SYAL UNTUK YANG TERSAYANG
Bel berdentang tiga kali, semua siswa keluar dari kelas masing-masing. Ada yang langsung ke kantin, kamar mandi, perpustakaan, atau langsung ke lapangan untuk bermain sepak bola atau basket.
Di kelas X IPA 3 SMA Merpati, Ana dan temannya, Lina, keluar dari kelas menuju ke kantin. Biasanya Yana bersama mereka, tapi kali ini Yana hanya titip sandwich ayam pada kedua temannya itu. Saat ditanya, dia hanya menjawab kalau masih ada urusan.
“Tumben, ya, Lin, Yana bersikap aneh kek gitu?” tanya Ana curiga saat menunggu baksonya datang di bangku sudut kantin.
“Aneh gimana, An?” Lina balik bertanya.
“Ya aneh aja. Biasanya kalau istirahat dia bareng kita ke kantin, udah beberapa minggu ini dia cuma nitip.” Ana mencoba menganalisa sikap Yana. “Saat istirahat kedua dia juga sering ngilang. Waktu ditanya, ada aja alasannya,” lanjut Ana.
“Iya juga, sih, tapi Yana juga gak bilang apa-apa tuh. Tempo hari juga waktu aku tegur dia juga jawab gak ada apa-apa,” tukas Lina. Pembicaraan tentang Yana pun berakhir saat pesanan mereka datang.
Ananda Firdausia, Yana Fatmasari dan Lina Permata Dewi adalah siswa kelas X IPA 3 SMA Merpati. Mereka bertiga merupakan satu anggota saat perkenalan siswa baru dulu, kebetulan, mereka akhirnya masuk di kelas yang sama. Seiring berjalannya waktu, hubungan mereka kian akrab. Masing-masing saling menyayangi satu sama lain. Jika ada masalah di antara mereka selalu diselesaikan bersama-sama. Mereka selalu siap memberikan bantuan jika yang lain sedang membutuhkan.
Perbedaan karakter antara mereka bertiga menghasilkan sebuah persahabatan yang unik dan indah. Ana, cewek berkulit sawo matang, selalu serius, sabar, berjilbab, dan jago bela diri. Yana, cewek hitam manis, humoris, anggota paskibra sekolah. Lina berkulit kuning langsat, feminim, modis, tapi jago basket. Semua karakter mereka tersebut saling melengkapi.
Setelah makan di kantin, Ana mengajak Lina untuk mencari Yana. Mereka mencari ke semua tempat yang biasa mereka datangi saat istirahat. Gazebo sekolah, perpustakaan, taman depan ruang guru, hasilnya nihil. Yana tak ada di tiga tempat itu. Ana melirik arlojinya, sepuluh menit lagi jam istrahat selesai. Biasanya Yana akan kembali ke kelas lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Oleh karena itu, Ana harus menemukannya sebelum Yana kembali dan mengetahui kenapa kawannya itu menghindar dari mereka berdua.
Taman belakang sekolah, satu tempat yang belum didatangi. Tepat di bawah pohon beringin, di pinggir kolam buatan, Yana duduk sambil mengerjakan sesuatu. Ana yang melihatnya langsung menghampiri dengan langkah pelan.
“Woi!” Ana dan Lina mengagetkan Yana.
Ternyata Yana sedang merajut sesuatu. “Ya ampun! Kalian berdua bikin aku kaget aja,” ujar Yana sambil memegang dadanya.
“Kamu tuh dicari ke mana-mana, ternyata di sini tempat semedimu,” kata Ana.
Yana hanya tersenyum simpul melihat Ana yang manyun, kesal.
“Iya nih, gak tau apa kita capek nyari?” ujar Lina.
“Lagi ngapain, sih? Eh, itu apa?” tanya Ana penasaran melihat barang-barang yang berhubungan dengan rajut-merajut di samping Yana.
“Yah, ketahuan, deh,” tukas Yana membuat Ana dan Lina berpandangan, tak mengerti. “Seperti yang kalian lihat, aku lagi ngerajut,” lanjut Yana.
“Ngerajut? Ngerajut apa?” tanya Lina penasaran sambil mengutak-atik perlengkapan rajut Yana.
“Syal,” jawab Yana singkat
“Syal?” tanya Ana dan Lina bersamaan.
“Untuk apa? Dijual?” Giliran Ana yang penasaran.
Yana menggeleng. “Buat kak Radit,” jawabnya dengan senyum mengembang.
“What! Kak Radit. Gak salah Yan?” tukas Ana.
“Gak. Ini bener buat kak Radit, kok.” Yana menunjukkan syal rajutan benang hitam dan putih setengah jadi pada Ana. “Ntar deh aku jelasin. Sekarang, mana sandwich-ku. Laper nih,” pinta Yana sambil menunjuk perutnya.
Ana pun memberikan sandwich dan air mineral pesanan Yana. Setelah itu, mereka meninggalkan taman menuju ke kelas karena bel masuk sudah berbunyi.
