tidak menjawab apapun.

Dia melepas pelukannya dan menepuk pundakku pelan. “Kamu kuat.” Dia tersenyum tulus.

Rasanya, setiap hal yang keluar dari bibirnya adalah mantra yang bisa menenangkanku. Air mata yang sedari tadi kutahan akhirnya lolos juga. Hanya air mata, tak ada isakan. Aku ternyata cukup kuat menahan emosiku sejauh ini. Aku cukup takut dianggap aneh oleh orang-orang sekeliling. Aku takut mereka menganggapku gila karena tempramentalku. Itulah sebabnya, aku lebih memilih diam dan memendam semuanya sendiri.

“Jadi kamu kenapa?” tanya Alif pelan-pelan ketika kami sedang menunggu pesanan datang di meja makan.

Aku menunduk, masih ragu untuk menjelaskan semua, tapi melihat respon baik dari Alif, aku rasa dia orang yang bisa dipercaya. “Aku punya bipolar disorder,” kataku mengawali semua cerita ini. “Orang tuaku sering bertengkar saat aku baru memasuki jenjang SMA. Mereka memutuskan untuk berpisah ketika aku naik kelas 11. Ayah pergi dengan perempuan lain dan ibu harus menanggung biaya hidupku dan kakakku. Hidup kami semakin sulit saat itu.” Aku menghela napas sejenak. “Aku tidak terlalu yakin kapan penyakit ini bermula, tapi sepertinya, semenjak semua masalah itu terjadi, aku sering melamun dan kehilangan konsentrasi. Selama hampir seminggu aku stress. Setiap kali aku mendengar orang tuaku bertengkar, kepalaku rasanya kosong dan perasaan sedihku semakin menjadi-jadi. Semua terasa gelap.” Aku memijat kepalaku pelan. “Satu-satunya hiburanku saat itu hanyalah sekolah. Di sekolah, aku bisa menjadi orang lain dan melupakan semua masalahku di rumah. Aku sangat senang saat guru memujiku, karena antusiasku menjawab soal. Aku terlalu menggebu-gebu. Aku banyak bicara saat itu juga. Aku bahkan tidak tau jika semua tindakanku mengganggu banyak orang di sekelilingku. Mereka mulai menganggapku aneh karena gaya bicaraku. Aku terlalu bahagia, meski sebenarnya aku hanya bahagia seorang diri.” Aku menunduk sebentar kemudian menatap mangkuk berisi mie ayam yang sedikit mengembang. Aku bahkan baru menyadari makanan dan minuman yang sepertinya sudah tersaji sejak tadi. Alif juga terlihat tidak berniat menyentuh mie ayamnya. Dia masih menatapku. Aku mengambil segelas es teh dan meminumnya pelan.

“Beneran cuma bipolar? Ga ada yang lain?” Alif terlihat khawatir.

Aku mengangkat kedua pundakku. Aku juga tidak yakin. “Pertama kali aku ke psikiater, aku didiagnosa bipolar. Begitu sampai rumah, Ayah marah dan memukulku. Dia bilang aku gila. Dia juga menyalahkan Ibu dan mengatakan bahwa Ibu tidak becus mengurus anak.” Aku tertawa hambar. “Kakakku bahkan hanya menatapku aneh saat orang tua kami bertengkar. Sepertinya, dia membenciku. Ibu juga. Ibu seringkali menghindariku. Dia seperti tidak menginginkanku.”

“Mungkin mereka masih bingung mau bereaksi seperti apa. Mereka cuma kaget aja, Cha.” Alif menggenggam tanganku.

Aku memilih diam dan tak bereaksi apapun. Dia kembali melihat luka tanganku dan mengusap pelan menggunakan ibu jarinya.

********

Beberapa bulan ini, aku sering menghabiskan waktu bersama Alif. Sekarang, dia bukan lagi bocah nakal yang suka usil mengerjai teman sekelasnya. Dia tumbuh dengan baik. Aku bahkan hampir takjub dengan perubahannya saat ini. Dia bisa tiba-tiba menjadi motivator yang baik, terkadang bisa menjadi kakak yang cerewet, bahkan juga bisa menjadi pelawak.

“Setiap orang punya rasa sakit masing-masing, Cha. Aku pun juga. Meski begitu, sakit ga jadi penghalang untuk tetap berusaha mengejar hal yang kita inginkan. Malahan, sakit itu kadang bisa menjadi motivasi kita untuk melangkah sejauh ini. Yang aku tahu, sebanyak aku merasakan sakit, sebanyak itulah aku ingin tetap hidup.” Itu adalah nasihat darinya saat dia berusaha menjadi motivator yang baik.

Dia menatap jauh ke depan. Aku mengamati tiap inci wajahnya yang tiba-tiba terlihat sangat menarik.

“Acha.” Alif memutar wajahnya, lalu menatapku tenang. “Kalau kamu lagi kacau, kamu harus ingat gimana enaknya es krim stroberi, enaknya mie ayam di sini.”

Aku tidak tahu arah pembahasan Alif. Apa dia sedang berusaha melawak? Aku hampir tertawa, tapi urung karena melihat wajah seriusnya.

“Kamu ga bakalan bisa menikmati itu lagi kalau kamu akhirnya memilih menyerah.”

Aku tertegun sejenak.

“Mungkin memang sulit, tapi aku akan selalu ada buat kamu.” Alif tersenyum dengan tulus.

Aku suka senyumnya. Aku suka semua hal yang ada padanya. Alif, si bocah nakal yang dulu suka mengganggu teman-temannya, telah bermetamorfosis menjadi lelaki dewasa yang baik. Sekarang, dia adalah temanku, satu-satunya orang yang mampu membuatku aman, nyaman, dan tenang.

 

SELESAI

 

Malang, 02 September 2021

 

Siti Zulfa Hidayatul Maula, lahir pada tanggal 10 November 1999 di Jember. Selain suka membaca, ia juga gemar menulis karya bergenre fiksi. Penikmat karya Andrea Hirata ini merupakan seorang mahasiswa aktif fakultas Humaniora jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Dia bercita-cita menjadi pengajar atau dosen guna mengabdikan diri dalam dunia edukasi. Pecinta musik sekaligus tukang cover lagu ini hanya aktif membuat video cover disaat bosan atau suntuk setelah melalui hal-hal yang melelahkan. Motto hidup penulis adalah, ‘Jangan berhenti! Yakinlah, ketika kamu mampu memulai, kamu juga pasti mampu menyelesaikan’. Akun instagramnya adalah @szulfahm. Penulis juga bisa dihubungi melalui email zulfagumukmas@gmail.com.
sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/587227238914516465/