Sindrom Fans Senior (SFS), begitu Ana menyebut hal yang terjadi pada Yana sekarang. Sejak masuk menjadi anggota Paskibra dan mengenal yang namanya Radit, ketua Paskibra siswa kelas XII IPA 5, hari-hari Yana selalu dipenuhi oleh Radit. Dia akan histeris kegirangan saat berpapasan dengan Radit atau sekadar Radit lewat di hadapannya, padahal Radit bersikap biasa-biasa saja, bahkan cuek. Ana sudah berkali-kali mengingatkan Yana dengan sindrom tersebut. Bukannya Ana tidak ingin temannya senang, tapi melihat sikap Radit yang cuek serta reputasinya sebagai cowok populer di SMA Merpati yang kemana-mana selalu didampingi cewek-cewek cantik dan populer juga, membuat Ana harus menyadarkan Yana sebelum sakit hati ditolak oleh Radit. Namun, yang namanya orang sedang kasmaran, tak ada yang bisa mengganggu. Yana sudah kesengsem dengan Radit yang tinggi, putih, tampan, atletis, pintar, jago basket, ketua Paskibra, anggota OSIS pula.
Suatu ketika, saat istirahat kedua, Ana dan Yana duduk santai di tepi kolam taman belakang sekolah. Saat itu, Lina sedang tidak masuk karena ada acara keluarga, tinggallah mereka berdua saja. Yana sibuk dengan rajutannya, sementara Ana sibuk dengan novel di tangannya. Tiba-tiba saja Ana merasa terusik dengan kegiatan Yana. Akhirnya Ana menghentikan kegiatan membaca.
“Kamu beneran, Yan, mau ngasih syal itu ke Kak Radit?” tanya Ana,
Yana mengangguk mantap.
“Trus kapan ngasihnya? Bentar lagi kan kelas tiga Ujian Nasional.”
Yana berhenti menyulam dan memandang wajah Ana lekat. “Aku akan ngasih ini di acara malam dana sebelum UN.”
“Kamu nekat, ya. Kalau ditolak gimana?”
“Ya, berdoa aja biar Kak Radit gak nolak.”
“Bukannya kak Radit udah punya cewek. Gak takut dilabrak?”
Yana menggeleng, “Kak Mila maksudmu?” tanyanya. Ana mengangguk. “Udah putus, kok,” jawab Yana yakin.
“Tapi, kan masih banyak yang ngincer Kak Radit. Sainganmu banyak, lho, Yan,” ujar Ana.
“Ana Sayang. Jangan khawatir. Aku gak peduli Kak Radit nolak atau nerima aku. Yang penting, aku udah bertekad bakal ngasih syal ini padanya dan mengatakan cintaku padanya.”
“Sekarang kan lagi musim kemarau, Yan. Panas tau kalau pakai syal.”
“Kan bisa dipakai waktu musim hujan. Lagian cuaca sekarang gak menentu.”
Ana terlihat gemas dengan ucapan Yana yang sangat percaya diri itu. Ana tidak ingin temannya sakit hati gara-gara cowok yang nggak jelas.
“Tahu gak, Yan?”
“Apa?”
“Syal buatan kamu bagus. Daripada dikasih ke Kak Radit, mending dikasih ke aku atau Lina aja,” ucap Ana yang kemudian melanjutkan membaca novelnya, sementara Yana memandang lekat pada teman yang disayanginya itu. Kemudian, kembali melanjutkan merajut.
Hari berganti, tak terasa Ujian Nasional kelas XII semakin dekat. SMA Merpati sedang sibuk menyiapkan Malam Dana, acara tahunan sebelum kelas XII Ujian Nasional. Dalam acara ini akan ditampilkan berbagai kreativitas siswa, mulai dari siswa kelas X sampai kelas XII. Menyanyi, menari, lawak, dan lain sebagainya. Penampilan tersebut dikenakan biaya pendaftaran yang nantinya akan disalurkan kepada orang-orang yang tidak mampu di sekitar sekolah. Tidak hanya yang menampilkan acara, penonton, guru, dan para staf juga diwajibkan untuk menyumbang seikhlas mereka. Acara yang ditunggu-tunggu Yana ini akan dilangsungkan minggu depan. Syal buatannya pun sudah jadi, tinggal dibungkus kertas kado. Yana pun tak sabar menanti datangnya hari itu.
Malam yang dinanti tiba, Malam Dana yang diselenggarakan SMA Merpati riuh ramai dengan sorakan penonton yang menyaksikan aksi kreativitas para siswa. Selain pergelaran unjuk kreativitas, juga ada bazar yang sebagian hasilnya disumbangkan. Yana dengan gaun malam putihnya terlihat manis. Sementara Lina dengan gaun hitamnya terlihat sangat cantik. Sayangnya Ana tidak bisa ikut karena sedang sakit. Pertandingan pencak silat yang kemarin dihadapinya menguras tenaga sampai Ana harus pulih dan kembali ke sekolah dengan fit.
Deuh, yg lgi sng mo blg cinta, goda Ana lewat SMS ke Yana
Yana yang menerima sms hanya tersenyum simpul.
“Siapa, Yan?” tanya Lina.
“Ana,” jawab Yana kemudian menunjukkan SMS Ana.
Lina hanya membulatkan mulutnya. Kemudian, menikmati musik yang dibawakan oleh band keren di atas panggung.
Doain sukses ya, balas Yana.
Wish u d’best, balas Ana kemudian.
Saat-saat yang ditunggu Yana tiba. Dengan hati berdebar, Yana mendekati Radit. Sementara Lina hanya memperhatikan dari jarak jauh tak kalah deg-degan juga.
Beberapa hari kemudian, Ana, Yana dan Lina berbincang-bincang di tempat biasa mereka berkumpul. Hari itu Ana sudah kembali masuk sekolah.
“Eh, ceritain dong. Gimana waktu kamu nembak Kak Radit?” rengek Ana pada Yana.
Yana dan Lina berpandangan dan tersenyum penuh misteri.
“Ye … kok malah senyam-senyum, sih. Ayo dong cerita!” pinta Ana lagi sambil mengguncang bahu Yana.
“Iya, iya … sabar …,” sahut Yana.
Dia mengambil napas panjang dan mengembuskannya, sementara Ana tak sabar mendengar cerita dari temannya itu.
“Aku gak jadi nembak Kak Radit,” ujar Yana.
“Apa? Gak salah dengar aku? Kamu gak jadi nembak kak Radit? Lho, kok bisa?” tanya Ana tidak percaya sekaligus heran.
Yana tersenyum melihat kebingungan temannya itu. “Iya, kamu gak salah dengar. Aku gak jadi nembak Kak Radit. Aku hanya menyampaikan doaku padanya biar lulus ujian, itu aja,” ucap Yana. “Bukannya itu keinginan kamu kan An?” Yana balik bertanya. Ana terdiam.
“Tapi …,” kata Ana menggantung.
“Gak apa-apa, An. Ini juga sudah jadi keputusanku kok. Aku udah mikir matang-matang. Benar katamu, mungkin aku gak cinta sama kak Radit. Mungkin cuma kena Sindrome Fans Senior yang suatu saat akan hilang seiring bejalannya waktu. Toh perjalananku di dunia ini masih panjang, banyak hal yang harus kupikirkan selain masalah cinta.” Yana bercerita panjang lebar. Ana dan Lina menyimak dengan seksama. “Aku percaya kalau suatu saat cinta sejati akan datang padaku. Saat ini, aku cuma mau fokus sekolah dan meraih cita-cita,” lanjut Yana mengakhiri ceritanya.
Ana langsung memeluk temannya dengan penuh haru.
“Semoga apa yang kamu harapkan terkabul.” Doa Ana dengan tulus.
“Aamiin,” sahut Yana dan Lina bersamaan.
Lina pun turut memeluk dua temannya. Mereka berpelukan erat penuh haru.
Ana senang karena Yana tidak jadi sakit hati. Walaupun Ana tahu kalau dalam hati Yana masih terukir nama Radit di dalamnya. Di dalam hati Ana juga berdoa semoga Yana kelak mendapat pengganti yang lebih baik dari Radit.
“Lalu, syalnya gimana?” tanya Ana setelah melepas pelukan.
Yana mengisyaratkan sesuatu kepada Lina yang kemudian mengeluarkan sebuah syal rajutan berwarna hitam dan putih bertuliskan huruf LAY di ujungnya. Ana mengernyitkan dahi tak mengerti.
“Ini punyaku, ini punyamu.” Lina memberikan satu lagi syal yang sama dengan miliknya. Ana menerima syal tersebut dengan heran kemudian memandang ke arah Yana.
“Ini punyaku.” Yana mengeluarkan syal yang sama dengan milik Lina dan Ana.
“Aku tidak jadi memberikan syal itu. Makanya, aku pakai sendiri aja. Aku juga sengaja gak ngasih tahu kalian kalau aku juga merajut syal untuk kalian berdua,” tukas Yana.
“Anggap saja kenang-kenangan dariku. Sebentar lagi kan kita pisah kelas, tapi meskipun pisah kelas, kita tetap temenan ya. Makanya kutulis inisial nama kita. L untuk Lina, A untuk Ana dan Y untuk Yana,” lanjut Yana. Ana dan Lina mengangguk, mereka berpelukan penuh haru. Yana tidak menyesal memberikan syal itu pada kedua temannya, karena mereka berdua adalah orang yang Yana sayangi lebih dari sayangnya pada Radit.
Surabaya, 2 September 2021.
Penulis bernama pena Heni ini lahir pada Februari 1989 di kota Surabaya. Saat ini penulis sedang menekuni bidang digital marketing di sebuah dlothing store di wilayah Surabaya, serta aktif di media @asliareksuroboyo. Membaca Novel dan bacaan ringan merupakan kegiatan yang menyenangkan di sela kesibukan yang padat merayap.
Kritik dan saran bisa disampaikan melalui email : ummuhanikheni@gmail.com. Penulis bisa dihubungi melalui akun instagram @afirdausia_putri.
sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/626774473128406000/